Letih yang Felis rasakan saat ini. Kepalanya terasa berat dan sedikit pusing. Jadi sebelum pulang, ia terlebih dahulu mengarahkan sepedanya menuju apotek untuk membeli obat.
Ia memang sedikit lama ketika di dalam apotek lantaran banyak pengunjung sebelum dirinya yang otomatis ia harus mengantre terlebih dahulu.
Ketika ia sudah mendapatkan apa yang diperlukannya dan berniat untuk pulang ke rumah beristirahat, ia tidak bisa menemukan sepedanya di tempat dimana ia memarkirkannya tadi.
Sepeda Felis hilang.
Felis sangat syok sekarang ini. Bagaimana ia akan pulang jika seperti ini? Uang yang dibawanya sudah Felis habiskan untuk membeli obat di apotek. Baterai telepon genggam Felis juga nihil. Jadi, ia tak kuasa untuk sekadar memesan ojek online.
Bagaimana cara ia pulang dan pergi ke sekolah setelah ini? Ia tak mungkin merepotkan kedua orangtuanya lebih dari ini. Terlebih lagi, bagaimana ia menjelaskan pada keluarganya terkait sepedanya yang hilang secara misterius?
Felis tidak akan pernah lupa bagaimana perjuangan kedua orangtuanya hanya untuk membelikan Felis senbuah sepeda. Dengan gaji Rafi --Ayah Felis-- yang pas-pasan, yang masih harus disisihkan sebagian untuk membayar cicilan rumah. Pikiran Felis sudah berkelana jauh entah kemana sekarang.
Ketika ia sadar, keadaan di sekitar sudah benar-benar sepi. Tak ada orang yang bisa ia ajukan pertanyaan terkait sepedanya. Apoteker? Tidak, tidak mungkin. Dia pasti sedang sibuk melayani pasien ketika mungkin ada seseorang yang mengambil sepeda Felis.
Air mata Felis perlahan luruh dari netranya. Apakah ia harus pulang menempuh perjalanan empat setengah kilometer dengan berjalan kaki dengan keadaan badan yang semakin lemas dengan kepala yang semakin pusing?
Ia berniat meminum obat yang baru saja Felis beli untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya. Namun ia lupa, ia tak punya lagi air mineral sedangkan obatnya berbentuk tablet dengan ukuran yang tidak bisa dikatakan kecil untuk sebuah obat.
Ia terpaksa menahan pusing serta lemas di badannya. Felis harus bisa pulang tanpa merepotkan orang lain! Tekadnya.
Ketika Felis mulai melangkahkan kakinya, hujan turun dengan lebatnya tanpa aba-aba. Apa boleh buat, ia terpaksa menyelamatkan diri dari air hujan di teras depan mini market sebelah apotek.
Pikiran Felis semakin kalut, badannya semakin lemas, dan kepalanya sepertinya sudah mengidap vertigo akut. Air matanya mau tak mau kembali luruh dengan mudahnya.
Mobil, dan motor berlalu lalang, ada beberapa yang menuju apotek, memandangi Felis dengan tatapan aneh, lantas menghiraukannya. Keadaannya benar-benar buruk serakang. Terlebih Felis masih mengenakan seragam tonti yang ia tutupi dengan jaket andalannya dan legging hitam untuk menutupi kakinya sementara ia mengendarai sepeda tadi.
Baru beberapa jam yang lalu ia mendapat kesenangan sekaligus kemenangan tak terduga. Namun, apa daya. Tuhan sangat mudah untuk memutarbalikkan keadaan. Kini kondisi Felis hampir tak berdaya.
Walau begitu, Felis tetap berusaha berdiri tegak menunggu redanya hujan sembari berjuang segenap tenaga yang tersisa untuk menahan tangis.
Sudah empat puluh lima menit lamanya Felis berdiri dengan kondisi seperti itu. Ia tak tahan lagi. Mungkin ia akan jatuh dalam hitungan mundur. 3, 2, 1.
Hey, seharusnya saat ini Felis benar-benar jatuh. Tapi ia masih berdiri. Tidak, tunggu, ada seseorang yang menyangganya agar tetap berdiri.
"Lo enggak apa-apa?" Felis hanya terdiam dan menangis.
*****
"Makasih, maaf jadi ngerepotin gini"
"Enggak apa-apa. Habis ini perempatan belok mana?"
"Lurus aja terus. Nanti di depan kiri jalan ada gapura, gue turun di gapura aja"
"Gue anter sampe rumah lo." Putusnya ketika melihat keadaan Felis yang super lemas.
"Hm, ya udah" Felis tak punya tenaga lagi untuk sekadar berdebat. Jadi, ia mengiyakan saja apa yang diinginkan pemuda itu.
Dia Zain. Zain tadi hendak membelikan sesuatu untuk kakak perempuannya di minimarket. Namun setelah melihat Felis berdiri di minimarket dengan kaki yang bergemetar hebat disertai badan yang sempoyongan, ia mengurungkan niatnya dan menolong Felis terlebih dahulu.
Zain merangkul Felis yang sempoyongan, dan membantunya berdiri tegak.
Namun, Felis tiba-tiba menangis dan ia bingung harus melakukan apa. Felis segera melepas rangkulan Zain, dan menghapus air matanya dengan cepat.
Setelah Zain menanyakan perihal yang menyebabkan Felis menangis, Felis hanya bisa menjawab jujur. Alhasil, mau tak mau Felis menerima tawaran Zain untuk mengantarnya pulang.
"Rumah lo yang mana"
"Sebelah kiri, nomor tiga dari arah gapura tadi," jelas Felis
"Makasih lagi, maaf lagi juga udah ngerepotin" tambahnya lagi ketika mobil Zain sudah berhenti tepat di depan rumahnya.
"Iya, enggak apa-apa. Sana masuk, minum obat, istirahat"
"Iya, makasih. Lo hati-hati, gue masuk dulu"
'makasih, makasih aja terus' batin Zain saat Felis sudah turun dari mobilnya. Ia hendak menjalankan mobilnya, namun mengurungkan niatnya ketika hal itu terjadi.
*****
Felis turun dari mobil Zain dan hendak masuk ke rumah. Sebelum ia sempat menjulurkan tangan untuk menekan knop pintu, pintu itu lebih dahulu terbuka. Tampaklah Lia yang sedang menangis lengkap dengan wajah kesalnya.
"Kakak lama banget, sih pulangnyaa… Padahal kondisi lagi gawat ginii... hiks" ujar Lia.
"Gawat gimana, ma? Emang ada apa?" tanya Felis penasaran.
"Farrel, kondisinya memburuk" terangnya.
Perasaan bersalah mencekik Hati Felis tanpa belas kasihan. Menyebabkan bendungan air mata Felis hancur begitu saja.
"Ayah sama Viko udah kesana duluan… Kita ayo cepetan nyusuul… hiks… mama masih mau ketemu Farrel" Lia terbata-bata ketika mengatakan hal itu.
"Naik apa, ma?" tanya Felis dengan suara gemetar. Tadinya, Lia berniat ke rumah sakit berboncengan menggunakan sepeda Felis.
"Sepeda kakak emang kemanaa hiks…" tanyanya dengan tangis yang semakin menjadi. Felis lantas memeluk mamanya sembari menggelengkan kepala perlahan. Tuhan, kenapa hujan air mata mereka tak kunjung kau berhentikan?
Di tengah isak dan tangis, Felis sampai tidak menyadari bahwa Zain beserta mobilnya belum beranjak dari depan rumahnya. Zain turun dari kendaraannya, berniat menawarkan bantuan.
"Gimana kalau saya anterin?" tanyanya, yang ditanggapi dengan ekspresi terkejut oleh Felis.
"Lo kok masih di sini?" tanya Felis, heran sembari menyeka air mata.
"Mau apa enggak?" tawar Zain sekali lagi.
"Kamu teman Felis, nak? Tolongin tante dong… Antar kita hiks ke rumah sakit, ya? Tante akan bayar berapapun hiks asalkan..." pinta Lia dengan isakan yang tak kunjung reda.
"Enggak apa-apa kok, tan. Saya ikhlas… Silakan" ujarnya sembari membukakan pintu kursi penumpang.
"M-makasiih" kata Felis tepat sebelum ia masuk dan duduk di sebelah lia. Zain hanya membalasnya dengan senyum tipis singkat.
"Ini mau ke rumah sakit mana?" tanya Zain
"Rumah Sakit Cahya Aruna" kali ini, Felis yang menjawab lantaran isak tangis Lia sudah pecah sepenuhnya hingga tak mampu berkata-kata.
"Oke"
Zain melajukan mobilnya dengan kecepatan yang bisa di bilang cepat. Berhubung jalanan ke tempat yang dituju sedang jarang dilalui kendaraan. Jujur, ia merasa kasihan dengan Felis. Bahkan Felis belum sempat untuk beristirahat dan meminum obatnya. Namun Felis sudah langsung dihadapkan dengan situasi yang sangat menguras tenaga seperti ini.
_________________________
Kyle_Keii