Setelah hari itu, Felis bersekolah seperti biasanya. Setiap hari selasa dan kamis ia mengikuti latihan tonti di lapangan outdoor.
Namun sejak diumumkannya perihal keikutsertaan SMA Praditya –sekolah Felis- dalam sebuah lomba baris berbaris satu kabupaten, mereka jadi harus berlatih ekstra akannya.
Kini, ada banyak perubahan dalam jadwal harian Felis. Ia membantu mamanya di pagi hari, lantas berangkat sekolah. Sepulang sekolah, ia mengikuti pelatihan khusus anggota peleton inti. Setelah itu, Felis tak langsung pulang ke rumah, melainkan terlebih dahulu menjenguk Farrel di rumah sakit. Jadilah ia akan sampai rumah sekitar pukul setengah enam.
Felis tak merasa keberatan dengan kesehariannya. Malah, ia menikmatinya.
Menurutnya, kegiatan adalah pengalih terbaik dari perasaan kalutnya. Meski Felis tak jarang menangis sendiri di pojok tempat tidur, ia sudah bisa membangun pribadi cerianya di depan umum.
*****
Ini tak ada hubungannya dengan takdir. Ini hanya soal perasaan. Perasaan bersalah yang selalu menghujami hati Felis setiap ia melihat Farrel. Bahkan, belum sekalipun Felis berani mengungkit kejadian itu lagi di hadapan Farrel. Begitu juga sebaliknya.
Masalah ini terlalu rumit untuk di terima Felis secara tiba-tiba. Masalah ini, kadang belum Felis percayai sepenuhnya akan ia tuntaskan. Bagaimana jika masalah ini hanya akan bertambah parah? Bagaimana jika Farrel tak bisa pulih sepenuhnya lagi? Bagaimana jika…
Okay, Felis sudah menyerah untuk mengungkap masalah itu dengan kata-kata. Masalah itu menurut perasaannya, tidak terdefinisikan. Ini sudah mutlak tak terdefinisikan.
Entah bagaimana caranya, dan seberapa keras Felis menemukan alasannya, ia tak kunjung menemukan definisi yang tepat untuk masalah ini. Bahkan jika di pikir secara logis dalam masalah kali ini tak ada pihak yang bersalah. Bahkan semua pihak menjadi korbannya.
Kenapa bisa begitu?
Apakah masalah ini benar-benar tak terdefinisi? Apakah benar-benar tak ada pihak yang bersalah?
.
.
.
Semua masalah itu terpaksa di kesampingkan dulu mengingat apa yang akan dihadapi Felis esok hari. Bukan masalah besar, hanya sebuah kompetisi baris berbaris. Walau begitu, ia tetap harus mengusahakan yang terbaik. Begitulah prinsip yang diajarkan mamanya sejak kecil.
*****
Ini masih pukul setengah empat. Namun, hampir semua anggota peleton inti SMA Praditya sudah berada di lapangan outdoor untuk melaksanakan briefing singkat, sebelum mereka akan berangkat bersama-sama ke lokasi lomba dengan transportasi yang sudah sekolah siapkan.
Begitu juga Felis. Bahkan ia sudah bersiap sejak pukul setengah tiga untuk hari ini. Hari spesial bagi anggota tonti SMA Praditya.
Berhubung hari masih terbilang dini, jadi sepanjang perjalanan mereka semua hanya berdiam diri di bangku masing-masing sembari menahan kantuk yang bercampur dengan gugup. Tak ada yang mau melakukan kesalahan dalam perlombaan ini.
Mereka akan menunjukkan hasil latihan mereka selama tiga bulan penuh terakhir. Seluruh keringat mereka dalam kegiatan peleton inti, akan dicurahkan dalam perlombaan ini.
Mereka kini sudah tiba di lokasi perlombaan dan sedang menuju basecamp masing-masing sekolah.
Semoga saja seluruh kegiatan hari ini berjalan lancar. Semoga.
*****
"Felis, ini beneran lo?" tanya Ghea ketika melihat Felis setelah ia mengenakan jas tonti sekolahnya.
"Ya iyalah, masa hantu?!" sarkas Felis. Ghea tahu Felis hanya bercanda.
"Ih sumpah gue masih pangling banget aja gitu sama lo! Lo jadi cantik banget sumpah!" seru Ghea, heboh.
"Biasa aja kali ghe, orang gue enggak dandan juga" Felis hanya menanggapinya dengan santai.
"Kalau lo yang pakai, Cuma bedak sama lip balm aja udah kaya pakai make up berlapis-lapis tau! Apalagi waktu lo pakai jas tonti sekolah gini… cans nya enggak main-main, deh!"
"Ya udah terserah nona ghea aja. Yuk kita ikut ngumpul di sana" Felis akhirnya menyerah atas kehebohan absurd Ghea.
"Ayo!!!"
*****
Rangkaian demi rangkaian acara telah berlalu. Bahkan untuk peleton inti putri sudah memasuki urutan ke-15. Dua urutan sebelum Felis tampil. Ia sangat gugup sekarang.
Terlebih, ada sebuah kejadian menarik. Penampilan pasukan baris berbaris putri dengan nomor urut ke-14 yang awalnya sangat memukau, dikacaukan sepenuhnya oleh salah satu anggota yang tiba-tiba jatuh tersandung kakinya sendiri.
Alhasil, ia menjadi bahan tertawaan juri dan peserta lain. Berbeda dengan Felis, ia tak menertawakan kejadian itu sedikitpun. Ia justru tambah gugup. Bagaimana jika kejadian memalukan itu menimpa Felis juga?
Felis sungguh iri dengan pasukan baris berbaris laki-laki SMA-nya yang telah menyelesaikan penampilannya setengah jam yang lalu. Berarti, kegugupan akan gagal di tegah penampilan sudah terangkat dari pikiran mereka.
Tersisa Felis yang semakin dan semakin gugup hingga kakinya bergemetar.
'puk'
Tiba-tiba terasa tepukan di pundaknya. Membuyarkan lamunan Felis sepenuhnya. Rupanya itu Zain.
"Nih, jatah lo" ujarnya sembari menyodorkan satu botol air mineral dingin pada Felis.
"Kok lo bisa ada di sini?" tanya Felis pada Zain.
"Yang udah selesai istirahat suruh ke sini sama mas Didi –pelatih tonti SMA Praditya- buat support yang perempuan, sekalian bagiin air mineral" terangnya.
"Owh, makasih" ujar Felis yang hanya di balas Zain dengan deheman singkat.
"Ngomong-ngomong, waktu mau tampil tadi lo gugup enggak?" tanya Felis
"Ya jelas, lah! Tapi gue sadar gue nggak sendiri. Kita satu pasukan, susah seneng di tanggung bareng. Jadi, buat apa gugup?"
"Owh iya, ya"
"Kenapa nanya? Lo gugup yaa… Nyampe gemetaran gitu" ledek Zain
"E-enggak, kok! Pegel aja dari tadi berdiri terus!" Elak Felis.
"Hm, iya deh iya percaya… Kalo gitu, gue ke yang lain dulu, semangat Felis!" Felis mengangguk dengan semangat.
Dalam hati, perasaan gugup Felis sudah berkurang drastic. Kini, ia bisa berjalan tegak tanpa bergemetar. Ini semua berkat Zain. Felis berjanji akan berterima kasih pada Zain selepas perlombaan ini usai.
*****
Felis dan teman-temannya kini maju tanpa gentar. Mereka saling percaya mempercayai hingga berhasil tampil dengan kesalahan yang minor.
Rasa gugup akan hal memalukan yang tiba-tiba menimpa di tengah perlombaan telah sirna sepenuhnya dari kepala Felis. Namun masih ada satu hal mengganjal di hatinya.
Pengumuman juara.
Waktu terasa sangat cepat berlalu setelah mereka menunjukkan penampilannya. Hingga mereka tak menyadari bahwa pengumuman juara akan dilaksanakan lima belas menit lagi.
Begitu sadar, mereka langsung berhamburan pergi menuju tempat berkumpul untuk pengumuman juara.
Susah, senang, sulit, letih, lapar, sakit, telah mereka lalui bersama tiga bulan ini. Bukan perjuangan yang bisa di pandang sebelah mata, kan.
"Kami akan mengumumkan juara dari juara pertama. Juara pertama pada kompetisi baris berbaris kategori perempuan tingkat kabupaten dimenangkan oleh
.
.
.
SMA Praditya!"
Felis sangat senang. Ia ingin dengan cepat memberitahukan kabar gembira ini pada Farrel. Karena ia tahu, sejak dulu Farrel sangat menyukai baris berbaris, ataupun hal yang berhubungan dengan tentara. Itu cita-citanya sedari kecil.
Oh, tidak. Rasa bersalah itu kembali meremas hati Felis. Apa yang sebenernya di lakukan Felis hingga ia terus dicengkram oleh perasaan bersalah yang begitu besar? Mengapa takdir sungguh kejam padanya kali ini?
______________________
Kyle_Keii