Selepas kepergian Clover, Ara tak lupa berpamitan pada anak-anak luar biasa itu. Mereka terlihat tak merelakan kepergian Ara. Sehingga mereka meminta Ara untuk mendatangi mereka lagi pekan depan. Tentu saja Ara mengiyakan, tak apa waktu luangnya dipergunakan untuk menemani anak-anak luar biasa di sini, Ara juga senang. Bahkan, ia berharap Clover pun akan datang juga pekan depan.
"Kakak pamit pulang, ya. Kalian baik-baik di sini, nurut sama kak Gandhi," pesannya, "Gandhi kamu juga jagain mereka baik-baik, ya."
"Iya, kak. Kakak hati-hati di jalan."
"Kakak, kakak, besok-besok ke sini lagi, ya," kata anak dengan badan berisi itu. Ara hanya mengangguk dan tersenyum.
Setelahnya dia pergi dengan melambaikan tangan. Seperti orang kebanyakan yang melambaikan tangan pada anak-anak, karena hal tersebut adalah salah satu upaya yang bisa membuat mereka senang. Entah apa yang disenangi dari lambaian tangan, mungkin itu karena lambaian tangan adalah bentuk keingatan kita terhadap seseorang sebelum pergi. Usai dari lambaian tangan ia berjalan di gang dengan kecepatan yang ditambah. Siapa tahu di depan sana masih ada Clover. Bisa juga nanti, sembari menunggu ojek atau kendaraan umum lewat, dia berbincang sebentar dengan Clover. Namun sayangnya, Clover sudah tidak ada pada saat Ara memunculkan diri. Jadinya, Ara hanya bisa menghela napas lelah dan menyesal. Dia kurang cepat sedikit.
Kemudian, Ara memilih memesan ojek online saja dari pada harus menunggu kendaraan umum. Ketika Ara sedang mengotak-atik ponsel, tiba-tiba seseorang dengan mengendarai motor sport berhenti tepat di depannya. Tentu saja hal tersebut mengalihkan perhatian dari layar ponsel. Dia belum juga turun dari motornya yang Ara tebak, masih mengamati dirinya sendiri du balik kaca hitam helm. Ara pun tak tau siapa gerangan manusia di balik pelindung kepala itu. Setelah dikiranya cukup, dia turun dari motor, sehingga Ara dapat mengetahui pawakan seseorang ini dari badan hingga kaki. Sepertinya Ara sedang mengingat-ingat sampai dahinya berkerut. Lelaki itu melepaskan pelindung kepala, lalu berjalan ke arah Ara. Wajahnya menampilkan senyuman lebar, sedangkan Ara menampakkan wajah terkejutnya.
"Ra, kamu ada di sini?"
"Kamu.., kenapa kamu ada di sini juga?"
"Iya, Ra. Sekitar dua minggu yang lalu aku memutuskan untuk kerja di sini aja," jawabnya. "Kamu kemana aja sih, Ra? Kamu udah nggak di jogja lagi?"
Ara menggeleng, "Enggak, aku hanya kuliah di sana."
"Oh, gitu ya."
Lelaki itu melihat ke kanan kiri seperti mencari tahu sesuatu. Ara yang mengetahui itu hanya diam saja. Dia tidak mau banyak bicara dengan lelaki ini. "Kamu tinggal di sekitar sini? Kok, aku baru lihat kamu sekarang, ya."
"Bukan, Do. Aku nggak tinggal di sini. Ini aku mau pulang, aku pamit-"
"Sip kalo begitu, tak jojog e, yo." Lelaki itu menawarkan untuk mengantar Ara pulang, tetapi dia tidak menunggu persetujuan darinya. Dia malah langsung saja menyeret tangan Ara ke tempat dimana motornya berada. Kemudian, dia menyerahkan satu pelindung kepala yang selalu dibawa olehnya kemanapun selama berada di Jakarta ini.
"Eh, ini?"
"Sudah, pakai aja ayo."
"Enggak, Do."
"Pakai, Ara jelek."
"Do enggak, Do. Aku naik ojek online aja."
"Nggak usah, bonceng aku aja. Nggak bakalan aku suruh kamu banyar, ini gratis."
"Rindoooo!" Ara merengek sekaligus mempertegas ucapannya untuk menandakan bahwa ia menolak ajakan Rindo. Tapi justru rengekannya yang paling ketara dibanding ketegasannya.
Rindo sama sekali tidak mengindahkan permintaan Ara, dia malah kembali tersenyum pada Ara. "Dulu aku pernah bilang 'kan sama kamu kalau panggil nama aku dengan nama panjang, itu artinya apa?"
"Enggak, aku nggak rindu kamu," jawabnya ketus.
"Loh, itu kamu sendiri yang mengatakannya."
"Nama kamu pendek."
"Tapi kamu memperpanjangnya."
"Nggak tau, kamu pulang sana."
"Ya, kamu yang pulang, katanya disini bukan sekitar tempat tinggal kamu."
Ara yang mendengar hal tersebut semakin dikesalkan. "Ya, makanya aku mau pulang."
"Makanya, aku anterin."
Tak pernah ada selesainya berdebat dengan Rindo. Dia selalu memaksa hal apa pun yang Ara tak mau. Rindo adalah orang yang selalu bisa membuat seorang Ara kesal. Dia yang selalu Ara hindari bila ada sesuatu, tapi terkadang dia juga orang yang paling bisa Ara cari jika terjadi sesuatu. Rindo adalah orang yang baik sebenarnya.
"Nggak apa-apa ya, Ra. Lagian kita juga udah lama nggak ketemu 'kan. Itung-itung karena bertemu teman lama. Ini temanmu, loh."
"Ck, ya sudahlah."
Hari ini sungguh mengejutkan bagi Ara. Bertemu sekaligus dengan dua orang di masa lalunya. Saling membawa peran masing-masing untuk Ara. Clover membawakan perubahan yang membuat Ara memiliki banya pertanyaan. Lalu, Rindo yang masih saja membuatnya kesal tetapi juga rasa bersalah karena terus membuat dia saja yang mencarinya. Apa mereka berencana bersama-sama untuk menemuinya pada hari ini, hari yang sama? Ah, rasanya tidak, mereka tidak saling mengenal juga. Belum lagi, Legra yang juga pada hari ini sedang tidak berada di Indonesia.
"Dipakai itu helm, Ra," kata Rindo dan Ara hanya berdehem.
"Tunjukan jalan, ya.
Cukup lama mereka berada dalam perjalanan. Sekarang mereka telah berada di jalanan menuju tempat kos Ara tinggal. Namun, tentu saja Ara tak akan membiarkan Rindo mengantarkannya sampai di depan tempat kos.
"Do, di sini aja. Turunkan aku di halte itu."
"Di halte? Enggak langsung ke tempat tinggalmu?"
"Enggak, Do. Masa iya kamu mengantar aku sampai di depan kos perempuan."
"Iya, deh, aku tau."
Tepat di depan halte Rindo menghentikan laju motornya. Membiarkan Ara turun dan menyerahkan pengaman kepala. Setelah itu, dia pun iku menuruni motornya, tak lupa juga melepas pengaman kepala.
"Loh, kenapa ikut turun?"
"Kita bicara sebentar, yuk," ajaknya sembari menghampiri bangku halte yang ada di sana. "Sini, Ra duduk."
Tanpa kata-kata apapun atau berbagai bentuk protestan lain, Ara menurut. Rindo sedang berada di dalam mode serius dan tampangnya tidak menunjukkan akan membuat dirinya kesal. Dia berjalan menghampiri Rindo, kemudian menduduki bangku itu juga di samping kirinya Rindo.
"Ada apa?"
"Sebelum kamu menghindari aku, sebelum kamu menjauhi aku lagi, aku mau bilang dan tanya sama kamu."
"Maksudnya bagaimana, Do?" Entah kenapa Ara tiba-tiba mulai berkeringat dingin. Ada perasaan was-was dalam dirinya mengenai Rindo.
"Aku selama ini merasa kalau kamu selalu menghindari Aku selama tujuh tahun ini, Ra. Aku yakin waktu kita SMP kamu masih baik-baik aja sama aku walaupun banyak dari teman kita yang nggak suka kalau aku berteman sama kamu."
"Teman kamu, bukan teman aku," koreksinya dengan malas.
"Iya, iya, iya, teman aku. Terus, setelah aku membantu kamu yang ingin bersekolah di luar kota, kamu yang mati-matian belajar supaya bisa masuk ke sana, sampai akhirnya kamu di terima. Selama masa SMA itu kamu kemana? Udah punya teman baru sampai kamu lupa sama Aku?"
"Bukan, Do. Aku bahkan juga nggak punya teman di sana."
"Udah pinter, udah pindah sekolah masih juga nggak punya teman?" Ara menggeleng.
"Ya sudah, pertanyaan terakhir. Saat kamu kuliah di awal tahun kita pernah ketemu, di tahun akhir juga sama, kita pernah bertemu. Tapi kenapa juga kamu menghindari aku, pergi ke sini nggak pernah bilang. Kamu sebenarnya kenapa sih, Ra? Aku ada salah ya, sama kamu sampai kamu terus menghindari aku?"
Ara hanya menggeleng lemah sambil menunduk kepalanya ke bawah. Selama ini ia tak pernah menjelaskan hal apapun yang terjadi Rindo, padahal Rindo selalu membantu dia di kala membutuhkan.