Chereads / BILARA / Chapter 30 - Bagian XXIX

Chapter 30 - Bagian XXIX

Untuk mengetahui cerita Ara bersama Clover, maka kita perlu adanya kembali pada kejadian masa lalu. Bukannya kembali dengan kantong Doraemon, akan tetapi kembali mengingat kejadian masa lalu. Flash back pada masa SMA Ara dan Clover.

Pada masa itu adalah akhir bulan, masa keuangan Ara yang sedang krisis-krisisnya. Tidak hanya Ara, tetapi kebanyakan orang pun demikian. Jika kebanyakan orang masih memiliki bantuan dari teman, sanak saudara, dan bahkan orangtua, maka itu tidak berlaku untuk Ara. Dia tidak memiliki teman, jauh dari orangtua dan sanak saudara. Tidak ada yang tahu bahwa dirinya tengah kesusahan. Ingin meminta tolong pun, ia pikir ia tidak akan mampu pula untuk mengembalikan uang pinjaman. Ara memilih duduk menyendiri seperti biasa di kursi kantin, menunggu pertolongan Tuhan.

"Woi, Ra. Kamu ngapain di sana? Nungguin orang makan? Atau nggak punya duit buat makan? Hahaha.." ucap salah seorang yang sedang duduk bersama segerombolan temannya. Sedangkan Ara hanya diam saja tak menanggapi.

Terdapat 5 orang duduk di sebelah barat kanan atau dapat dikatakan di depan samping kanan Ara. Dua orang lelaki dan tiga orang perempuan. Salah satunya adalah Clover dan di depan Clover adalah lelaki yang sempat berbicara dengan Ara.

"Woy, woy, woy, sisakan. Kita kasihkan ke Ara caper, kasihan dia pasti belum makan. Hahaha.." kata lelaki satunya.

"Monyet kamu, makanan aku ini makanan mahal tau. Main kasih ke orang aja."

"Eh, pinter sedikitlah. Sisakan buat dia biarkan dia yang mencuci sekalian." Menggunakan piring sendiri ketika makan di kantin sekolah sudah menjadi peraturan sekolah. Tentu saja yang mencuci piringnya juga dilakukan sendiri.

"Wohiyaa, pinter juga otak kamu," katanya. "Ayo guys, sisakan biarkan Ara yang cuci. Hahaha.." tertawa lagi.

Dan benar, setelah mereka menghabiskan beberapa makanan, mereka benar-benar menyisakan sedikit makanan untuk Ara. Hanya sedikit, sebab yang tertinggal di sana hanya sekitar seperempat nasi dari beberapa piring. Selebihnya untuk lauk, sudah habis. Namun, bagi Ara itu tak apa dari pada ia harus mengali makanan dari tong sampah seperti pengemis. Atau meminta-minta makanan pada ibu kantin tanpa tahu malu. Setidaknya orang-orang tadi tulus membantu Ara tanpa paksaan. Walaupun ia merasa harga dirinya terinjak-injak. Merasa tidak pernah dihargai sebagai seorang teman. Ara menangis kala pertama hal seperti ini terjadi.

Hari-hari di akhir bulan seterusnya pun tak ada yang berbeda dari hari itu. Ara selalu kehabisan uang bulanan yang dikirimkan oleh ibunya sehemat apa pun ia menggunakannya. Membuatnya mau tak mau harus mau melakukan hal yang sama. Namun, semakin lama ia merasa lebih baik. Seseorang sengaja meletakkan sepiring makanan utuh di antara makanan sisa itu. Posisinya kerap kali di ujung meja yang Ara ketahui adalah tempat duduk yang sering Clover gunakan. Maka dari itu, ia menyimpulkan bahwa Clover adalah orang yang baik. Clover ingin membantunya, walau ia tak mengatakan langsung.

"Sudah selesai cuci piringnya, Ara caper? Bawa sini dong, piring aku!" Baru saja Ara memasuki kelas, ia langsung menghampiri Clover setelah membagikan piring milik teman-temannya Clover.

"Terima kasih, ya, Clover," ucapnya dengan tersenyum tulus.

"Apaan sih kamu, Ra. Jangan cari perhatian juga ya, sama teman-teman aku. Sama guru aja sana." Sudah sedari dahulu, Clover adalah orang yang lebih memilih berbicara dengan tenang, tetapi menekan. Hanya pada saat emosinya memuncak dia akan berteriak. Bagi Ara, semua itu hanya untuk menutupi kebaikan yang sebenarnya Clover berikan padanya.

Selepas itu, Ara beranjak pergi ke tempat duduknya. Memilih diam, tidak memperhatikan semua orang di kelas. Memilih menyibukkan diri dengan belajar dan latihan-latihan soal. Hingga guru datang menerangkan materi pelajaran dan memberikan latihan soal. Ketika sang guru mengajukan pertanyaan untuk dijawab dan dituliskan di papan tulis, tak ada yang dapat menjawab. Semua orang diam antara tidak paham dengan materi dan soal yang diberikan terlalu sulit. Namun, semua orang di kelas itu adalah orang-orang yang ambisius. Tidak mungkin mereka menyerah menyerah begitu saja dengan sebuah soal. Setelah beberapa menit berlalu, tak ada satu pun siswa atau siswi yang mampu memecahkan persoalan.

Sebenarnya, Ara telah belajar dan memahami soal yang telah diberikan oleh guru. Bahkan, dia dapat menjawabnya dalam hitungan detik. Ara memilih tidak menjawab pertanyaan sang guru karena ia rasa, ia terlalu sering mendapatkan situasi yang sama. Ketika semua orang hanya diam berpikir, ia telah menemukan solusi permasalahan soal. Dia dapat menjadi lebih ambisius dari orang-orang di dalam kelas itu.

"Ara, bagaimana denganmu, nak? Ibu tahu kamu dapat menjawab soal di depan." Tiba-tiba sang guru memperhatikannya ketika Ara sedang memandang satu persatu orang. Tentu saja dari bangku paling belakang.

Ara hanya sekedar menjawab, "Baik, bu," kemudian melangkah maju ke depan.

"Ish, sok-sok nggak tahu padahal tahu semuanya," celetuk salah satu siswi saat Ara melewatinya.

Sebelum menuliskan jawaban di papan, Ara menengok sekilas ke belakang. Matanya menangkap sosok Clover yang sedang memandangnya sinis. Tentu saja Ara tahu maksud dari tatapan mata Clover itu.

"Tepat sekali jawabanmu, nak. Terima kasih ya," kata guru tersebut setelah Ara menyelesaikan soal. "Nah, anak-anak, Ibu sudahi mata pelajaran kita hari ini. Jangan lupa, sisa soal yang belum terjawab adalah pekerjaan rumah untuk kalian. Ibu mengizinkan jika kalian ingin bertanya terkait soal tersebut pada Ara, jika dia tidak keberatan. Terima kasih semuanya. Selamat siang!"

"Terima kasih, bu. Selamat siang!" teriak mereka serempak.

Seperti itu kiranya masa SMA yang telah Ara jalani selama tiga tahun bersekolah. Tidak ada yang spesial di sana. Jangankan spesial, berubah menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya saja tidak. Perubahan itu hanya ada di seseorang yang bodoh menjadi cerdas saja. Hidupnya tidak berhenti diikuti oleh bayang-bayang tidak memiliki teman.

Astri mendengarkan cerita Ara dengan seksama. Setelah Ara selesai bercerita, kemudian dia berteriak, "Sudah gila mereka! Hanya karena bisa dan tidak bisa, hanya karena pandai dan bodoh, hanya karena nilai, semuanya menjadi pembeda? Bahkan, apa itu, mereka memberi kamu makanan sisa? Benar-benar sisa?" Astri menggeleng-geleng tidak habis pikir atas kelakuan mereka. "Benar-benar nggak punya moral. Tak pepes aja nanti mereka."

"Sudah, aku sudah cerita. Lebih baik jika sekarang kamu cepat-cepat pergi bekerja sebelum terlambat."

"Oh, iya jam berapa sekarang?" tanyanya sembari melihat penanda waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ra, meskipun Clover telah baik padamu, tetap saja dulu dia pernah menyakiti hatimu. Bahkan, sekarang dia telah menfitnahmu."

Ara berusaha memikirkan kembali kata-kata Astri setelah wanita itu pergi meninggalkan halte. Sembari berjalan, ia kembali berpikir banyak hal. Tentang masa SMA-nya bersama Clover, juga masa SMP-nya bersama Rindo. Mungkinkah pada saat sekarang ia sudah berhak mendapatkan banyak teman? Hanya opsi-opsi kosong tanpa jawaban yang ditemukannya. Sebab, jawaban tersebut masih transparan untuk sekedar keluar menjadi semu. Masih menjadi rahasia Sang Pencipta. Yang pasti akan terjawab suatu saat nanti. Ara hanya mampu berdoa sembari menunggu jawaban yang Tuhan kirimkan. Berharap dan pastinya diberikan yang terbaik oleh-Nya.

Langkah kaki Ara telah memasuki tempatnya mencari rezeki. Semua orang yang biasanya tidak pernah menatapnya, biasanya tidak peduli padanya, kini semuanya memperhatikannya. Memperhatikan dengan mata sinis, seakan mengolok-olok dirinya dan hidupnya. Memperhatikan dari ujung kaki, hingga kepala seolah tengah menilai. Ada apa dengan semua orang? Mengapa mereka memperhatikannya sampai seperti itu?