Pohon akan selalu bergoyang jika angin terus menerpa. Menari ke sana kemari demi mempertahankan bagian tubuhnya yang rapuh. Tidak membiarkan tubuhnya itu tumbang, rantingnya patah, dan daunnya gugur satu persatu. Cukup sulit apabila melawan angin sendirian tanpa bantuan pohon lain di sekelilingnya. Lain halnya dengan hutan, mereka secara bersama-sama melawan angin, melawan bencana di sekitarnya. Saling berpegangan antara ranting satu dan ranting lainnya. Saling memberikan dukungan antara akar satu dengan akar lainnya. Bukankah tampak begitu perbedaan antara hutan dan pohon?
Pohon, dia tidak jauh berbeda dengan Ara. Sendiri dimana pun ia berada. Karena dia pendiam dan selalu menjadi pasif ketika ada suatu diskusi. Takut menyampaikan pendapat walau dia memiliki banyak pemahaman. Selalu berpikir bahwa pendapatnya tidak akan diterima. Yang ada di kepalanya, jika dia berpendapat, orang-orang yang tak setuju akan pendapatnya akan semakin tidak menyukainya. Pun jika dia menginginkan berbicara, apa yang keluar dari mulutnya tak sesuai dengan yang dipikirkannya.
Pekerjaan Ara bukanlah pekerjaan yang dihadapkan pada komputer setiap hari. Dia bekerja untuk langsung terjun ke lapangan. Tentunya akan bertemu dengan banyak orang. Berinteraksi dan berbicara. Berbicara mengenai pekerjaan sudah tidak menjadi masalah untuk Ara. Sebab, dia sudah menguasai hal-hal yang harus dilakukan sebagai seorang pekerja dan pengaturan pekerjaan. Apa lagi jika pekerjaan itu dilakukan one by one. Lain halnya dengan sosial, Ara sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk yang satu ini. Dia begitu lemah berhadapan dan berinteraksi sosial di kehidupan.
Sudah setengah harian ini, para pekerja yang biasa berinteraksi dengan Ara selalu menatapnya sinis. Biasanya mereka akan memberikan satu atau dua guyonan meskipun Ara tak pernah menanggapi. Bukannya sombong atau tidak mau memiliki hubungan yang baik dengan mereka, hanya saja dia tidak tahu yang harus dilakukannya untuk menanggapi. Sehingga mereka hanya berinteraksi ketika pekerjaan mengharuskan. Dan sekarang, semua orang seperti, enggan, tak sudi, bahkan muak untuk sekedar berinteraksi Ara. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi sehingga mereka bersikap demikian.
"Ada apa dengan mereka semua?" tanya Ara pada diri sendiri.
Ara tengah berjalan sendirian di antara orang-orang yang tengah bekerja. Niatnya ingin ke kamar kecil, tetapi melihat mereka yang terlihat terusik akan kehadirannya membuatnya berpikir. Mungkin Ara telah membuat kesalahan besar, walau tak merasa membuat kesalahan. Pada saat itu, seorang lelaki dengan sengaja menyenggol bahunya. Cukup keras dan membuat Ara terjatuh. Semua orang menoleh ke arah mereka setelah mendengar benturan tubuh terhadap lantai.
"Jatoh, ya?" Wajahnya dibuat memelas. "Sorry, dari awal gue nggak lihat ada pelacur di sini soalnya," katanya.
Kata-katanya begitu masuk ke dalam hatinya, hingga sakitnya terasa begitu dalam. Ara marah tentu saja, karena tidak ada seorang pun yang mau dikatakan pelacur. Namun, dia tidak dapat melakukan itu, Ara tidak bisa marah. Kepala Ara yang awalnya menunduk, ia dongakkan menatap laki-laki tidak punya hati mengatainya seperti itu. Wajahnya yang memerah menahan malu dan amarah itu tampak jelas bagi orang-orang di sekitarnya. Ia menatap tidak suka pada lelaki itu, tetapi dia malah membalas menatapnya sinis.
"Kenapa? Nggak terima gue katakan pelacur?" Ara hanya diam menatapnya.
Bukannya membela Ara yang dirasa tertindas itu, semua orang malah ikut serta menatapnya sinis. Tak ada yang memiliki simpati sedikit pun terhadapnya. Memang karena semua orang tidak mengenal Ara dengan baik. Pun Ara adalah seorang yang penutup. Sehingga mereka tidak ada yang peduli terhadapnya. Membuat kepalanya menunduk kembali dengan mata yang menatap ke arah lantai dengan sendu. Ia tak habis pikir sampai lelaki ini mengatainya pelacur.
"Kalian jangan sering-sering berinteraksi sama dia, nanti dimanfaatkan lagi. Kelihatannya aja naif, tapi kelakuannya tidak bermoral sekali." Lelaki itu tersenyum mengejek.
"Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian malah berkerubung? Seperti ada pameran saja." Seorang pekerja tua yang datang hendak meleraikan kerumunan orang-orang yang seharusnya tengah bekerja. Namun, pertanyaannya sama sekali tidak direspon.
"Kalian mau dekat-dekat dengannya? Tentu saja tidak 'kan? Jika kalian berada di sekitarnya, mungkin saja hidup kalian akan hancur."
"Iya, kalau artis saja bisa dia hancurkan, apa lagi kita yang hanya orang biasa."
"Betul itu, betul." Semua orang berteriak menyetujui pendapat wanita di belakang lelaki yang meneriaki Ara seorang pelacur. Begitu mengerikan.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ini semua berkaitan dengan foto yang kamu sebarkan, Clover?" batin Ara bertanya.
Sewaktu Astri pergi, Ara berencana menyelidiki berita yang telah Clover sebarkan melalui ponsel terlebih dahulu. Ia pun menyadari perubahan sikap orang-orang terhadapnya adalah pengaruh dari berita tersebut. Namun, setelah Ara mengecek ponsel, ponsel tersebut mati karena kehabisan baterai. Ara lupa jika semalam dirinya tidak menambah energi pada ponsel. Jadilah seperti ini, ia tidak tahu apa pun selain dari ponsel pintarnya. Sebab, dia tidak berani atau tak ada yang mau memberinya bantuan untuk memastikan keadaan.
"Sudah, kamu keluar saja dari tempat ini. Tidak ada yang mengharapkanmu di sini," kata lelaki itu lagi. Sepertinya dia sangat tidak menyukai Ara di sini.
Pekerja tua yang tidak direspon tersebut mulai jengah dengan para pemuda yang tidak memiliki belas kasih dan seenaknya sendiri. Pekerja tua itu berkata, "Hey, nak. Memangnya kamu yang memiliki tempat di pekerjaan ini sampai kamu menyuruhnya keluar? Siapa kamu? Bahkan tempatmu lebih rendah dari pada kedudukan nak Ara sendiri."
"Saya memang hanyalah teknisi biasa, pak, tetapi moral saya jauh lebih baik dibanding wanita ini," belanya pada diri sendiri. "Anda tahu? Wanita pelacur ini, ingin mengubah hidupnya dari seorang yang.. lihat penampilannya.. kucel. Mau menjadi orang kaya raya dengan menyingkirkan artis. Mimpi saja lo tinggi-tinggi."
"Kamu merasa lebih baik, tapi kamu menghinya. Apakah itu lebih baik? Hah!" Pekerja tua menjadi marah mendengarnya. "Cepat pergi atau saya laporkan pada atasan? Kalian semua juga!" ancamnya.
Lelaki itu hanya mendengus kesal. Tak mau dirinya menerima tuturan atasan, dia memilih meninggalkan kerumunan itu. Begitu pula dengan orang-orang yang membentuk kerumunan itu.
"Berdirilah, nak." Pekerja tua itu membantu Ara untuk berdiri dari duduknya.
Ara berdiri dengan kepala yang masih menunduk. Dadanya naik turun, masih menahan amarah. Ara tidak tahu kesalahan yang telah diperbuatnya sampai mereka bersikap demikian terhadapnya. Air matanya berderai membasahi pipi. Tak kunjung berhenti meski telah diusap berkali-kali.
"Sudahlah, yang mereka katakan tidak usah kamu masukkan ke dalam hati. Mereka hanya orang-orang tak memiliki hati yang melihat orang lain dari sisi luarnya."
"Saya baik-baik saja, pak." Diusapnya kembali pipi sebagai tempat mengalirnya air mata.
"Saya tahu kamu adalah anak yang baik. Tetaplah semangat menjalani hidup. Hidup ini bukan berdasarkan penilaian orang lain, tetapi bagaimana kamu sendiri yang menjalaninya." Penuturan pekerja tua itu Ara dengarkan dengan sebaik-baiknya.
Mungkin saja hal ini terjadi sebab Ara yang memaksakan diri untuk tetap berteman dengan Legra. Bahkan, ia tak dapat menahan dirinya untuk tidak memiliki rasa padanya. Pada akhirnya, semua hal yang tidak diinginkan olehnya benar terjadi.
Mungkin juga, Ara adalah manusia yang paling tidak mampu berhubungan dengan sosial. Pada akhirnya, ia tidak memiliki banyak orang untuk mau mengakuinya sebagaimana manusia dimanusiakan. Dia tidak dapat membuat Clover untuk tidak membencinya.
Bahkan untuk Rindo, ia telah membuatnya dibenci oleh banyak orang. Semua ini benar-benar murni kesalahannya. Bukan orang lain yang seharusnya disalahkan, tetapi dirinya sendiri.
Ara membalikkan tubuhnya. Berjalan kembali ke tempat dia bekerja. Meninggalkan pekerja tua setelah mengucapkan terima kasih padanya.