Meskipun Ara telah menyetujui saran Rindo untuk pergi dari Jakarta, bukan berarti ia akan pergi pada hari itu juga. Tentunya ia harus menyelesaikan segala hal yang harus ia selesaikan seperti pengunduran diri dari pekerjaan. Tidak mudah rupanya untuk sekedar mengundurkan diri, Ara harus menunggu persetujuan dari atasan, menuntaskan pekerjaan yang belum tuntas. Sampai jika bisa ia dapatkan, ia ingin mendapatkan rekomendasi pekerjaan di Jogja plus suratnya. Cukup berbelit memang, tetapi ia tak mau banyak menyusahkan Rindo nantinya. Apa lagi Rindo juga mengatakan akan ikut pindah bersamanya ke Jogja. Ketika Ara memarahinya, ia selalu beralasan bahwa agar ia juga bisa dekat dengan rumahnya jika ingin pulang. Terserah saja apa katanya.
Pekerjaan Rindo? Oh, Ara baru menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui perkerjaan apa yang tengah ia lakukan di kota besar ini. Bukankah Rindo pernah mengatakan padanya bawa ia baru bekerja dua minggu yang lalu? Lantas sekarang dia ingin mengikutinya untuk kembali ke Jogja? Yang benar saja. Sekalipun Rindo yang menginginkannya sendiri, tetap saja Ara akan merasa tidak enak hati.
Ketika dirinya bertanya, "Do, pekerjaan kamu bagaimana? Apa iya baru masuk dua minggu dan kamu memutuskan untuk mengundurkan diri?"
Namun, Rindo malah menjawab dengan pertanyaan, "Memangnya kamu tahu apa pekerjaanku?" Ara menggelengkan kepalanya karena tidak tahu.
"Nggak akan ada yang masalah jika aku memilih mengundurkan diri. Palingan hanya temanku aja yang uring-uringan karena ditinggal pergi."
"Nah, nanti teman kamu marah," katanya.
"Nggak usah dipedulikan."
"Tapi,"
"Tapi apa lagi, hmm?"
"Tapi sebenarnya apa pekerjaan kamu?"
"Aku? Aku cuma tukang bengkel aja." Ara hanya mangut-mangut, padahal dirinya tidak tahu saja kalau Rindo berusaha menyembunyikan sesuatu. Bukan hanya sekarang, tetapi sejak dulu ia selalu menyembunyikan semuanya dari Ara. Bukan untuk bermaksud jahat, tetapi berusaha untuk melindungi dan membuat Ara tidak merasa bersalah.
Sebenarnya, Rindo bekerja di bengkel ternama yang ada di Jakarta. Rindo memang hanya lulusan SMK, tetapi itu bukan berarti ia tidak dapat sepintar dan seberhasil sarjana di luaran sana bukan? Sebenarnya, Rindo itu adalah orang yang hebat, tetapi kelemahannya adalah dia terlihat seperti seorang yang pemalas. Dan ia sadar bahwa itu hanyalah yang terlihat demikian. Namun, semua orang tidak sebenarnya tau akan dirinya, termasuk Ara sendiri. Sebab, yang mengerti diri kita adalah diri kita sendiri. Tergantung pada apa yang kita pikirkan untuk mengemasnya menjadi elok dipandang orang lain.
Lantas, Ara pun masih harus melakukan banyak hal sebelum meninggalkan Jakarta. Termasuk untuk Astri tentunya. Apa yang akan ia katakan nanti padanya? Ara takut jika nantinya Astri akan bersedih apabila ia meninggalkannya atau mungkin Astri akan menahannya untuk tetap berada di tempat. Entahlah, hal ini yang sulit untuk ia lakukan. Ia hanya bisa berdoa semoga Astri mau menerima keputusannya.
Pada saat Ara akan berpamitan dengan Astri, Rindo ikut serta untuk menemaninya. Ia pikir bahwa Ara masih kesulitan menjelaskan sesuatu yang menyangkut hidupnya pada orang lain. Namun, Rindo salah rupanya. Ara mampu berkata-kata dengan baik dan menjelaskan semuanya pada Astri di depannya. Ia berucap syukur di dalam hati, pasalnya sudah ada perubahan besar yang terjadi dalam hidup Ara. Meski tidak seluruhnya, tetapi perubahan manusia sudah pasti membutuhkan proses bukan? Itulah yang sedang terjadi pada Ara. Sedang berproses menjadikan diri menjadi yang lebih baik.
"Ih, apaan sih?! Pasti kamu 'kan yang mempengaruhi Ara untuk pergi?" tuduh Astri pada Rindo.
"Lah, emang," katanya santai.
"Kamu itu anak kemarin sore, baru datang tiba-tiba udah nekat membawa Ara kabur aja! Nggak, nggak boleh!" tekannya dengan nada sengit pada Rindo.
"Enak saja kamu bilang bahwa aku anak kemarin sore. Aku sudah lebih dahulu kenal dengan Ara dari pada kamu, ingat itu! Bahkan kamu pikir kamu lebih tau tentang Ara dari pada aku?!" Rindo pun tak kalah sengit membalas pernyataan Astri tersebut. Dia juga tidak terima apabila di sebut anak kemarin sore.
"Iihh," Astri mendorong bahu kiri Rindo dengan gemas. Sayangnya tidak cukup kuat untuk membuat Rindo terdorong jauh. "Aku tau Ara, aku tauu!" Kesal menghadapi Rindo, Astri berteriak demikian.
"Nggak kamu nggak tau, aku yang lebih tau!"
"Aku tau!" teriaknya lagi.
"Sudah, sudah. Astri, Do, ini bukan masalah kalian lebih tahu aku atau tidak. Ini memang sudah pilihan aku untuk pergi dari sini. Aku rasa kota besar seperti ini memang tidak cocok untukku. Pun Legra, aku tidak sepantasnya berteman dengan seorang seperti dia, bahkan sampai lebih dari teman." lirihnya.
"Ra, kamu jangan pergi. Nanti aku sendirian di sini."
"Kapok, sendiri ya sendiri aja, sih," Rindo masih tidak lelah berdebat dengan Astri.
"Diam kamu."
"Kita masih bisa berjumpa Astri. Bahkan aku 'kan memutuskan untuk bekerja di tempat kelahiran kamu. Jadi kalau kamu pulang, kita bisa bertemu."
"Ra, bukan seperti itu. Nanti aku kesepian nggak ada kamu. Nanti aku bawa pulang makanan lagi untuk siapa? Jika mau bercerita lagi sama siapa kalau begitu?" Ara hanya tersenyum menanggapinya. "Baru kemarin loh, kita sudah cerita banyak sekali."
"Cerita aja sama tembok, makan aja maunya ditemani."
"Diam kamu. Dari tadi kerjanya menyela aja. Nggak baik tau." Seketika Rindo berpose mengunci mulutnya.
"Maaf, Astri."
Setelah ia rasa akan berbicara baik-baik dengan Astri, ia pikir akan mudah berbicara dengan Astri, nyatanya tidak. Sulit sekali membujuk Astri untuk mengikhlaskannya pergi. Namun, dengan menyertakan semua alasan-alasan yang ada, Astri semakin lama mengerti meski rasanya berat. Bahkan ia menyetujui hal tersebut jika memang itu yang terbaik. Walau pun Astri Masih tidak rela dengan keputusan Ara itu. Astri masih menginginkan Ara tetap berada di sisihnya, menemaninya sampai ada jodoh yang menjemputnya nanti. Bukannya bertemu kucing seperti Rindo untuk beradu.
Selanjutnya, siapa lagi yang perlu ia pamiti? Rindo menyarankan untuk hanya berpamitan dengan orang-orang yang sekiranya penting seperti Astri saja. Walau Ara sadar, tak banyak orang-orang penting yang ada di dalam hidupnya. Sekali pun ia menganggap mereka penting, bukan berarti mereka akan kembali menganggapnya penting. Legra contohnya.
Oh iya, Ara lupa untuk berpamitan padanya. Lalu, apa mungkin Legra perlu dia pamiti? Ara melupakan bahwa Legra sedang berada di Singapura. Ia tak yakin dirinya dapat berpamitan pada Legra. Sewaktu Ara memilih untuk tidak berteman dengan Legra saja, ia merasa marah karena tidak terima ditinggalkan. Lantas bagaimana? Bagaimana caranya untuk berpamitan dengan Legra dengan keadaan yang demikian. Dan lagi pula ponselnya sedang tidak bersamanya. Rindo membawa ponselnya itu, katanya untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi yang disebabkan oleh para penggemar Legra di dunia teknologi ini. Katakanlah mereka berprasangka buruk, tetapi hal tersebut semata-mata hanya untuk berjaga-jaga saja.
Tak ada yang dapat ia lakukan saat ini. Bahkan semakin hari, para penggemar Legra semakin mengganas saja. Dimana pun Ara berada, seakan dicintai oleh mereka semua. Ara bergerak ke utara, mereka ada, selatan, barat, hingga timur mereka selalu ada. Rasanya penggemar Legra ini banyak sekali. Selalu mengikutinya dimana pun keberadaannya. Namun, hal itu dapat diartikan bahwa banyak orang yang peduli terhadap Legra bukan? Banyak yang ingin melindungi Legra. Walau pun ia telah menjadi korban kesalahpahaman yang tak seharusnya ada.
Semua ini kerena Clover. Coba saja jika Ara tak pernah berjumpa dengan Clover, semuanya tidak akan pernah menjadi seperti ini. Namun, jika tidak ada Clover, ia juga akan mati kelaparan di SMA. Seharusnya Ara berterima kasih pada Clover, bukan menyalahkannya. Bagaiamana lagi? Memang penyebab dari semua ini adalah Clover.
Ara pusing, hatinya resah memikirkan semua ini. Seperti tidak ada hentinya. Sudah beberapa Ara masih berada di Jakarta. Ia pikir semuanya akan meledak sekembalinya Legra nanti. Jadi sebelum semuanya terjadi, Ara harus sesegera mungkin pergi dari sini. Ia tidak mau lagi dicerca, dihina, dan dimaki. Rasanya ia ingin selalu menangis dan terus menangis.