Chereads / BILARA / Chapter 40 - Bagian XXXIX

Chapter 40 - Bagian XXXIX

Memulai hari dengan semangat pagi dan wajah berseri-seri, dia Ara. Di hari pertamanya bekerja, Ara begitu semangat kembali menjalani hari. Namun, mengingat ia mencari pekerjaan dan mendapatkan pekerjaan bersama Rindo nanti, ia jadi teringat Rindo sendiri. Ara pikir dengan pamit pulangnya Rindo secara terburu-buru adalah kemungkinan Rindo marah padanya. Ya Tuhan, Rindo satu-satunya teman Ara di sini, dia belum mengenal siapa pun. Masa iya Ara tidak memiliki teman lagi di sini.

Ara teringat tentang suatu hal. Kemarin, saat dia ingin mencari pekerjaan lebih tepatnya, Rindo mengatakan sesuatu padanya.

"Do, aku 'kan udah lamar pekerjaan, pasti nunggu panggilan kerjanya lama ya. Belum pula kejelasan diterimanya. Aku nggak mau jadi pengangguran Do."

"Yah si. Santai aja lagi, Ra. Kamu seperti nggak tahu aku aja. Koneksiku banyak, apa lagi di Jogja."

"Terus aku harus gimana. Maksud kamu bagaimana?"

Rindo memegang dagunya seraya berpikir.

"Ra?"

"Ya?"

"Kamu masih ingin punya banyak teman bukan?"

"Iya."

"Au ada ide."

"Do aku tanya masalah pekerjaan. Kenapa jadi teman sih?"

"Dengar dulu. Ra, kalau kamu ingin punya teman, sering-sering mengajak bicara dengan orang lain. Bicara bukan hanya saat ada keperluan, bicara boleh banget kita lakukan waktu kita nggak ada keperluan penting. Aku sering lihat dulu, bahkan sampai sekarang kamu masih ada hanya akan bicara ketika kamu perlu. Sadar nggak kamu? Dengan aku aja kamu masih begitu. Karena pembicaraan yang tidak penting itu yang justru membuat kamu punya banyak teman. Yang aku maksud penting di sini adalah penting untuk diri kamu sendiri."

"Kenapa bisa?"

"Kalau kamu hanya bicara ketika kamu butuh aja dan sulit menanggapi pembicaraan yang kamu kira hanya basa-basi, ya mereka pasti juga akan cuek. Mereka anggap kamu adalah orang yang serius, dan itu kenyataannya. Mereka anggap kamu tidak mau berteman dengan mereka karena kamu tidak menanggapi basa-basi mereka. Atau mereka bisa anggap kamu risih dengan mereka."

"Jadi Ra, kalau ada orang lain ingin menyapa kamu, basa-basi dengan kamu, kamu harus tanggap. Jawab apa pun pertanyaan mereka. Beri juga mereka pertanyaan yang sama kalau itu pertanyaan umum. Buat mereka senyaman mungkin denganmu."

"Di hidup ini, tidak melulu tentang orang lain pada kamu, tapi jugatentang sikap kamu pada orang lain."

"Jadi, aku harus belajar banyak bicara seperti orang lain?" tanya Ara.

"Bukan, Ra."

"Jadi bagaimana? Aku bingung, Do."

"Tetap jadi diri kamu sendiri. Nggak perlu banyak bicara seperti aku misalnya atau seperti Astri. Cukup jadi diri kamu sendiri. Cuma, kalau ada orang lain mengajakmu bicara, kamu tanggapi. Buat kesan nyaman saat mereka berada di dekatmu, buat mereka nyaman saat bicara denganmu."

"Cukup dengan hal kecil, pembicaraan kecil, tapi bisa buat kamu nyaman, bisa membuat pertemanan kamu tambah erat. Nggak muluk kok kalau kamu cari teman."

Pantas, pantas saja Ara memiliki rasa nyaman ketika sedang berada di sekitar Astri, Rindo, atau pun Legra. Mereka memiliki cara sendiri untuk membuat ia mau berada di dekat mereka. Mereka membuatnya nyaman dengan gaya yang mereka ciptakan ketika sedang bersama orang lain. Dan Ara merasakan itu, segala kenyamanan yang mereka berikan.

Ara mengangguk paham akan penjelasan yang telah Rindo berikan. Dia sekarang pun paham alasan Rindo memiliki banyak sekali teman. Tidak seperti dirinya yang tidak tahu arti dunia teman yang sebenarnya.

Tiba-tiba, Rindo memegang kedua pipinya. Membuat bibirnya tertarik membuat sebuah lengkungan yang pasti bukan senyuman. Karena rasanya sakit, siapa yang tidak sakit jika pipinya dicubit dengan tangan Rindo yang keras itu? Bukan keras sebenarnya, bisa dikatakan kekar? Ya, begitulah.

"Jangan lupa juga, dimana-mana harus senyum kalau sedang ketemu orang lain."

"Ih, sakit."

"Iya-iya, maaf."

"Nanti kalau senyum terus, dikira orang gila?"

"Ck, senyum itu kalau lagi sendirian, terus senyum-senyum sendiri. Nah, dikira orang gila. Kalau senyum yang ini beda. Senyum sama orang lain sebagai tanda sapaan kalau nggak mau panggil 'hai, hallo, hellow'. Biar dikira ramah aja gitu, kayak aku sering dikira orang ramah padahal mah enggak. Hahaha."

"Jadi aku harus senyum ke semua orang."

"Jangan senyum ke orang gila juga ya? Nanti dikira ketular gila juga. Haha." Seperti ini pembicaraan kecil yang Rindo maksud. Bisa menciptakan senyuman. Tawa untuk diri sendiri terutama.

Ara hanya memperhatikan dengan perasaan tidak enak. Jika dilanjutkan, Rindo pasti akan kembali meledeknya. Jadi lebih baik ia mengganti topik.

"Lalu, hubungannya dengan pekerjaan?"

"Ck, nggak sabaran banget. Teman aku ada yang bekerja di salah satu kafe dekat sini. Kita coba lamar pekerjaan juga di sana."

"Hubungannya dengan teman?"

Ara bingung, sungguh. Bukannya Ara tidak tahu berterima kasih karena Rindo mau memberi tahunya banyak hal. Namun, ia tak paham dengan maksudnya. Awalnya Ara tanya masalah pekerjaan, lalu Rindo malah menyuruhnya mendengarkan tentang pertemanan. Memang hal itu sangat Ara butuhkan dan bermanfaat untuknya. Akhirnya saat ditanya hubungan teman dengan pekerjaan, Rindo malah menjawab hanya seputar pekerjaan. Lantas, apa gunanya ia membahas hubungan antara keduanya.

Mungkin, mereka tidak memiliki hubungan spesial.

"Lah, sedari tadi kamu nggak paham juga?"

"Bagaimana bisa paham kalau kamu hanya menjelaskan teman, teman aja. Tiba-tiba bahas kafe temanmu."

"Huh, iya juga sih. Jadi, di kafe itu banyak orang alias pengunjung. Kamu bisa memanfaatkan itu untuk mencari teman. Kamu nggak mau 'kan kalau seumur hidup kamu nggak bisa kenal orang dengan baik?"

"Iya."

"Makanya, ayo!"

Begitulah nasihat-nasihat yang Rindo berikan padanya. Begitu mengena di hati Ara. Ia sadar, selama ini ia memang tidak menyukai hal-hal yang berbau hanya basa-basi. Dia tidak pandai membuat orang lain nyaman ketika berada di sekitarnya. Maka, mulai sekarang, ia harus melakukan itu. Tentunya masih dengan menjadi diri sendiri.

Ara masih menunggu angkutan umum untuk pergi bekerja. Ia pikir Rindo masih marah padanya. Jadi, ia tidak pergi bersama Rindo sesuai dengan permintaan Ara kemarin setelah lamaran mereka diterima. Pun jika ia bisa menghemat biaya transportasi kenapa tidak? Lagi pula, Rindo juga mengatakan tidak apa-apa karena mereka tinggal di kawasan yang sama dan tujuan tempat bekerja yang sama pula.

Angkutan umum sudah mulai dekat, Ara berdiri dari duduknya dan memastikan angkutan umum itu akan berhenti di depannya. Namun, sebuah motor yang Ara lihat menyalip angkutan itu malah berhenti di depannya pula. Rupanya itu adalah Rindo, dia datang menyodorkan pelindung kepala. Tentu dengan senang hati ia terima, kemudian naik ke atas kendaraan itu. Kendaraan melaju meninggalkan angkutan umum yang berhenti mengira Ara adalah calon penumpangnya. Kasihan sekali sopir angkot itu telah mendapatkan seorang PHP semacam Ara. Dengan catatan PHP hanya pada sopir angkot.

"Makasih, Do."

"Iya, aku juga nggak bisa marah sama kamu."

"Aku teman yang buruk ya, Do?"

Teman ya? Kata itu sedikit menohok hati Rindo saat itu juga. Namun, itu memang kenyataanya dan Rindo terima kenyataan itu sekarang.

"Enggak, kamu baik kok. Cuma belum tahu aja caranya supaya lebih baik."

"Iya."

Ara bersyukur karena Rindo tidak benar-benar marah padanya. Jika Rindo marah, siapa yang mau ia tanya jika tersesat di dunia Yogyakarta dan dunia kehidupannya terutama. Rindo ternyata baik dan bijak juga, ya? Ara baru menyadari kebijakan Rindo baru-baru ini. Dan Ara bangga akan hal itu. Ara bangga mendapatkan teman seperti Rindo, tulus padanya.