Pagi ini, Ara dan Rindo kembali berangkat bekerja bersama seperti sebelumnya. Selain bekerja, kemana pun mereka pergi juga selalu bersama. Entah pergi mencari makan, pulang pergi dari bekerja, atau pergi jalan-jalan di kala bosan melanda. Mereka sudah seperti sepasang kekasih saja, kemana pun selalu bersama. Tak jarang pula orang lain mengira bahwa mereka benar-benar pasangan. Namun, pada kenyataannya berbeda dengan perkiraan orang.
Pada saat pagi yang seharusnya mendukung untuk menikmati bau embun dari dedaunan, Ara malah dibuat oleh Rindo untuk mencium baru keringatnya sendiri. Dia disuruh mendorong motor yang meminta diisi minum karena tenggorokannya sudah kering. Motor Rindo kehabisan bensin saat mereka sedang dalam perjalanan. Pun tidak ada penjual bensin eceran di sekitarnya, bahkan pom. Jadilah ia harus membantu Rindo mendorong motor, padahal dirinya sudah mandi dan wangi. Sayangkan parfum yang sudah melekat di tubuh Ara karena tergantikan oleh keringat.
"Sebentar lagi ada penjual mobil eceran, kita berhenti di sana."
Adakah yang salah dengan telinga Ara? "Hah, mobil eceran?"
"Hah, apa Ra?" Rindo mencoba berpikir ulang. "Oh, bensin eceran."
Rindo baru saja melihat mobil sport impiannya melintas di depan mata. Makanya dia menjadi salah fokus pada mobil itu. Bahkan sampai terucap di dalam bibir.
"Kamu melamun ya, tadi? Pantas berat sekali aku dorongnya."
"Hehe, maaf Ra. Nanti aku isi bensin, kamu duluan aja. Cuma tinggal beberapa langkah aja untuk sampai ke kafe."
"Iya."
Setelah sampai di depan penjual bensin eceran, Rindo segera menyuruh Ara untuk pergi ke kafe langsung. Pasalnya, kafe terlihat dari tempat penjual bensin eceran sudah menunjukkan tanda open alias sudah buka. Para karyawan lain pun terlihat sudah berdatangan.
"Ya sudah, aku duluan ya, Do."
"Iya hati-hati jalanan sudah rame," kata Rindo. "Bang, bensinnya dua botol ya?"
"Siap, mas."
"Ini uangnya, terima kasih."
Setelah itu, Rindo segera menyusul Ara. Lalu, ia memarkirkan motornya di depan kafe. Saat ingin memasuki pintu kafe, ujung mata Rindo sepintas melihat bayang-bayang kendaraan beroda empat berhenti di depan kafe itu. Dibalikkan tubuhnya itu untuk melihatnya karena dia memiliki sedikit rasa penasaran. Dan dia menganga saat matanya sudah melihat jelas benda beroda empat itu.
Mobil sport impiannya yang ia lihat dan ia lamunkan saat di jalan tadi.
Padahal, mobil itu berlawanan arah dengannya tadi, tetapi sekarang dia datang dari arah yang sama, katakanlah menyusulnya. Ah, mungkin mobil itu bernyawa dan ingin menemui pemiliknya kelak, yaitu Rindo sendiri. Rindo berpikir positif.
Tiba saat pemilik mobil keluar dari kendaraannya, membuat bayangan indah Rindo hilang seketika. An dan Legra berada di sana. Untuk apa mereka kemari?
"Apa?!" tanya Rindo nyalang melihat Legra yang memandangnya sengit. Sebab, dia menghalangi pintu masuk kafe agar Legra tak dapat masuk setelah berjalan ke arah kafe.
"Minggir."
"Nggak akan." Rindo bersikap dada.
"Permisi, gue mau lewat."
"Mau apa? Mau menuduh saya lagi atau mau menyakiti Ara?"
Legra menghela napas panjang, lalu memberikan telapak tangannya. Memandang tangannya sebentar, lalu berujar maaf pada Rindo. Ia tahu ia salah.
"Maaf udah nuduh lo," katanya dan mengambil tangan Rindo karena dia tak kunjung mendapatkan balasan. Mencengkramnya tegas beberapa detik sebelum melihat smirk Rindo.
"Males gue kalo udah liat seringaian gitu," katanya kemudian meninggalkan Rindo dan masuk ke dalam kafe.
"Iya, saya tau kalau kamu mau bilang saya orang baik dan ganteng."
Dengan rasa percaya diri yang masih tinggi, Rindo berbalik menghadap Legra yang menghampiri Ara. Ara sedang mengelap meja. Rindo yakin, Legra pasti akan meminta maaf pada Ara juga. Ia tersenyum, tetapi luntur seketika setelah melihat senyuman Ara untuk Legra terlihat lebih adem dibanding untuknya.
"Legra?!" kaget Ara yang mendapati Legra berdiri di sampingnya. Ia pun tersenyum.
"Hai, Ra." Mereka duduk di kursi terdekat dengan meja yang baru Ara bersihkan.
"Kamu kapan pulang?"
"Hari dimana kamu pergi ke sini."
Ara tersenyum mendengar itu, lalu berujar, "Aku memilih kabur dari Jakarta. Nggak kuat."
"Kamu pasti kecewa ya, sama aku?"
"Tut, tut, tut, siapa hendak turun," lagu kereta api Rindo nyanyikan bersama membawa buku kecil di tangannya bersama satu buah bolpoin. "Saya sebenarnya nggak mau ganggu, tapi anda di sini mau pesan apa? Pengunjung kafe datang, pasti sebagai pembeli," katanya dengan senyuman yang dibuat-buat.
"Nggak, nanti aja pesennya."
"Makanan?"
"Belum, nanti aja. Gue mau ngobrol sama Ara dulu," kata Legra dan menatap Rindo dengan ujung matanya.
"Oh, oke." Rindo pergi.
"Huh, Ra, aku mau minta maaf. Aku nggak bisa jagain kamu. Semua ini terjadi karena aku."
"Kenapa minta maaf? Kamu nggak marah karena aku tinggalkan? Kamu paling tidak suka ditinggalkan bukan?"
"Sekarang nggak bisa kayaknya buat gitu lagi. Semua orang berhak memilih, tetap tinggal atau pergi. Memilih diam atau bergerak."
Bersama dengan itu mereka tertawa dengan pandangan mata yang saling menarik satu sama lain. Tertawa bahagia membenarkan yang dimaksud. Menenggelamkan diri pada masing-masing pemilik mata yang dipandangi. Saling memberikan kata maaf dan tidak apa-apa.
Ya, Ara akhirnya memaafkan Legra. Walau bagaimana pun, dia tidak bersalah sama sekali padanya. Bahkan dia rela membiarkan bibirnya terucap maaf padanya, padahal dia tidak bersalah. Atau Legra bahkan bisa membuatnya yang meminta maaf pada Legra. Namun, Legra tidak melakukan itu. Tentu Ara akan tanggap pada kata maaf itu, dan melakukan hal yang sama. Lagi pula, dia tidak bisa membenci Legra. Dan dia tidak munafik.
"Kenapa nggak bisa?"
"Karena kamu spesial, Ra. Kamu berbeda dari perempuan lain di luaran sana. Kamu, perempuan tersederhana yang pernah aku temui. Dan masih banyak lagi, hal-hal yang ngga bisa aku ucapin dalam bentuk kata-kata."
"Capucino panasnya mas." Rindo pun datang kembali.
"Gue bilang entar aja 'kan?"
"Emang iya, anda bicara seperti itu? Setau saya, saya hanya menawarkan makanan, bukan minuman."
"Lah, ya udah minumannya nggak usah."
"Susah terlanjur ini."
"Ra, teman kamu kayaknya konslet." Ara tertawa mendengar itu.
"Heis, sembarangan. Boss yang kasih suruh," kata Rindo menunjuk seseorang di belakangnya sembari berlalu pergi.
"Silahkan dinikmati, pak," ujar seseorang yang kata Rindo adalah boss.
"Terima kasih." Legra mengangkat cangkirnya sebagai bentuk terima kasih. Sedikit meminumnya sebagai tanda menghargai.
Mata Rindo memanas melihat Ara yang masih tertawa begitu nyamannya. Tentu saja dia cemburu pada lelaki yang notabenya pernah menyakiti Ara, menurutnya. Namun, Ara masih saja tertawa selebar itu sampai matanya ikut tersenyum. Walau tak dipungkiri bahwa Ara lebih cantik dengan senyumannya yang sampai ke mata itu. Ingin sekali Rindo menggantikan posisi Legra saat itu juga.
"Harus menjadi artis dulu ya, supaya bisa disapa boss langsung begitu?" tanya Rindo pada si barista Jono.
"Nggak juga. Mas Legra itu nggak hanya seorang Artis, dia juga pemilik kafe telat kita bekerja ini. Kamu nggak tahu aja kalau beliau sudah terkenal sebagai pemilik kafe, restoran, dan perumahan di sekitar sini. Banyaklah kepemilikan beliau di sini."
"Walah, aku baru tahu."
"Eh, koe dipanggil ke depan buat ke depan itu."
Rindo segera menoleh ke arah pintu, lalu pergi ke sana yang katanya ada yang memanggilnya. Sedangkan Ara dan Legra masih bercengkrama di sana.
"Kamu nggak tanya kenapa aku ke sini?"
"Tadi sudah, tujuan kamu meminta maaf ke aku?"
"Hmm. Selain itu, nggak ada tanya lagi?"
"Kamu sudah menjadi artis, terkenal. Banyak yang kenal dan beri aku informasi tanpa aku cari atau aku minta. Jadi mau ditanya apa lagi?"
"Nggak semua yang terlihat itu sebenar-benarnya yang terjadi Ara. Masa kamu percaya begitu aja sama dunia luar. Bisa aja mereka kasih informasi palsu. Aku pengen kenal kamu. Kita kenalan lagi ya? Kemarin-kemarin aku lebih tertutup. Sekarang aku mau lebih terbuka, sama kamu."