"Siap memulai hari."
Rindo bertanya pada Ara ketika mereka telah tiba di depan kafe yang akan mereka gunakan untuk mengais uang. Ara tidak tahu teman yang Rindo maksud itu salah satu pelayan yang terlihat sangat akrab dengannya atau manager kafe yang bisa dikatakan akrab juga. Tunggu, apa masalahnya dengan itu? Tak apa ia tidak tahu, toh nantinya ia juga akan tahu. Seharusnya ia hanya perlu mensyukuri hidup karena Rindo telah membantunya sampai saat ini. Tak lupa juga untuk berterima kasih.
"Aku siap, Do. Terima kasih ya, sudah membantuku sejauh ini. Dari dulu kamu selalu melakukan banyak hal untukku."
"Sudahlah kita 'kan teman."
"Tapi kamu.."
"Aku nggak apa-apa. Aku tahu kalau rasa itu selalu datang tanpa kita ketahui dan sesuai kemauan kita."
"Kita itu harusnya semangat bekerja di hari pertama. Bukannya malah bahas yang udah-udah. Kalau seandainya nanti kamu memang jodoh aku, aku yakin hati kamu akan melihat aku seiring jalannya waktu. Sekarang kita jalani waktu yang seharusnya. Yang ini nanti lagi."
"Iya, kita mulai bekerja dan cari teman," ujar Ara dengan tersenyum.
"Kamu aja yang cari teman, teman aku sudah banyak." Rindo kemudian melenggang pergi meninggalkan Ara dan memasuki kafe. Tentu tingkah Rindo terlihat menyebalkan untuk Ara.
Ara bekerja dengan semangat empat lima di hari pertama ini. Tak lupa nasihat Rindo yang menyuruhnya tersenyum, terutama pada pengunjung. Juga tidak lupa ia akan mulai bertanya pada orang lain jika ia tengah melakukan suatu hal bersama orang lain, meski sekedar basa-basi. Ara kira, semua ini adalah hal yang bagus untuk memulai dan menjalani kehidupan yang baru. Ia tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Tak lupa pula ia masih bertukar kabar dan berbagi cerita dengan Astri.
"Kamu baik-baik aja di sana 'kan, Ra. Si Do itu nggak apakan kamu iya? Aku ingin pulang ke jogja tapi belum ada jatah liburan nih."
"Tidak lah, Do itu orang yang baik kok. Kamu saja yang baru ketemu beberapa kali."
"Iya sih."
Banyak hal yang saling mereka ceritakan. Termasuk, Astri berkata bahwa tempat tinggalnya tidak jauh dari kawasan Ara tinggal. Mereka mungkin akan mudah bertemu bila Astri pulang nanti. Tentu Ara senang mendengar hal itu. Kapan pun Astri pulang, ia akan menantinya.
"Oh iya, Ra. Kenapa kamu malah kerja di kafe?" tanya Astri penasaran.
"Belum dapat panggilan pekerjaan dari perusahaan-perusahaan yang aku lamar, Astri. Jadi yah, sembari menunggu begitu."
"Sama si Do juga?"
"Iya."
"Oh gitu."
"Kamu kalau panggil Do selalu aja pakai 'si', kenapa memangnya?" tanya Ara dengan mengutip kata 'si'.
"Ya, nggak apa-apa. Dia nyebelin orangnya. Jadi males." Jawaban yang membuat Ara terkekeh.
Sang pemilik nama yang tengah dibicarakan itu terlihat sedang keluar dari arah dapur. Tak lupa dengan gaya berjalannya yang membuat Ara terkekeh geli. Pasalnya dia berjalan dengan menggaruk telinga yang memerah dan sesekali berhenti karena flu mendadak. Dia berjalan mendekati barista kafe.
"Sepertinya dia merasa sedang dibicarakan Astri."
"Hahah, biarkan aja. Kita ganti pembicaraan lain. Malas juga kalau lama-lama bahas dia."
"Iya, kit-"
Belum selesai Ara berkata, panggilan Rindo mengalihkan atensinya. "Ra, kita pulang yok. Aku udah selesai ini."
"Bentar dulu Do, aku masih bicara dengan Astri," kata Ara sembari menunjuk ponselnya.
"Halah, Astri terus dari tadi. Sini,"
"Eh, ponselku!"
"Hallo, Astri udah dulu teleponnya sama Ara. Kita mau pulang dulu. Bye!"
"Eh, Do. Tap-" tut tut. Dan panggilan pun terputus. Ara yakin, Astri sedang menggerutu kesal di tempatnya.
"Do, aku belum selesai bicara dengan Astri. Kenapa dimatikan ponsel aku?!"
"Sudahlah, ayo pulang!" Dasar 'si Do' pemaksa yang menyebalkan.
***
Seluruh barang bawaan sudah siap. Tinggal memberikan laporan dan menunggu waktu keberangkatan. An berpikir terlebih dahulu sebelum menghampiri Legra. Ia rasa tak akan semudah itu untuk berangkat dan sampai di perjalanan kali ini. Ia harus berpikir untuk menyiapkan kata-kata.
Oke, An sudah tahu hal yang akan ia katakan pada Legra.
Saat An menuruni tangga menuju lantai satu, ia berpapasan dengan Legra di ujung tangga. Kebetulan sekali, An tak perlu repot mencari Legra yang bila berada di rumahnya sendiri sulit dicari. Dia seakan memiliki tempat persembunyian di setiap waktu.
"Gra, barang lo udah siap."
"Oh, oke. Barang gue yang dibawa nggak banyak 'kan?"
"Enggak, udah gue atur seperti biasa."
"Yaudah, yuk gas!"
"Eh, kemana?"
"Bandara lah. Emangnya mau kemana lagi kita? Berangkatnya sekarang?"
"Sekarang masih jam berapa, sadar woy. Masih pagi-pagi buta gini udah semangat bener mau berangkat."
"Oh, sorry gue lupa."
"Satu lagi Gra, yang jangan lo lupain."
"Apa?"
"Ini tentang Rindo. Tunggu dulu, jangan potong omongan gue. Dengerin oke?" Tentu An akan berbicara seperti itu ketika Legra berusaha akan memotong pembicaraannya perihal Rindo. "Selama beberapa bulan terakhir ini, gue udah selidiki semuanya tentang Rindo. Lebih tepatnya selidiki kasus kematian kakak lo itu. Gue tau lo nggak mau gue selidiki itu agar lo nggak keingat sama kejadian itu. Tapi ini perlu, penting."
Meskipun Legra terlihat cuek dan kurang suka saat ini, ia tahu bahwa di dalam hatinya, ia sangat ingin tahu.
"Keputusan hukum memang benar, Rindo nggak bisa disalahkan. Gue udah cari tahu semuanya. Dan kebenarannya Rindo nggak bersalah."
"Waktu Arini pergi ke jogja, dia memang menyuruh Rindo buat cegah kakak lo buat nggak menghampirinya. Dia dikasih tunjuk foto kakak lo sekali, info yang Arini kasih nggak detail, jam terbang kakak lo lebih cepat dari perkiraan mereka. Semua itu gue tahu selama menyelidiki dia. Kalau dilogika, mana mungkin di tempat kejadian Rindo bisa tahu kalau ada kakak lo di sana dan dengan ciri-ciri yang tepat. Sedangkan dia nggak tau kejelasannya."
"Maksud lo orang lain?"
"Ya, tanpa unsurkesengaja. Waktu itu, pelaku lagi ngerokok sambil jalan dan gaya-gayaan pula. Putungan rokoknya dia buang ke jalanan tempat kakak lo baru aja turun dari taxi. Tentu dia reflek menjauh, sampai dia terus mundur ke belakang dan tertabrak."
Jadi, semuanya tidak ada sangkut pautnya dengan Arini? Bahkan Rindo yang tidak bersalah ia ikut salahkan. Beruntunya Legra tidak menuntut lebih jauh dan membuatnya akan merasa bersalah. An memang andalannya.
"Jadi selama ini gue salah sangka?"
"Iya."
"Tapi meskipun begitu gue masih ngerasa kecewa sama Arini."
"Yaelah, nggak usah dipikirin lagi lah. Udah masa lalu itu. Sekarang 'kan udah ada Ara, ya, nggak?"
"Sekarang malah gue yang buat Ara kecewa!!" Legra sedikit emosi-pada diri sendiri.
"Obatin lah rasa kecewa itu. Gih, pergi."
"Katanya nanti?"
"Iya nanti. Eh, di sana nanti ada Rindo juga, lo tahu itu. Sekalian ya, minta maaf."
"Sih, ogah. Tengsin lah gue."
"Jadi orang sukanya gedein gengsi. Kan elo yang salah nuduh orang sembarangan. Ya, minta maaf lah."
"Lihat aja lah nanti gimana."
"Serah apa kata lo. Gue cuma ngasih tau."
Jika digambarkan, An ini memiliki profesi yang cukup banyak rupanya. Dia seperti sudah ditakdirkan untuk tetap bekerja pada Legra dengan banyak profesi. Contohnya saja ia bekerja sebagai manager, asisten pribadi, detektif juga cocok untuknya. Bahkan sampai penasihat raja pun ia dapatkan. Dan sepertinya raja itu tidak mendengarkan ucapannya. Baiklah, An tersenyum. Tidak apa ia tidak didengarkan, nantinya juga sang majikan akan datang sendiri padanya. Curhat, minta saran dan solusi.