Sudah sejak tadi siang Astri tidak menampakkan batang hidungnya. Gadis itu pergi, entah berada di belahan bumi mana. Tak ada kabar, pun pintu kamarnya masih terkunci rapat. Masih terkunci atas tanda bahwa tidak ada seorang pun berada di sana hingga malam ini. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Biasanya Astri akan memberikan pesan singkat pada Ara, menanyakan makanan yang harus ia bawa untuk kembali ke kos. Atau dia akan diam-diam membawakan makanan kesukaan Ara, jika tak memberi kabar. Namun, mengingat Astri yang tadi siang nampak tak merespon sedikitpun ucapan Ara, hal tersebut tak mungkin dilakukan olehnya. Terlebih lagi, perubahan sikap Astri yang sudah ditunjukkan sejak pagi, sejak Ara ingin pergi ke studio seni oleh anak-anak luar biasa.
Ara mencoba untuk menghubungi Astri. Menanyakan kabarnya yang tak kunjung pulang hingga hari berganti malam. Biasanya, Astri yang sering pulang malam tidak Ara pertanyakan. Namun, perasaannya sekarang sedang tak baik-baik saja. Dia sendiri tidak tau alasan dirinya bersikap seperti ini.
Baru saja Ara merebahkan badannya dari duduk, telinganya mendengar cengkerama dua orang dari ujung koridor kamar. Ara tau suara dari salah satunya. Itu adalah suara Astri, tetapi sayup-sayup ia juga seperti mengenali lawan suara Astri. Diperjelas dengan mendekat ke arah pintu, ia sungguh mengenalinya. Tak mau bila hanya menerka-nerka, Ara membuka pintu kamar untuk mengetahui seseorang itu.
Mata Ara membola melihat kedatangan Clover yang bersama dengan Astri di sampingnya. Jadi, benar yang ia pikirkan. Seseorang yang sedari awal ia dengar sedang bercengkerama dengan Astri adalah Clover. Namun, sejak kapan mereka saling mengenal dan apa tujuan Clover datang kemari?
"Hai, Ra, ketemu lagi kita," ucap Clover dengan tersenyum, tetapi Ara tak membalasnya.
"Astri?"
"Oh, ini tempat kos kamu, ya? Lumayan juga, sih."
"Astri, kamu dan Clover berteman?"
"Iya dong, Ra. Kita udah saling tau dari lama." Bukan Astri yang menjawab, Clover yang menyatakan bahwa mereka sudah saling mengetahui satu sama lain. Astri tidak menanyakan Ara mengenal Clover atau tidak. Itu berarti Astri sudah mengetahui akan hal tersebut. Dan apakah Astri tau hubungan apa yang sedang ia dan Clover jalani? Entahlah, semua itu hanya opini Ara sendiri untuk memahami situasi. Hanya pemikirannya sendiri yang menerka keadaan saat ini.
"Ra, gue sama Astri mau ke dalem dulu, ya. Capek, nih." Astri hanya diam saja, enggan untuk berbicara sepertinya. Menatap Ara saja tidak dia lakukan. "Yuk."
Mereka memasuki kamar Astri setelah dibuka olehnya. Ara yang melihat itu tak mau tinggal diam. Ia menyusul mereka ke dalam sebelum pintu itu ditutup kembali dan dikunci. Mereka tentu saja kaget atas tindakan Ara yang tiba-tiba saja masuk tanpa permisi ke dalam kamar Astri.
"Kok, kamu masuk sih, Ra? Aku 'kan nggak kasih kamu izin buat masuk kamar Aku," ucap Astri kesal.
"Sebentar Astri," ucapnya pada Astri. "Clover, aku boleh minta untuk kamu keluar sebentar nggak? Sebentar aja, aku mau bicara sama Astri."
"Enggak, Ra, nggak boleh. Kamu yang seharusnya keluar."
"Buat apa gue keluar kalu gue masih bisa di dalam?" ucap Clover santai. Dia berjalan ke arah kasur. Duduk di sana dengan kaki yang diselonjorkan. Clover sudah seperti tian kamar sendiri.
"Sebentar aja, ya, Astri, Clover."
"Enggak."
"Ya sudah, kita ke kamar aku ya, Astri."
"Nggak mau, kalau mau bicara yang tadi siang, bicara aja di sini. Clover juga tau semuanya, kok."
"Clover tau? Kamu cerita tentang kita ke dia? Apa yang kamu kasih tau ke Clover?" Astri hanya diam sembari berjalan ke arah Clover berada. Berganti Clover yang berdiri menghampiri Ara.
"Lumayan banyak juga yang gue tau. Tentang lo yang ngakunya nggak punya temen. Tentang lo yang katanya cuma temenan sama Astri. Dan satu lagi yang penting. Tentang lo yang ngakunya nggak suka sama Legra, tapi nyatanya lo suka juga 'kan sama dia?"
Bagaikan petir yang mengeluarkan bunyi paling keras. Suaranya sangat menggelegar. Mengagetkan seluruh insan yang berada di sekitarnya. Memberikan sambaran pada pohon kelapa yang tinggi menjulang. Perkataan Clover benar-benar mengagetkannya. Membelokkankan jalan pikirannya yang seharusnya digunakan untuk mencari titik terang masalah yang terjadi sebelumnya. Bahkan sebelum dia mengatakan sesuatu dan bertanya akan hal ini dan itu.
"Kamu.."
"Iya, Ra. Santai aja lagi," ucap Clover. "Dulu lo udah dapetin apa yang gue mau. Lo udah merebut semuanya yang seharusnya jadi milik gue saat itu. Dan kali ini gue nggak akan ngebiarin lo merebut apa yang gue inginkan, bahkan yang temen lo inginkan, itu juga 'kan?" Tangan Clover menunjuk pada Astri. Pengucapan Clover memang masih tenang, tetapi nada sinisnya jelas sekali masih ketara.
"Apa yang sudah aku rebut dari kamu? Aku nggak pernah merasa merebut apapun, Clover. Kamu sudah baik sama aku sedari dulu." Jelas saja Ara sangat bingung dengan yang Clover katakan. Dia tak merasa mengambil apapun dari Clover, tetapi Clover malah menyebutkan bahwa Ara telah merebut sesuatu yang seharusnya menjadi milik Clover.
"Ra, gue tau lo pinter. Lo bisa jadi juara kelas, lo dipuji-puji, lo dibanggain sama guru. Di rekomendasiin ikut ini, ikut itu. Seandainya aja nggak ada elo, udah pasti posisi itu menjadi milik gue. Tapi ya udahlah, itu udah dulu saat gue menyia-nyiakan kesempatan untuk singkirkan lo. Sekarang, gue nggak bakalan membiarkan itu terjadi."
"Itu dulu, Clover. Aku pun nggak ada niatan untuk itu. Tolong jangan bermusuhan denganku seperti ini." Apakah benar semua hal tersebut seharusnya menjadi milik Clover? Apakah ia tak berhak memilikinya juga? Lalu, hal apa yang seharusnya dilakukan olehnya untuk membuat orang-orang menyukainya? Dari bodoh menjadi pintar, sudah ia lakukan. Dari tidak punya uang sampai ia mampu bekerja sendiri pun telah ada di masa kini.
"Lalu, hal apa yang kalian pikir aku merebut itu? Aku baru bertemu kamu hari ini Clover, tetapi kenapa kamu malah memusuhiku? Dan Astri, kita tidak pernah bertengkar selama ini. Siang tadi tiba-tiba kamu marah dan pulangnya membawa Clover. Apa maksudnya?"
Astri yang sedari tadi hanya menjadi penonton, kini mulai mendekat ke arah Ara. Tangannya menunjukkan sebuah foto Ara yang tengah berada bersama Rindo. Setelah beberapa detik Ara melihatnya, Astri menutup dan menyembunyikan ponselnya, sehingga Ara beralih menatap Astri.
"Kamu udah bohong sama aku tentang kamu yang nggak punya temen. Bener memang, kalau kamu cerita atau enggak adalah hak kamu sendiri. Tapi seenggaknya jangan bohong denganku, Ra. Aku nggak suka kebohongan seperti ini." Astri mengatakannya dengan nada penuh tekanan. "Nggak ada seorang sahabat yang mau dibohongi. Kamu sudah seperti sahabat aku, tapi kamu membohongiku. Berbohong tentang Legra. Kamu suka 'kan sama Legra? Pun waktu kamu akhir-akhir ini selalu digunakan bersama Legra. Kamu yang biasanya pergi di akhir pekan untuk bersama aku, tapi kamu lebih memilih bersama Legra. Ya, seperti ini, aku jadi menghabiskan waktu aku dengan Clover."
Mata Astri berkaca-kaca hendak menangis. Ia membalikkan tubuhnya membelakangi Ara. Sesungguhnya, Astri tidak bisa berkata jujur seperti ini di hadapan temannya. Astri tahu jika Ara membutuhkannya sebagai seorang teman, tetapi ia tak bisa menahan diri. Astri mudah sekali terpengaruh keadaan dan sensitif akan sebuah permasalahan. Jadi sebisa mungkin ia menghindari itu.