"Oh, maaf ya, Ra. Baru juga ketemu aku udah nodong kamu ke pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku ketahui. Seharusnya, rindu aja udah." Rindo terkekeh.
"Apaan kamu, Do. Nggak jelas." Ara yang semulanya menunduk, sekarang telah menampilkan wajahnya. Sebenarnya, dia sangat merasa bersalah pada Rindo. Rindo yang telah banyak membantunya selama bertahun-tahun, tetapi dia hanya selalu menyusahkan Rindo. Maafkan Ara Rindo, kamu begitu murah hati.
"Nggak jelas begini juga banyak yang suka kok. Kamunya aja yang enggak tahu."
"Ya sudah pulang sana."
"Idih, ngusir aku ya kamu?"
"Enggak."
"Tapi tadi kamu ngusir."
"Bukan. Hanya saja ini bukan tempat kamu."
"Terus tempat siapa dong? Nenek moyangmu orang pelaut.." Rindo malah menyanyi, "punya nenek moyang kamu aja bukan."
"Emang bukan."
"Ya udah, berarti aku boleh di sini aja."
"Ya sudah, di sini aja. Aku pulang dulu." Ara berbalik meninggalkan halte itu dengan Rindo yang masih berada di tempat. Masih beberapa langkah, tetapi interupsi suara Rindo menghentikan langkah dan mengalihkan kembali atensinya ke Rindo.
"Eh, kok di tinggal sih. Aku 'kan masih ada di sini. Masa kamu tega ninggalin aku sendiri."
"Katanya nggak mau pulang."
"Ya, tapi.."
"Mau pulang atau nggak? Kosan aku di depan, isinya perempuan semua."
"O-oh, gitu, ya. Aku pulang." Sudahlah, Rindo pulang saja.
Sudah biasa hal seperti ini terjadi antara Rindo dan Ara. Mereka sudah berteman sejak SMP, dulu. Ara rasa untuk sekarang, Rindo tak perlu menjadi temannya. Dia akan tersakiti saja nantinya jika menjadi teman Ara. Mereka tidak berteman adalah hal yang terbaik.
"Besok kamu kerja 'kan Ra? Pagi-pagi aku jemput ya, supaya kita berangkat bersama-sama. Supaya aku tahu tempat kamu bekerja, okey?"
"Nggak usah, Do."
"Udah, nggak apa-apa pokoknya," ucap Rindo memaksa. "Oke, bye, Ra."
Ara hanya menghela napas pelan. Rindo memang tak bisa ia ajak berkompromi. Dia sangat menyebalkan. Dia selalu seperti ingin menang sendiri. Namun, Rindo anaknya baik.
Tempat kos Ara terletak tidak jauh dari halte. Halte yang digunakan Rindo untuk menurunkan Ara tadi. Cukup 100 meter saja sudah sampai. Saat Ara telah sampai di depan pintu kamarnya, ia melirik pintu kamar Astri.
Apakah Astri sedang berada di kamarnya? Namun, Ara tak suka menerka-nerka seperti itu. Lebih baik jika dia langsung mengeceknyasaja ke dalam. Pada saat ia ingin membuka pintu kamar Astri, pintu kamar tersebut telah di kunci oleh sang empu. Itu artinya, mungkin Astri sedang tidak berada di rumah. Ya sudahlah, mungkin Astri sedang bepergian.
"Ra, kamu ngapain di sini?" Suara tiba-tiba Astri memekikkan gendang teliengnya. "Jangan masuk kamar aku tanpa seizin aku deh, Ra."
Ara tersenyum pada Astri, "Enggak Astri, aku hanya ingin tahu kamu sedang di kamar atau enggak." Kalau Ara tidak salah ingat, sepertinya dahulu Astri sendiri yang menyuruhnya masuk tanpa persetujuannya jika ingin masuk.
"Oh," kata Astri sambil berjalan ke depan pintu dan membuka kuncinya.
"Kamu habis pergi ya Astri?" tanya Ara.
"Iya," kata Astri yang sudah masuk ke dalam kamar. Ara mengikutinya dari belakang.
"Dengan siapa? Kenapa nggak mengajak aku?"
"Buat apa ngajak kamu. Kamu aja pergi sendiri 'kan? Sama teman kamu yang cowok itu. Katanya nggak punya teman selain aku. Itu siapa?"
"Itu teman aku, tapi dulu," jawab Ara bingung.
"Berarti kamu punya teman 'kan. Berati kamu bohong sama aku?"
"Enggak bukan begitu."
"Udah, Ra. Aku lelah sehabis pergi. Aku mau bersih-bersih diri. Kamu juga sana yaa." Nadanya halus, tidak ada nada mengusir. Namun, Ara sendiri yang merasa terusir. Ah, Ara saja yang terlalu terbawa perasaan.
"Iya, Astri. Aku kembali ke kamarku terlebih dahulu."
Ara pergi, Astri menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Masalahnya sepele, Astri hanya ingin bersih-bersih badan. Namun, Ara merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Astri. Terlihat dari matanya saat mereka masih berbicara tadi, Astri menatapnya lekat. Tatapannya seperti menyelidik. Entah apa yang dia selidiki pada diri Ara. Aneh rasanya jika Astri bersikap demikian.
Ara memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Beristirahat sebentar, nanti saja ia berbicara dengan Astri. Mungkin dia juga sedang lelah ingin beristirahat. Mana mungkin Ara bisa beristirahat jika perkataan Astri masih terngiang di atas kepalanya. Tentang Astri yang berkata bahwa Ara berbohong masalah pertemanan. Tidak, bukan seperti itu maksudnya. Dia tidak pernah berbohong. Ara tidak pernah berbohong masalah pertemanan yang ia miliki. Ia sudah menganggap tali pertemanan antara dirinya dan Rindo memang sudah putus sejak ia masuk SMA. Selepas SMA, ia tak pernah lagi memiliki teman. Rindo adalah teman pertamanya, Astri yang kedua. Namun, Ara merasa bahwa ia dan Rindo sudah lama tidak berteman.
Lalu, bagaimana Ara harus menjelaskan ini semua pada Astri? Apakah harus ia menceritakan seluruh kelemahannya? Sudah banyak hal yang Ara beritahukan pada Astri walau tidak semuanya. Sedangkan Astri sendiri masih suka tertutup, atau bisa dibilang Ara yang tak dapat mengerti dan memahami Astri. Lagi pula Ara masih tak paham akan pertemanan yang sebenarnya itu seperti apa. Ia masih bingung tentang bagaimana cara menyikapi seorang teman.
Lelah dengan pemikirannya sendiri, Ara memilih untuk menghubungi keluarganya di rumah saja. Suara ibu selalu bisa menghiburnya di saat-saat seperti ini.
"Assalamu'alaikum, ibu."
"Wa 'alaikum salam, nduk. Bagaimana kabarnya kamu?"
"Alhamdulillah, ibu. Ara baik-baik aja di sini."
"Kamu kapan pulang lagi, Ra? Ibu kangen, adek kamu juga ini. Dia kepengin main-main bareng kamu lagi."
"Ara pulang kalau libur kerja, bu. Nggak mungkin pekerjaan Ara ditinggal lagi. Mungkin Ara bakalan pulang di akhir tahun."
"Ya sudah, jaga diri kamu baik-baik disana. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan terlalu kecapean, kalau ada masalah jangan terlalu dipikirkan ya. Selesaikan pelan-pelan, jangan membawa emosi."
"Iya, ibu." Ibu itu memang paling unggul dalam urusan menasehati. Ibu selalu mengerti apa yang terjadi padanya meski hanya melalui nada suara. Pun Ara menelpon ibu jika ada sesuatu yang mengganggunya. Entah itu suka ataupun duka. Selebihnya mereka hanya berbicara melalui pesan saja.
"Sekarang kamu istirahat. Ini adik kamu terus merengek minta dibuatkan nasi goreng."
"Ara mau."
"Makanya cepat pulang. Sudah ya, ibu tutup teleponnya."
"Iya."
"Assalamu'alaikum."
"Wa 'alaikum salam."
"Astri sudah selesai bersih-bersih belum ya?" tanya Ara pada diri sendiri.
Langsung saja Ara menuju pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat. Dia mendengar suara pintu seberang atau lebih tepatnya pintu kamar Astri dibuka. Benar saja, Astri telah keluar kamar. Sekarang dirinya sedang mengunci pintu kamar itu. Pakaiannya telah berganti. Sebelumnya dia yang pergi tak tau kemana dan sekarang ingin pergi lagi. Ara sendiri tak mengetahui kenapa Astri pergi seharian ini. Sebab ia pun sedang pergi waktu tadi. Namun, sekarang dia harus bertanya atau ikut saja pergi dengan Astri. Pasti Astri memperbolehkannya seperti yang sudah-sudah.
"Astri kamu mau kemana? Aku mau ikut boleh?"
Tak ada jawaban. Astri hanya terus melakukan aktivitasnya mengunci pintu. Meninggalkan Ara begitu saja setelah kegiatannya selesai. Bahkan tak meninggalkan sepatah kata apapun untuknya. Ara hanya bisa mematung dengan pemikiran tak karuan. Ada apa sebenarnya dengan Astri? Tertinggallah tanda tanya besar di dalam benak yang tak mau menguar.