Tau kamu adalah sesuatu yang sangat diinginkan setiap waktunya. Tau kesukaan makanan yang membuat lidah tak ingin henti menari hingga lupa segalanya, tau tempat-tempat kesukaan untuk menghilangkan jenuh dan bosan, bahkan tau kegiatan apa saja untuk menyenangkan hari. Tak lepas dari segala sesuatu yang bersangkutan dengan cerita yang tak jauh dari kata yang diinginkan dalam lingkaran tentang jati dirimu. Apapun itu mulai dari yang terkecil hingga yang paling besar.
Kemarin tepatnya, selama Ara mengenali Legra dalam kehidupan yang sesungguhnya, Legra berada pada pandang jauh. Selama ini, Ara hanya mengenali Legra dalam dunia maya, meski tidak tau banyak karena dia juga jarang mengikuti perkembangan dunia itu, setidaknya dia tau. Bukannya terlalu memikirkan atau apa, tetapi memang itu kenyataannya. Hingga mereka bertakdir saling mengenal. Sampai pagi ini Ara tau bahwa Legra telah berangkat ke negara lain. Sampai ia membiarkan hatinya menyukai seseorang yang tak seharusnya disukai oleh diri yang dijadikan tempatnya menaruh jiwa. Sampai Ara mampu mengungkapkan rasa pada orang lain selain dirinya sekecil apapun, dalam bentuk apapun.
Cahaya mentari di kota ini sudah mulai naik menyinari berbagai benda yang ada di bumi. Ara sudah rapi berpakaian dan bersiap akan pergi ke studio seni oleh anak-anak luar biasa. Niatnya ingin sekalian jalan-jalan menikmati suasana kota di akhir pekan. Dia memang sering, bahkan hampir tiap minggu keluar pada saat weekend, tetapi Ara tidak terlalu memperhatikan hal apa saja yang terjadi di sekitarnya. Ara memang sulit mendapati fokus ke dunia sekitar, dia terlalu memperhatikan dunianya dan yang berada di sampingnya.
Tepat setelah Ara membuka pintu, ia mendapati Astri juga tengah ingin keluar dengan pakaian rumahanya. "Mau kemana, Ra? Udah rapi aja pagi-pagi."
"Aku mau ke tempat kemarin, kamu mau ikut?" tawarnya senang.
"Ke tempat yang kemarin?! Ada Legra nggak?" tanyanya antusias.
"Enggak, Legra 'kan ke luar negri hari ini berangkat."
"Iya juga, ya. Kok kamu tau sih ra? Kamu deket banget ya, sama Legra?" tanya Astri.
"Ya, deket. 'Kan teman aku cuma kamu sama dia." Ini sudah berbeda jalur. Maksud Astri bukan dekat sesuai dengan apa yang Ara katakan. Tapi Ara menangkapnya seperti itu, pun Astri sudah memiliki jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Enggak ikutan deh, Ra. Kamu sendiri aja ya. Aku mau ada urusan juga nanti."
"Ya udah nggak apa-apa, kalau begitu aku jalan duluan ya." Astri membalas senyum Ara yang sempat ia lemparkan.
"Hati-hati," terdengar suara Astri sedikit menggema masuk ke telinga Ara saat dia sudah jauh posisinya dari Astri.
Jarak yang Ara tempuh untuk ke pasar cukup jauh. Semacam bentuk segitiga antara tempat tinggal Ara, pasar, dan studio seni oleh anak-anak luar biasa jika digambarkan dalam nalar. Bedanya, pasar memang lebih jauh jarak titiknya dibanding dengan studio seni oleh anak-anak luar biasa. Jika dia memilih untuk tidak pergi ke pasar terlebih dahulu, maka ia hanya akan seperti mampir sebentar, pergi, dan kembali lagi. Sungguh itu tidak mengenakkan sama sekali. Maka dari itu Ara memilih untuk mengunjungi pasar terlebih dahulu.
Namun, sebelum itu ia memutuskan untuk mengetahui lebih dari kota yang bisa dibilang cukup lama ia tinggali. Matanya menemukan banyak sekali bangunan bergedung.
"Indah juga, ya. Tapi sayangnya kota ini bising meski modern," gumamnya.
"Kalau desa seger alami."
Jajanan yang dibeli oleh Ara tak sebanyak apa yang dibelikan oleh Legra kepada anak-anak kemarin. Tapi Ara tau jajanan mana saja yang paling mereka sukai. Lagi pula, pada saat terakhir pun ada An juga Asti yang diikutsertakan disuguhi hidangan, ditambah juga ada Nasir. Jadi Ara rasa tak memerlukan banyak-banyak. Cukup pukis yang menjadi jajanan kesukaannya dan telah menjadi kesukaan anak-anak luar biasa itu sepertinya.
Sesampainya Ara di studio seni oleh anak-anak luar biasa, ia disambut dengan baik oleh mereka. Biasanya, Legra yang menyapa mereka terlebih dahulu sebelum mereka sadar akan kehadirannya. Ia pun sadar bahwa ia tak begitu pandai menyenangkan hati dengan kata-kata yang manis sehingga mereka menyukainya. Tapi sedikit tindakan dan perkataan yang halus, bahan dari awal ia bertemu dengan mereka, mereka sudah mau berinteraksi dengan Ara begitu antusias hingga kini ia datang.
"Kak, kakak datang lagi," ucap mereka tersenyum senang.
"Apa kakak akan setiap minggu datang ke sini?"
"Sepertinya begitu. Boleh 'kan kalau kakak datang setiap minggu?"
"Boleh, kak boleh. Kita juga malah seneng kalau kakak ke sini," kata Gandhi menimpali.
"Kakak bawa jajan telus." Salah satu anak-anak di sana mengucap dengan polosnya. Dia masih kecil, kira-kira masih sekolah dasar. Pengucapannya juga masih cedal. Dia adalah anak terkecil dari semua anak-anak yang berada di sini. Badannya yang gendut dan suka makan, jadi wajar jika yang ia lebih antusias terhadap makanan.
"Iya, nih, bawa ke dalam."
"Kalian sedang apa?"
"Biasa, kak. Kita lagi latih skill."
Ara terkekeh, "Latih skill apanya."
Tak lama setelah Ara masuk, ia kembali melihat-lihat karya seni yang di ruangan ini. Rasanya tak pernah bosan untuk memandanginya. Rasanya ingin untuk memiliki seluruh benda-benda yang berada di sana. Anak-anak itu memang hebat sekali. Masih kecil saja sudah begitu hebat. Besar nanti sudah bagaimana?
Pernah pada saat pertemuannya dengan Nasir juga Legra, An, dan Astri, Nasir pernah bercerita sedikit tentang anak-anak itu. Katanya, dulu mereka adalah anak jalanan yang sering mencoba-coba menggambar di dinding dekat jalanan sepi yang entah itu ada di mana. Banyak yang mereka gunakan untuk meletakkan ide abstrak mereka di sana, mulai dari batu kerikil, pecahan bata atau genting, arang kayu bekas bakaran yang belum habis, bahkan hingga buah-buahan kecil dari pepohonan di sekitarnya juga daun. Ide mereka tak pernah habis selagi Nasir masih memperhatikan dengan bersembunyi. Sampai Nasir keluar dari persembunyian dan mengajak mereka pada tempat yang lebih nyaman meski tidak mewah. Lalu sampailah pada saat sekarang ini mereka masih disini.
Lama sekitar kurang lebih lima belas menit ia mengamati. Tiba-tiba terdapat suara yang sedikit familiar masuk ke dalam telinganya. Saat Ara berbalik ke belakang, terdapat seseorang yang dari arah pandangnya menghadap ke samping. Ia seperti mengenali, tetapi ia lupa siapakah gerangan yang ada di depannya ini.
"Lama nggak ketemu lupa juga ya, lo ke gue," katanya.
Pakaiannya modis, rambutnya tergerai panjang sampai punggung. Dia menghadap ke arah Ara. Bahasanya mengikuti seperti orang-orang di Jakarta kebanyakan; bahasa gaul. Tentu Ara tau siapa orang yang berada di depannya ini. Tapi sekarang, penampilan dan gaya bahasanya yang berbeda membuat Ara sulit mengenalinya. Bahkan Ara baru sadar, sewaktu perjalanan menuju ke pasar tadi, Ara telah melihat perempuan yang sekarang berada di hadapannya kini.
"Kamu.. kenapa ada di sini?"
"Gue juga nggak nyangka lo bakalan ada di sini," ucapnya tersenyum miring.
Baiklah Ara, tak usah terlalu dipikirkan masalah dia ada di sini atau tidak. Yang terdahulu telah berbeda dengan yang sekarang. Bahkan itu sudah lama berlalu, sekitar lebih dari empat tahun lamanya. Sekarang saatnya ia berterima kasih saja pada manusia yang ada du depannya. Karena bagaimanapun ia juga telah berjasa untuk hidup Ara.