Dunia sungguh tau hal apa saja yang membuat Ara selalu bertanya-tanya untuk memahami hidup. Dunia selalu memberikan door prize berbentuk rasa luka yang perih. Hingga sampai pada saat diberikan padanya sesuatu yang tak pernah ia duga sebagai obat perih itu. Semisteri apa sebenarnya dunia yang ia duduki ini. Hampir seluruh dalam prediksi yang ia dapatkan tak jarang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
"Gue lebih nggak nyangka lagi bakalan ketemu lo setelah bertahun-tahun, di tempat yang berbeda, apalagi lo udah beda lagi ya sekarang."
Berbeda, jelas saja berbeda. Manusia tidak akan pernah sama di setiap waktu. Semuanya memiliki perubahan kehidupan dengan harapan menuju pada yang lebih baik. Seperti halnya Ara yang menginginkan perubahan hidup untuk dirinya.
"Gimana, Ra kabarnya?"
"Aku baik-baik aja." Ara terkejut tatkala mendengar manusia dihadapannya bertanya akan kabar. Dengan tersenyum, ia berbalik tanya, "Kamu sendiri bagaimana, Clover?"
"Gue akan selalu baik-baik aja kalau lo nggak ada di sekeliling gue."
"M-maksudnya?" Bak angin yang tiba-tiba menhuyungkannya. Lama tak bertemu, tetapi Clover masih saja menyembunyikan makna di setiap ucapannya tanpa memberi tahu Ara. Ara sama sekali tidak tau apa maksud dari ucapan Clover. Yang ia paham adalah Clover akan baik-baik jika dia tidak muncul di kehidupannya. Yang menjadi pertanyaan, kenapa? Kenapa bisa ia berpengaruh untuk Clover?
"Nggak perlu gue jelasin juga, lo mana bisa paham," katanya, "Ngapain ada di sini segala? Kurang cocok tau nggak orang kayak lo ada di kota besar kayak gini. Gue punya saran buat lo, balik kampung aja, gih. Kasihan 'kan emak lo nanti sedih ditinggal." Dengan bersidakep dada, Clover membalikkan badan dan berjalan ke sofa single yang entah sejak kapan berada di ruangan ini bersama satu meja kecil. Dia duduk dengan kaki disilangkan, tangannya meraih minuman di atas meja.
"Clover, ini kamu 'kan? Kenapa kamu jadi beda, Clo?"
Dahulu, Clover dan Ara bersekolah pada suatu SMA yang sama untuk menuntut ilmu. Mereka adalah teman satu kelas yang orang-orang tahu bahwa mereka tidak pernah berteman. Menurutnya, Clover adalah orang yang sangat baik. Bahkan, kepiawaian Clover sampai membuatnya terkagum dengan manusia yang satu ini. Namun, mengapa sekarang Clover menjadi orang yang sangat berbeda?
"Ya, ini gue. Emangnya kenapa? Kayak lo kenal deket gue aja sampai ngomong gue beda segala. Tau apa lo tentang gue?"
Mereka layaknya orang yang telah lama tak berjumpa bertengkar dengan ketenangan masing-masing. Masih ada pengendalian diri di dalamnya. Apa lagi Ara yang memang tak suka pertengkaran juga adu mulut. Tapi untuk sekarang, ia memilih tidak. Clover yang sedari dulunya pun tak banyak bicara dengan Ara, sekalinya bicara malah membuatnya bertanya-tanya.
Beruntung ruangan ini hanya tertinggal Ara juga Clover, sebab anak-anak luar biasa itu tengah berada di luar. Mereka semua tengah menyantap sajian jajanan yang Ara bawakan dengan lahap. Tak mungkin juga mereka yang layaknya orang bertengkar padahal baru berjumpa melakukan itu di hadapan anak-anak. Bisa menjadi contoh yang tidak baik untuk mereka nanti.
"Aku-"
"Kak Ara,"
Ara tak bisa menjawab Clover, dia benar bahwasanya Ara tak tau apa-apa tentang Clover. "Ayo kak ikutan. Nanti keburu kakak kehabisan pukis."
Gandhi yang tiba-tiba datang menarik lengan Ara untuk bergabung bersama dia dan anak-anak lain. Clover sendiri hanya diam menikmati pemandangan di depannya tanpa minat bahkan untuk bergabung.
"Nah, aku udah peringati mereka tadi buat nggak makan banyak-banyak sebelum kakak datang."
"Baik sekali.. ayo kita makan bareng-bareng."
"Kak Ara juga baik."
Mereka terus menikmati sajian makanan yang ada di depannya sembari tertawa bersama-sama. Bukan apa, pasalnya adik gendut yang suka makan itu sering bertingkah lucu juga terlihat aneh di hadapan mereka. Membuat mereka tidak bisa menahan gejolak humor receh yang menginginkan untuk keluar. Hal yang sederhana, menikmati kudapan sembari tertawa ringan sudah cukup membahagiakan untuk Ara.
"Kak, kenapa kak Legra enggak ikut kakak ke sini? Kak Legra kemana?"
"Kak Legra sedang nggak bisa ikut kakak. Dia sedang ada pekerjaan. Nanti kalau udah selesai akan mampir ke sini lagi kok ya."
"Iya, kak."
Clover yang sedari tadi hanya memainkan ponsel merasa bosan. Ia pun seringkali mendengar anak-anak tertawa dengan Ara, tidak tau apa saja yang mereka ketawakan, yang jelas dirinya menjadi merasa terganggu. Lagi pula mengapa juga dia pergi ke tempat ini jika pekerjaannya hanya duduk manis dan sibuk sendiri dengan ponselnya.
"Ck, bahkan gue yang udah lama kenal sama mereka, nggak pernah tuh seakrab kayak Ara sama mereka. Dasar dia aja yang suka cari perhatian kesana kemari. Apa aja diembat."
Beberapa saat setelah itu, Ara pamit undur diri. Dia lebih baik pulang saja. Tidak enak juga saat Clover berada di sana memilih tidak ikut gabung, sedangkan dirinya asik bercanda ria dengan anak-anak. Mau berbincang dengan Clover pun ia tak tau apa yang harus dibicarakan. Mereka tidak pernah menjadi teman. Berbicara seperlunya pun ketika mendapatkan kelompok yang sama, dulu. Bahkan, itu hanya karena adanya keterpaksaan yang mengharuskan mereka saling berinteraksi satu sama lain. Clover selalu enggan berhubungan dengan Ara.
Sebelum pulang, Ara menyempatkan untuk berpamitan pada Clover. Tepat di hadapan Clover, dia berhenti. Ia ingin membangun hubungan yang baik bersama Clover. Semoga ia mau menerima Ara dengan senang hati. Semoga Clover mau membuka pintu pertemanan antara dirinya dan Clover. Maka dengan senang hati ia akan memasuki pintu tersebut. Sedikit demi sedikit belajar menjadi seorang teman yang baik, untuk Clover, Astri, juga Legra. Ia berharap ia mampu.
"Clover, aku ingin pamit pulang."
"Pulang, tinggal pulang aja sih, ribet."
"Clover, kamu tau tempat ini dari siapa?"
"Urusan lo ya, kalau gue tau tempat mana aja?"
"Bukan, Clo," jawabnya, "Clo, kenapa aku merasa kalau kamu sedari dulu nggak pernah suka sama aku? Kamu benci denganku?"
"Menurut lo aja deh, males gue jawabnya."
"Apa kita nggak bisa berteman aja, Clo? Kamu tau sedari dulu kalau aku nggak punya teman, cuma kamu yang baik sama aku, tapi kenapa kamu nggak mau jadi temanku?" tanya Ara.
"Apa? Gue, jadi temen lo? Lo mau jadi temen gue gitu?" Ara mengangguk yakin. "Ogah gue mah, males banget temenan sama orang kayak lo."
Ara menunduk lesu. Ya sudahlah kalau Clover tidak mau. Dia sudah biasa hidup tanpa teman. Dia yakin jika suatu hari Clover ditakdirkan berteman dengannya, maka mereka akan menjadi teman. Lagi pula, sekarang sudah ada Astri dan Legra yang menjadi temannya.
"Ya, udah. Aku pulang aja." Ia mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Clover. Ia akan pulang saja, tinimbang berada di sini. Namun, Clover tiba-tiba menepis tangannya dengan kasar. Dia kemudian berdiri menghadap Ara.
"Lo sekarang udah punya temen 'kan? Ngapain cari temen lagi? Satu dua orang cukuplah jadi temen lo."
Setelah mengucapkan itu, Clover melenggang pergi meninggalkan Ara yang masih berada di tempat. Terlihat punggung Clover menjauh bersama tangannya yang mendekatkan ponsel ke daun telinga sisi kanan.
"Hallo! Iya dia ada di sini. Sebel gue liat muka dia, udah pengen gue sebarin aja tuh foto. Iya gue paham, Danastri. Iya. Iya. Gue on the way le GYM, sekarang."