Allegra Arizki, kini lelaki berparas tampan itu telah berhasil menginjakkan kakinya di kota singa yang akan ia tinggali, sementara menyelesaikan pekerjaan. Setelah satu setengah jam lebih ia berada dalam perjalanan, sekarang saatnya Legra memasuki kamar inap yang disediakan untuknya. Di salah satu kamar hotel fairmont Singapore, dia membuka pintu dan meletakkan koper yang sedari tadi ia bawa ke samping nakas. Ototnya begitu kaku, ia merenggangkannya saja sampai berbunyi. Untuk melepas penatnya, Legra berjalan ke arah balkon yang menampakkan pemandangan tepi pantai Marina Bay. Sungguh menyegarkan mata.
Tidak lama setelah itu, Legra mendapati ketukan pintu. Tak lain si pengetuk pintu sendiri adalah An yang menunjukkan cengirannya dan berjalan ke arah Legra. Memang manusia satu ini mengganggu mata saja. Legra sedang enak-enaknya menikmati pemandangan dan dia malah mengalihkan matanya untuk melihat yang bukan pemandangan.
"Ngapain, lo?"
"Ya, ngapain menurut, lo."
"Widih, enak juga nih kamar lo," kata An sembari meneliti setiap inci kamar Legra yang menurutnya lumayan itu. Berbeda dengan kamar yang akan ia singgahi malam nanti. Memangnya siapa dia untuk melebihi kamar seorang Legra. Bisa saja sih, sebenarnya jika dia menginginkan yang lebih. Tapi, jika bisa mendapatkan yang gratis kenapa tidak.
"Inget dong, lo siapa." Belum juga ia menceritakan bagaimana perbandingan kamar An dan Legra, tetapi anak orang ini sudah sombong terlebih dahulu. Dasar, ck.
"Gatau lah, bodo amat."
"Oh, ya ngapain lo ke sini?"
"Gue tau meskipun gue cuma manager lo, tapi lo selalu butuh gue buat urusan pribadi lo."
"Terus?"
"Gue adalah orang yang selalu membawakan informasi yang paling akurat buat lo. Gue adalah orang yang paling tau segala seluk beluk lo. Jadi gue mau kasih informasi," ucap An menjeda.
"Udah deh, An. Nggak usah berbelit-belit."
"Ada dua hal yang ingin gue sampaikan sama lo. Yang pertama adalah tentang Ara, sesuai yang lo minta."
"Lo masih inget Clover?" Legra mengangguk, "dia, hari ini pergi ke tempat lukisan anak-anak itu. Yang pasti dia juga ketemu sama Ara. Entah apa tujuan dia ke sana, kemungkinannya itu dikarenakan dia tau berita tentang lo dan Ara sekaligus dia tau dimana dia harus menemui Ara."
"Ngapain dia ke sana? Tapi Ara nggak apa-apa 'kan?" tanya Legra khawatir. Dia tidak tau apa kiranya yang akan dilakukan Clover nanti.
"Nggak, dia nggak apa-apa. Lo kelihatan khawatir banget sama Ara?" goda An.
"Apaan, sih," desisnya.
"Clover nggak melakukan apapun, lo tenang aja. Mereka cuma ngobrol biasa dan habis itu dia pergi sebelum Ara pergi." Tentu An bisa memiliki banyak informasi yang dia inginkan. Sebab, ia juga memiliki banyak kamera yang tersebar dimana-mana. Bukannya ditindakkan sebagai mata-mata, tetapi sebagai pencegah atau saksi jika suatu hal buruk terjadi nantinya. Termasuk Gandhi salah satunya.
"Syukur deh kalau begitu. Terus, apa dia ke tempat itu karena Nasir?"
"Feeling gue juga mengatakan seperti itu. Di mana lagi dia bisa tau tempat selalu di singgahi Ara setiap minggunya jika bukan karena Nasir."
"Ya udah, itu bisa kita bicarakan nanti sama Nasir. Sekarang, hal kedua apaan?"
An itu selalu bisa Legra andalkan. Dia adalah manager yang bisa sekaligus merangkap menjadi seorang asisten pribadi Legra. "Ini.. semoga lo bisa menerima."
"Apa?" tanyanya bingung.
"Untuk sekarang, Rindo sedang berada di Jakarta."
Datar, wajah Legra tiba-tiba berubah menjadi datar. Telinganya memerah menahan amarah. Dadanya naik turun dengan napas tak teratur seperti sehabis lari maraton. An tau kalau ini adalah hal yang tidak baik untuk di bicarakan, tetapi ia harus segera membicarakannya pada Legra.
"Nggak usah disampaikan lagi. Gue nggak mau dengar apapun tentang orang itu."
"Tapi Gra,"
"Nggak, An!"
Terpaksa An tidak memberitahukan dahulu tentang hal selanjutnya pada Legra. Jangan sampai emosi Legra tersulut api. Bisa kebakaran nantinya. Lebih baik dia undur diri, pamit untuk beristirahat.
"Oke, oke. Gue nggak akan ngomong lagi. Kalau gitu gue keluar dulu aja lah, ya." Dan benar saja, An tidak melanjutkan cerita yang ia dapatkan pada Legra. Dia memilih keluar dari ruang kamar hotel Legra.
Lama sekali tak mendengar nama Rindo disebutkan memasuki ruang telinganya. Tapi ia juga tak mau nama itu di sebutkan di hadapannya. Dia adalah orang yang sangat Legra benci, manusia terkutuk yang pernah ia temui menurutnya. Malas sekali menyebutkan namanya. Jangankan menyebut, mendengarnya saja seperti An yang menyebutkan tadi ia sangat malas. Sudahlah, lebih baik Legra istirahat saja sekarang. Tak perlu memikirkan hal yang seharusnya tidak menjadi pikiran. Masih banyak hal yang lainnya.
Karena lelah, Legra merebahkan tubuhnya di atas kasur Sealy Posturepedic yang khusus di desain untuk hotel bintang lima itu. Matanya mulai terpejam setelah beberapa saat. Namun, setelah tiga puluh menit berlalu dia terbangun dari tidurnya. Legra segera beranjak dari sana menuju kamar mandi untuk mencuci muka sekaligus mandi.
Di sore harinya, An mengatakan bahwa ia sudah mengaturkan Legra untuk berbicara dengan Nasir. Jadi sekarang, yang harus dilakukannya adalah pergi ke restoran yang bernama 'Asian Market Cafe' yang ada di sini. Dengan pakaian casualnya, Legra keluar dari kamar hotel. Hingga sesampainya ia di restoran itu, dia langsung menghampiri Nasir dan duduk di depannya.
"Udah lama nunggu?"
"Enggak kok, baru sampai juga."
"Oke," Legra mengangguk.
"Apa yang mau lo tanyakan tentang Clover?"
"Bentar dulu kenapa, haus nih belum minum dari tadi siang," keluh Legra hingga membuat Nasir terkekeh.
Legra meminum minuman yang telah dikesankan oleh Nasir. Dia sangat peka sekali sampai minuman dipesankan terlebih dahulu tanpa dia minta.
"Itu adik lo nggak bakalan berulah lagi 'kan?"
"Berulah apa yang lo maksud? Jangan karena dia pernah membuat kesalahan dan kalau ada yang terjadi ke elo, lo jadi nyalahin dia ya." Nasir malah menjadi overthinking atas pertanyaan Legra. Lagi pula, salah Legra juga yang tidak menggunakan basa basi atau penjelasan mendetail. Yang dia keluarkan malahan pertanyaan menggantung seperti itu.
"Nggak bukannya gue mau nyalahin adik lo. Masalahnya, kemarin dia nyamperin Ara di tempat lukisan anak-anak."
"Gini ya, Gra gue bilangin. Adik gue si Clover, dia emang pernah ngebuat kesalahan sama lo. Kesalahan fatal yang gue tau itu nggak mudah buat lo maafkan. Dulu sifat dia masih kekanakan, sulit buat gue bilangin. Gue sebagai abangnya minta maaf atas kesalahan itu," mohonnya.
"Tapi, itu.."
"Iya, itu dulu," potong Nasir. "Sekarang dia udah besar, dia bukan anak kuliahan lagi. Dia juga tau tempat lukisan anak-anak, itu pun gue yang ngasih tau. Kalau dia datang ke sana, ya itu mungkin karena dia pengen ketemu sama anak-anak. Lo nggak usah berburuk sangka sam adek gue. Adik gue nggak mungkin melakukan hal jahat lagi."
"Sorry, sir kalau lo kepikiran gue mikirnya Clover bakalan melakukan hal yang sudah-sudah. Gue juga nggak bermaksud gitu. Gue cuma khawatir sama Ara aja."
Entahlah apa yang Legra pikirkan. Bukannya dia ingin mengingat-ingat kembali masalah yang sudah lalu. Ia hanya khawatir pada Ara, tidak tahu apa yang dikhawatirkan. Hanya saja, ada perasaan cemas ketika mengetahui Ara bersama Clover.
Nasir menghela napas, "Ya sudah, nggak apa-apa. Nggak usah dipikirkan lagi yang sudah-sudah. Yang seharusnya itu masa sekarang dan masa depan. Iya nggak?"
"Yoi, bro," ucap Legra sambil tersenyum dan disusul senyuman Nasir.
Setelah itu nasir mengangkat buku menu, berniat memesan makanan. Awal tadi ia belum memesan karena dia rasa lebih baik jika Legra sendiri yang memesannya. Siapa tahu pilihan menunya tidak cocok untuk Legra.
Sambil melihat-lihat gambar menu yang akan di pesan, Nasir bertanya pada Legra, "Lo suka ya, sama Ara?" Kemudian ia menatap Legra menyelidik.
"Ha..?"