Chereads / BILARA / Chapter 3 - Bagian II (Berjumpa)

Chapter 3 - Bagian II (Berjumpa)

Kini, dunia tengah mengguncangkan isi hati Ara. Seakan hatinya tengah dibuat tak percaya akan hal yang nyata terjadi. Benar, memang benar yang di lihatnya tadi. Hatinya mungkin tak dapat percaya, tetapi matanya telah mendapatkan bukti bahwa yang dilihatnya memang benar. Memang benar Allegra Arizki yang ia lihat sewaktu tadi. Rasanya seperti mimpi, ketika Ara melihat Legra-idolanya dengan mata kepala sendiri. Bukan dari ponsel, televisi, atau majalah lagi. Baiklah, Ara memang bukan sedang bermimpi saat ini. Dia sadar akan kenyataan ini. Nikmat surga dunia dapat melihat Legra secara langsung.

Di dalam kendaraan yang dapat terbang ini alias pesawat, Ara memiliki suatu bayangan. Bagaiamana jika di Jakarta nanti ia dapat berjumpa kembali dengan Legra? Ah, sungguh nikmat dunia lagi. Indonesia dengan beribu-ribu pulau ini saja dapat mempertemukan ia dengan Legra, apa lagi Jakarta yang lebih kecil dibanding pulau? Sepertinya saat ini Ara benar-benar sedang bermimpi. Jika Jakarta seluar lingkup RT, mungkin bertemu dengan Legra masih memiliki kemungkinan. Namun, Jakarta tidak seluas itu. Ia sadar ia hanya bermimpi. Sebuah kebetulan saja ia dapat bertemu dengan Legra di luar Jakarta. Kira-kira, hal apa yang membuat Legra berada di Medan? Ara tidak tahu jawabannya.

Beberapa menit setelah terlepas dari bayangan yang lalu, Ara kembali membayangkan Legra datang untuk meminta maaf secara langsung padanya atau saat kejadian itu, Legra yang bertanggungjawab secara langsung. Kemudian ia menertawakan dirinya sendiri yang terlau banyak khayalan. Helaan napas pun keluar dari mulutnya, bagaimana mungkin ia membayangkan Legra bertanggungjawab secara langsung saat itu? Kalau dipikir-pikir, mana mungkin pada saat itu seorang Allegra keluar dari mobil. Bisa jadi bukannya bertanggungjawab dia malah harus kabur menyelamatkan dirinya sendiri dari para penggemar. Jika diminta foto mungkin akan sedikit kualahan, tetapi bagaiamana jika mereka membawanya pulang? Repot sudah urusannya. Sudahlah, hal yang harus Ara pikirkan adalah cara dia nanti supaya teman-teman bekerjanya menjadi nyaman atas kehadirannya.

Sesampainya ia di Jakarta, Ara langsung mengecek ponsel. Rupanya sang ibu telah menelponnya berkali-kali. Segera ia menghubungi kembali ibunya, takutnya jika belia khawatir padanya.

"Hallo, ibu. Assalamualaikum."

"Hallo, Ra. Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh. Bagaimana? Sudah dapat tempat kosmu, nak?"

"Iya, bu, sudah. Ini Ara lagi beberes. Ibu lagi ngapain di sana sama budhe?"

"Ibu sama budhe lagi istirahat ini. Rebahan sambil telepon sama kamu."

"Ya sudah, ibu istirahat aja. Ara juga mau istirahat."

" Iya, ibu istirahat. Kamu mulai bekerja besok 'kan? Nah, sekarang lebih baik kamu istirahat biar besok semangat kerjanya, ya nduk. Oh ya, makan dulu kalau belum makan. Pokoknya selama di sana kamu jangan sampai telat makan. Jaga diri baik-baik, ya." Pesan ibu selalu jadi semangat pertama dalam setiap hal yang Ara jalani.

"Iya, bu."

Berbicara tentang pekerjaan, besok adalah jadwal hari pertama Ara mulai bekerja. Itulah sebabnya Ara meninggalkan Medan lebih cepat dibanding kedua orang tua. Ara bekerja di perusahaan industri bioteknologi yang tidak semua anak lulusan teknik terpikirkan bekerja di sana. Yang Ara tahu, kebanyakan dari mereka lebih memilih bergerak di Industri otomotif. Alasannya Ara memilih lain adalah ia ingin manusia yang ada di bumi mampu merasakan hal-hal yang bisa di dapatkan langsung oleh buminya sendiri.

Selain itu, Ara juga bekerja sebagai teknisi di perusahaan produksi film. Bukannya serakah mendapatkan dua pekerjaan sekaligus ketika banyak orang yang kesulitan mencarinya. Ara hanya ingin mengisi waktu luangnya tanpa harus menemui kesendirian dan sepi. Pekerjaan keduanya ini hanya akan ia lakukan selama sekali dalam seminggu.

***

Bahu memapah langkah lebih jauh, rasa lelah menyerbu lebih dalam. Tak pernah terpikirkan oleh Ara, bekerja akan semelelahkan ini. Seperti menforsir diri untuk tetep tekun melakukan pekerjaan dengan sepenuh hati. Tapi tak apa, hal ini baik dalam memacu hidupnya tetap semangat bekerja untuk menjalankan hidup. Ara hanya perlu terbiasa dengan keadaan, terbiasa dengan pekerjaannya. Tidak perlu dijadikan beban, itu hanya akan menambah pikiran ketika ada hal-hal lain yang harus dipikirkan.

"Permisi mbak. Apa saya ganggu? Boleh saya duduk di sini?" Seseorang datang mengagetkan Ara ketika dia tengah duduk beristirahat.

Ara menoleh, kemudian merapalkan kalimat terkejut di dalam hati dwngan mata yang membola. Mimpi buruk lagi, kalimat ketidakmungkinan terus terngiang di atas kepalanya. Lidahnya menjadi kelu saat ingin mengucap satu dua kata. Menggeleng dan mengangguk yang masih mampu dilakukannya. Menggeleng untuk jawaban tidak mengganggu dan mengangguk karena memperbolehkan duduk di sebelahnya. Tanpa daya, tanpa kekuatan, tak mampu melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Namun, Ara berusaha menguasai diri, mencoba untuk tidak melewatkan sesuatu yang sulit. Ya, baginya ini sulit. Siapa sangka jika Ara dapat berjumpa dengan LEGRA?

"Ekhm." Legra berdehem, mungkin untuk menghilangkan rasa canggung? Sebab Ara masih bungkam di tempatnya.

"Bagaimana kabarnya, mbak? Maaf, ya, kemarin saya yang nabrak mbaknya dan maaf juga tidak bertanggungjawab secara langsung."

Ayolah, Ara tidak bisa jika hanya berdiam diri jika orang lain sudah ramah padanya. Meskipun Ara tak pasti dapat membalas keramahan orang lain, setidaknya semua itu tergantung lawan bicaranya. Karena memang Ara tak pandai dalam hal berbicara, apa lagi basa basi.

"Saya tidak apa-apa, kok. Cuma lecet sedikit aja."

Ini bagian tersulit lain, tersenyum tulus secara tidak sadar pada lawan bicara. Biasanya, ia akan tersenyum setelah sadar diri bahwa dirinya tidak tersenyum selama berbicara. Jadilah senyum paksa yang selalu ia keluarkan. Bukan tanpa alasan, itu memang kebiasaannya sedari kecil dan pengaruh dari lingkungan. Namun, kini Ara tengah tersenyum tulus. Efek dari sang idola pastinya.

"Alhamdulillah kalau begitu. Oh, ya, kenalkan saya Legra. Aduh, kok formal banget gini, sih." Legra yang Ara lihat tampaknya tak menyukai berbicara dengan bahasa formal. "Enggak enak, ulang-ulang. Kenalin, gue Legra, salah satu aktor Indonesia yang tertampan," ungkap Legra percaya diri.

Ara memandang sodoran tangan Legra dengan tersenyum kecil dan menahan tawa atas kepercayaan diri Legra. Suasana menghangat, tidak ada kata canggung seperti awal karena perkenalan Legra yang sangat percaya diri itu. Hanya bagi Ara, awalan tadi itu suasana canggung. Entahlah untuk Legra. Legra ini seperti tokoh Grizzy, salah satu tokoh beruang We Bare Bears. Dia adalah seseorang yang optimis. Menginginkan banyak teman dan popularitas. Dia suka mencari perhatian orang lain dan ingin menjadi selebriti internet. Tapi bedanya, Legra telah menjadi seorang selebriti, meski kenyataanya Grizzy pun telah menjadi selebriti, sebab dia sudah masuk televisi. Bahkan ia telah memainkan peran yang luar biasa.

"Sudah tau. Aku Ara, seorang teknisi." Dengan menjabat tangan Legra, Ara terkekeh kecil.

"Benarkah? Keren sekali. Lo perempuan, tapi milih pekerjaan laki-laki."

"Nggak juga," kata Ara. Pipinya bersemu karena tidak menyangka Legra akan memujinya.

Setelah beberapa percakapan, Legra pamit pergi terlebih dahulu. Masih ada urusan yang belum selesai katanya.

Setidaknya, seperti itulah perkenalan singkat mereka, hal yang tak pernah Ara duga sebelumnya. Rasa senanglah yang kini ia rasakan. Bagaimana tidak senang jika bertemu dengan sang idola? Bukan karena Legra seorang aktor Ara mengidolakan Legra, bukan karena kegagahan Legra. Semua karena Legra sendiri, bagian dari dirinya yang selalu bekerja keras, selalu memupuk jiwa dengan tidak menyia-nyiakan waktu.

Setelah ini, mungkin Ara akan menjadi lebih bersemangat lagi. Kapan lagi bisa melihat Allegra secara langsung. Ia kira seorang legra tidak menerima job dari tempatnya bekerja. Dan apakah isi kepala Ara itu benar bahwa Legra memang menerima job dari tempatnya bekerja?

Hari berlalu menjadi minggu. Sudah ada dua minggu Ara berada di Jakarta . Di minggu ini, ada sebuah harapan yang tidak dapat terwujud. Sabtu kemarin Ara kembali mendatangi tempat dimana mereka berjumpa. Tidak ada siapa pun, tampaknya harapan Ara bertemu Legra lagi telah pupus. Jangankan bertemu, melihatnya dari kejauhan saja tidak terjadi. Ia yakin untuk bertemu dengan Legra lagi nantinya akan sulit.

"Astri?"

"Hmm?"

"Astri, aku terlalu banyak berkhayal."

"Memangnya kenapa? Berkhayal itu cita-cita yang belum terwujud kamu tau."

Kabar baik, Ara telah mendapatkan banyak teman meski tak sebenar-benarnya teman. Hanya seorang yang bisa ia percayai, namanya Danastri, tapi Ara lebih suka memanggilnya dengan sebutan Astri. Ketika semua melabelinya teman tanpa menemani, ketika semua menganggap meski mengabaikan, Astri selalu menemaninya. Dia adalah teman kos Ara yang rupanya pernah satu universitas yang sama meski berbeda fakultas.

"Iya, cuma cita-cita aku terlalu tinggi."

"Tidak apa, Ra. Aku yakin kamu pasti bisa." Apakah Astri paham maksud darinya? Ia terlalu fokus makan hingga pertanyaanya seperti menjadi angin lalu.

Ara hitung kembali waktu, terhitung sudah tiga minggu lamanya. Ia kembali lagi pada tempat itu, tapi Ara tak mau mengharap kembali, itu akan sulit. Lebih baik ia fokus bekerja, masih ada harapan lain, masih ada jalan lain.

Ia berjalan menyusuri koridor. Hari ini tampak lebih banyak orang yang berlalu lalang. Biasanya hanya akan ada beberapa orang yang menambah jam kerja. Pikirnya mungkin sedang ada beberapa acara.

"Ara!"

Suara yang begitu ceria menggema di telinga Ara. Begitu familiar. Bahunya tiba-tiba menegang, terasa sulit bergerak untuk membalikkan badan. Pada saat itu ia akan menemukan seseorang yang begitu menyenangkan, sama seperti namanya. Dia Allegra, nama yang memiliki arti menyenangkan.

"Bagaimana kabarnya? Udah lama ngga ketemu. Lo berhenti kerja di sini atau gimana? kok, nggak pernah keliatan?"

Ara bingung memilih jawaban, apa yang harus ia jawab? yang mana terlebih dahulu? Bahkan ia masih mengalami masa kesenangan karena bertemu Legra kembali.

"Eh, itu, aku bekerja seminggu sekali di sini, pada hari yang sama juga."

"Oh, gitu. Pantasan gue cari di hari lain nggak ketemu"

Rasanya begitu menyenangkan, tawaran yang Tuhan berikan begitu indah. Berjumpa kembali dengan Legra kembali, rasanay memang menyenangkan. Mereka sesekali tertawa akan pembicaraan mereka. Terkadang pun, tidak bisa dimengerti orang lain. Biarkanlah dunia, kita lihat dan ketahui sisi senang Ara yang langka saat itu.