Dampak buruk dari Marah adalah stres. Stres bisa membuat kondisi yang buruk dalam pekerjaan yang akan dijalani. Memudarkan konsentrasi dan pekerjaan tidak menjadi maksimal. Jangan sampai itu terjadi. Bukan Legra namanya jika tidak bekerja secara maksimal. Apapun yangbada di genggamnya harus selalu menjadi topik terdepan. Stres akan terkalahkan oleh Legra sendiri. Walaupun tak dipungkiri, Legra hanyalah manusia biasa yang bisa lengah.
"Aku minta maaf soal tadi siang. Nggak seharusnya aku marah-marah seperti itu. Maaf, aku terlalu terbawa emosi."
"Iya, nggak apa-apa. Aku juga minta maaf karena udah bikin kamu marah."
Rasa bersalah itu muncul dengan sendirinya. Tidak jelas alasannya untuk muncul. Tapi jika melihat raut muka Legra tadi siang, sepertinya ada sesuatu dibalik kemarahannya, menahannya agar orang lain tidak mengerti akan perasaannya. Ara juga tidak tahu apa.
"Tapi janji nggak bakalan pergi 'kan?" tanya Legra dengan memohonnya.
"Kenapa, sih? Takut banget aku pergi, ya?"
Ara ingin tahu apa maksud Legra untuk menyuruhnya tetap tinggal, untuk tidak pergi darinya. Legra 'kan banyak teman bukan hanya Ara, bahkan penggemar yang banyak dan juga menyayanginya. Ara hanyalah satu dari sekian juta penggemarnya yang terselempit, kemudian mendapatkan keberuntungan untuk berada di sini.
"Emangnya kamu punya teman di sini?"
Baru saja pikirnya menerawang jauh di angkasa lepas. Sekarang Legra menunjukkan fakta yang tak mungkin dapat Ara hindari untuk waktu ini. Fakta yang sangatlah dibencinya. Ara juga tak tau ada apa dengan hidupnya. Padahal, jika dilihat orang-orang di luaran sana terlihat sangat mudah mencari seorang kawan bahkan lebih.
"A.. ada Astri, kok. Dia 'kan teman aku."
"Selain Astri itu, siapa lagi?"
Pertanyaan Legra yang menohok hatinya sampai ke uluh, memang hanya Astri... temannya selain Legra. Pertanyaan yang hanya dijawab oleh keheningan Ara. Tidak tahu akan menjawab apa.
"Tidak ada bukan?"
"Maaf."
"Sudahlah jangan dibahas lagi. Oh, ya, apa besok kamu ingin pergi?"
Beruntunglah Ara karena Legra yang pandai mengalihkan topik pembicaraan. Selain kata maaf pun Ara tidak tahu lagi harus menjawab apa. Maaf karena bertindak seenaknya dan tak tahu jawaban akan mana temannya yang lain.
"Ada. Aku berjanji menemani Astri berenang besok."
"Kamu nggak ikut berenang? Atau nggak bisa berenang?"
Ara terkekeh, "Kamu tahu aja. Aku emang suka olahraga, tapi aku tidak sepandai Astri. Itu memang sudah bidangnya. Bagaimana dengan kamu sendiri?"
"Lumayan lah. Kapan-kapan kita bisa olahraga bareng. Sudah dulu, ya, Ra. Kita lanjutkan lain waktu."
Panggilan terputus setelah masing-masing dari mereka mengucapkan salam penutup. Ara lega, Legra sudah tidak marah lagi padanya. Tadi siang itu ia cukup menakutkannya. Tapi, ya sudahlah itu sudah terlewatkan. Abaikan saja masalah itu. Yang harus dipastikan saat ini adalah Astri. Dia sering sekali membatalkan saat Ara sudah berjanji menemaninya untuk pergi berenang. Meski tidak bisa disalahkan, dia pergi juga karena masalah pekerjaan.
"Astri, apakah besok jadi berenangnya?" 'Tok, tok, tok.' Ara mengetuk pintu kamar Astri yang tertutup. Sudah beberapa menit, tapi Astri tidak kunjung membukakan pintu. Dari pada menunggu disini, lebih baik dia langsung masuk sajalah. Astri pernah mengatakan bahwa kalau mau masuk tidak perlu diketuk dulu, langsung masuk saja asalkan tidak dikunci. Ara saja yang terlalu sungkan untuk melakukannya, yang bilang tidak enak 'lah dan kawan-kawannya.
Tidak ada siapa-siapa di dalam, tapi ada suara percikan air dari dalam kamar mandi. Saat ingin mendekati, pintunya terbuka dan muncul Astri dari dalam sana.
"Hauuhh! Ishhh, Ara ngagetin aja deh, kamu. Kalau jantung aku copot bagaimana? Mau tanggung jawab emangnya? Kenapa enggak ketok pintu dulu, sih!"
Bukannya menjawab atau meminta maaf, Ara malah mengalihkan pembicaraan. "Kamu mandi malam-malam emang enggak dingin apa? Nggak baik mandi malam, kalau kata ibu nanti rematik."
"Biar aja, orang aku gerah. Habis pulang ini, masa iya enggak mandi. Bau nanti."
"Sudahlah. Besok apa jadi menemanimu lagi?"
Astri mengeringkan rambutnya itu dengan handuk agar tidak terlalu basah dan mencipratkan airnya kemana-mana di atas lantai. Mana tahu nanti air itu membuat Ara atau pun Astri terpeleset diatas lantai. Bermasalah nanti jadinya. Sebelum mengambil hairdyer, ia melirik sedikit pada Ara.
"Harus jadi! Dan kali ini kamu harus ikut masuk dalam air. Nanti aku ajari tenang saja."
"Kamu hebat sekali dalam olahraga Astri. Bagaimana aku bisa sepertimu?"
"Iyalah, harus begitu. Kalau ada waktu mampirlah ke GYM. Jangan bekerja terus menerus. Tidak kasihan apa dengan kesehatan badanmu sendiri? Untuk jadi sepertiku, itu tidak boleh! Kalau jodohku keliru milih kamu bagaimana? Enak di kamu nggak enak di aku itu namanya."
Ara terkekeh mendengar penuturan Astri. Bagaimana mau menjadi Astri jika mengendalikan diri sendiri saja sesulit ini. Beradaptasi dengan dunianya sendiri masih ia pikirkan dua kali untuk melakukan suatu hal. Mempertimbangkan hal ini dan hal itu yang akan di lakukan. Belum lagi memikirkan keuntungan sampai kesalahan yang akan ia dapatkan nantinya jika berbuat lebih. Di hidup Ara pastinya ada rasa menyesal telah melakukan beberapa hal dan merasa bangga terhadap diri sendiri karena bisa melakukan sesuatu yang berguna.
"Mana mungkin seperti itu. Kamu terlalu hebat untuk disamai."
"Oh, ya. Bagaimana tentang tadi siang?"
"Dia memintaku untuk tetap tinggal."
"Lalu pilihanmu?
"Tinggal."
Menurutnya ini keputusan yang terbaik untuk dia pilih. Masalah apa yang akan terjadi nanti, biarkan itu urusan nanti. Ada Astri yang selalu stand by meski keduanya sama-sama disibukkan oleh pekerjaan. Ada Legra sendiri juga nantinya. Ara tak sendirian. Kalau pun jalannya berbeda nanti, Ara akan kembali dan membelokkan ke jalan yang benar.
"Kalau itu keputusanmu aku bisa apa. Cepat kembali ke kamarmu. Tidur saja sana! Mengapa masih menggangguku disini?"
"Memangnya tidak boleh aku berada di sini? Ini masih belum terlalu malam untuk bermimpi," katanya dan berjalan menuju meja yang berdekatan dengan lemari. "Wah, kamu beli makanan enggak bilang-bilang. 'Kan bisa titip aku tadi buat camilan di kamar."
"Makanlah itu aja. Aku juga beli banyak." Astri menyimpan hairdyer di dalam laci dan menghampiri Ara yang sibuk membuka makanan. "Ayo makan bersama."
"Nggak salah ini pilihan kamu. Besok beli lagi ya, kapan-kapan. Enak ini," Ara sangat bersemangat memakan makanannya. Astri yang melihat itu tersenyum. Kapan lagi bisa melihat Ara memiliki semangat menggebu-gebu seperti ini. Pastinya ketika dia sedang berhadapan dengan makanan-makanan enak yang terpampang nyata. Sekali makan habis sudah.
"Gantian, besok-besok kamu yang beli. Yang ini giliran aku, ya."
Dua jempol untuk Astri dikeluarkan oleh Ara, jempol dari tangan Ara yang tangan kanannya masih memegang sendok makanan dengan mulut masih mengunyah. Setelah selesai menenggelamkan makanannya ke perut, dia berkata pada Astri, "Siap, deh."
"Kamu yang cuci, gih kalau udah selesai."
"Sip."
Begini Ara, siap-siap saja melakukan apapun setelah disuguhkan makanan. Niatnya hanya bercanda, bagaimana bisa begitu, kalau mereka makannya berdua, maka mereka berdua pula yang harus membersihkannya piring dan sisa kotorannya. Jika Ara iya-iya saja, Astri 'kan jadi enak. Meskipun ia yang membeli untuk mereka berdua memakannya.
Sebentar, jika Ara siap-siap saja setelah disuguhkan makanan, maka bagaimana dia dulu, ya. Apakah mungkin ia seperti itu juga? Selalu ada pesuruh setelah pemberi?
"Ra, dulu ada juga yang suka gini juga?" tanya Astri ambigu.
"Gini gimana?"
"Kamu kalau makan bareng temen-temen kamu waktu sekolah, yang cuci piring siapa? Pernah juga pastinya 'kan makan bareng sama mereka di sekolah atau waktu lagi ada acara begitu."
Ara menggeleng dan menganggukkan ucapan Astri. Kalau begitu Astri 'Kan jadi bingung sendiri. Jadi, mana yang benar? Iya atau tidak pada jawabannya.
Kerutan di dahi Astri membuat Ara membuka pita suaranya. "Mereka bukan teman-temanku. Dan yang cuci piring, aku palingan."
Sudah Astri duga. Sekarang Astri tahu pasal-pasal sebabnya. Pantas saja Ara tidak memiliki teman. Untuk selanjutnya, ia akan lebih sering bertanya-tanya pada Ara itu. Masih banyak hal-hal yang belum ia ketahui meski dari segi hobi atau makanan favorit. Dikarenakan, Ara itu terlihat seperti pecinta makanan sejati. Semua makanan yang bisa ia masukkan ke dalam perut selagi bisa akan ia masukkan.
"Kenapa kamu yang cuci?"
"Kadang mereka suka baik buat kasih aku makanan enak. Udah begitu makanannya banyak yang bisa aku makan. Meski..."
"Meski apa?" Ara menggeleng tak mau menceritakannya lagi pada Astri. Menutupinya seakan Astri bukan siapa-siapa.
"Ayolah, cerita padaku. Aku tahu kalau aku belum lama mengenalmu, tapi apakah kamu percaya padaku Ara?"
"Ya, aku percaya padamu, Astri. Tapi, tidak sekarang. Kamu akan tahu nanti."