Menurut Astri kesehatan adalah hal yang paling penting untuk hidup. Untuk beribadah kita membutuhkan sehat agar ibadah kita maksimal. Jika bekerja kita membutuhkan sehat untuk kita bekerja keras meraih kesuksesan dan kemakmuran. Jika kita sakit, tidak hanya rugi badan saja yang didapatkan, tetapi rugi kehidupan juga didapatkan. Maka dari itu Astri selalu mengajak Ara berolahraga ketika hari libur tiba. Demi menjaga kebugaran tubuhnya untuk tetap fit dalam bekerja. Apalagi Ara yang bekerja dari pagi hingga sore selama enam hari full.
Berbeda lagi dengan Astri, dia adalah seorang personal training yang tentu saja selalu berhadapan dengan keolahragaan. Dia memiliki tubuh dan daya tahan yang bagus karena kesehariannya yang mendukung. Di setiap minggunya, Astri selalu mengajak Ara pergi berenang. Bukannya ikut menyelamkan diri ke dalam air, Ara malah berperan sebagai penonton dari atas kolam dengan mengamati Astri yang pandai sekali dalam hal itu. Sewaktu kemarin, Astri memaksanya untuk turun hingga Ara ketakutan tenggelam. Namun, Astri mengajarinya dengan baik. Tetap tenang di antara air dan bagaimana cara menyeberangi kolam itu. Akhirnya, Ara memberanikan diri meski masih takut-takut dan sesekali merangkak naik ke atas kolam.
"Kamu tahu Astri, kemarin aku menemukan apa saat aku menunggumu diluar ketika kamu ke parkiran mengambil motor?"
"Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu belum memberitahu aku, Ara."
"Yah, aku 'kan cuma basa-basi untuk membuka pembicaraan," berengut Ara ketika mendengar jawaban Astri yang seperti itu.
"Iya-iya. Aku cuma bercanda kok, Ara. Ayo dilanjutkan. Memangnya kamu menemukan apa?" tanya Astri sok penasaran.
"Ini." Ara menyodorkan kepada Astri sebuah bingkai kecil yang berada di dalam mini paper bag. Sederhana, tetapi bisa membuat Astri kagum terhadap sesuatu itu.
"Ini kamu temukan dimana? Bagus sekali, sederhana namun tampak cantik."
Di dalam bingkai itu terdapat sebuah lukisan, berisi siluet dua orang perempuan yang sedang bermain asik di pantai. Senjanya menemani mereka dalam kebahagiaan. Awan yang chaotic berselisih warna jingga ditepinya nampak memberikan kesan indah nan enak di pandang. Belum lagi gambaran ombak tepi pantai yang menakjubkan. Tentunya kita tahu siapa kedua perempuan itu.
"Itu berisi kita berdua. Cantik 'kan lukisan itu. Aku menemukannya tidak jauh dari tempat dimana kita pergi berenang."
"Keren, aku suka ini. Terima kasih, ya. Padahal ini bukan hari ulang tahun aku, loh." Astri tertawa kecil.
"Memangnya memberi sesuatu harus banget ya, waktu kamu ulang tahun."
"Enggak, sih." Mereka tertawa bersama. Entah tertawa karena apa. Yang jelas bukan tertawa tentang kesedihan, tetapi tertawa bahagia atas kebersamaan mereka yang terjalin begitu kuat hingga sekarang.
"Dan aku beli satu lagi. Itu untuk Legra."
"Wah, mana-mana? Lihat dong!"
"Enggak boleh, kamu 'kan udah ada sendiri."
"Ya ampun, aku cuma ingin lihat saja. Pelit kamu!"
"Biarkan."
Diistimewakan bukan berarti dia istimewa. Ada kue yang sangat diistimewa dengan krim-krimnya yang indah dan menggiurkan, tapi jika roti yang ada di dalamnya bantet, apakah itu yang dinamakan dengan istimewa? Tentu saja bukan. Bagi Ara, Legra dan Astri adalah dua orang yang istimewa bagi Ara. Meskipun begitu, Ara tidak bisa mengistimewakan keduanya. Bagaimana mungkin Ara bisa mengistimewakannya jika dirinya sendiri biasa saja, bukan apa-apa, dan tidak memiliki apa-apa. Ara hanya bisa berharap mereka berdua, orang yang dalam waktu ini mau berdiri di sampingnya, akan terus berada di sampingnya. Merangkulnya menghadapi dunia.
Dengan Ara yang menurutnya tidak memiliki keistimewaan dan tak patut untuk diistimewakan ini, ia ingin sedikit dikenang nanti. Dia ingin teman-temannya itu dapat merasakan kehadirannya di sekeliling mereka. Membuat mereka berada pada jalur yang sama meski mereka juga memiliki jalur yang sangat berbeda. Terutama pada jalur kehidupannya masing-masing. Untuk itu ia ingin memberikan sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk bisa membuat mereka tahu bahwa Ara selalu mempercayai mereka. Harapan Ara juga adalah semoga mereka selalu mempercayainya dan selalu berada di sampingnya apa pun yang akan terjadi nanti.
Ara telah menghubungi Legra untuk ia meluangkan waktunya di akhir pekan ini. Biasanya, Legra sibuk pada hari-hari biasa. Ara pun tidak bisa karena ia diharuskan untuk bekerja. Demi memenuhi kehidupannya di sini dan juga guna untuk mengirimkan sebagian hasil kerja kerasnya pada orang tua Ara di kampung halaman. Pada kesempatan seperti ini mereka hanya bisa bertemu ketika Ara bekerja perusahaan pemroduksi film di hari sabtu itu dan hari minggu.
"Hai! Melamunkan apa?"
"Hah! Eh, hallo Legra! Tidak, aku nggak melamunkan apapun."
Sebelum Legra mendudukkan dirinya di atas kursi, atensinya tertuju pada makanan yang sudah bertengger di atas meja. "Udah pesan makanan? Wah, tepat sekali."
"Red Velvet Cheesecake dan air dingin dengan selembar lemon?" tanya Ara dengan tersenyum.
"Perfect."
Sebelum keduanya makan, Ara sempat mempertimbangkan pertanyaan yang mungkin jika ditanyakan tidak akan penting bagi Legra atau pun Ara sendiri. Tetapi, Ara ingin tahu jawaban dari pertanyaan kecil ini. "Legra, coba kamu lihat itu."
"Lihat apa?"
"Coba lihat minuman yang ada di depan laki-laki yang sedang duduk di sana. Aku rasa minuman dia sama dengan kita, tapi kenapa aku juga merasa itu berbeda?"
Legra tahu maksud Ara. Dia tertawa mendengar pertanyaan dari Ara. Setelahnya menjawab, "Itu beda Ara. Coba kamu lihat di dinding gelasnya, ada buih-buih kecil di sana. Jelas saja berbeda bukan sama."
"Ih, bener. Ada buihnya, tapi kenapa minuman dia ada buihnya, kita tidak?"
"Karena berbeda minuman."
"Ih, serius!"
"Itu gin tonic, minuman alkohol, jelas aja bisa berbuih. Jangan minum itu, ya," pintanya, "Ini aja air dingin dengan selembar lemon. Sama tapi berbeda, haha.." Legra tertawa sambil mengangkat minumannya sedikit naik ke depan wajah Ara.
"Oh, begitu. Bagaimana kamu bisa tau?"
"Tau lah. Bagaimana nya adalah rahasia, haha.."
Ara hanya mengangguk-aguk, kemudian memakan makanan di depannya yang terlihat menggiurkan. Cheesecake ini enak juga, Ara terus memakannya hingga tersisa separuh. Legra yang melihat itu hanya tersenyum senang. Saking bersemangatnya makan, Ara lupa tujuannya mengajak Legra bertemu hari ini. Ara mengambil mini paper bag di kursi sampingnya.
"Aku ingin memberikan ini untukmu. Semoga kamu suka."
Tidak jauh berbeda dengan dengan apa yang Ara berikan pada Astri. Legra mengambil dan mengeluarkan isi dalam mini paper bag. Di sana ada siluet dua orang dengan cahaya matahari. Bedanya adalah dengan lokasi yang berada di tepi danau. Ada dua orang, satu perempuan dan satu laki-laki. Si perempuan sedang duduk di kursi yang menghadap ke arah air danau yang tenang, sedangkan laki-lakinya berada di belakangnya mengulurkan tangan.
"Di dalam ilusiku, gambar itu seperti aku yang selalu sendiri menatap mereka yang hidup damai dan tenang di bawah danau. Mereka adalah ikan-ikan beruntung seperti kalian. Di belakangku ada kamu yang dengan murah hati mau mengulurkan tanganmu untuk menemaniku yang tak beruntung ini."
"Indah, terima kasih. Aku akan menyimpan ini."
"Baguslah kalau begitu."
"Ini adalah gambar sederhana yang unik dan bermakna mendalam. Dari mana kamu mendapatkannya?"
Ara senang sekali setelah tahu bahwa Legra menyukai benda itu. "Kamu ingin melihatnya?" tanyanya.
Legra mengangguk, "Boleh."
"Pelukisnya di sana adalah anak-anak kecil. Tapi menurutku mereka sangat berbakat. Buktinya mereka bisa membuat lukisan indah itu dalam lingkup kanvas yang berukuran kecil itu."
"Benar, aku jadi penasaran. Apa anak-anak di sana masih sekolah?"
"Ku rasa masih, ada beberapa buku-buku pelajaran yang berserakan di meja sana yang aku lihat."
"Segera habiskan makananmu, kita lihat mereka, ya."
Ara mengangguk dan segera menghabiskan makanannya. Legra pun melakukan hal yang sama.
Sesuai janji Ara, ia akan mengajak Legra ke tempat dimana lukisan itu berada untuk dijadikan karya. Tempat yang digunakan sebagai tempat pemajangan karya sekaligus untuk memproduksinya oleh anak-anak itu. Sebut saja sebagai studio seni oleh anak-anak luar biasa. Di tempat itu, Ara dan Legra disambut dengan gembira oleh anak-anak yang berada di sana. Mereka terlihat bahagia ketika kedatangan tamu. Sama seperti waktu pertama kali Ara berkunjung. Mereka yang antusias memperkenakan karya-karya mereka.
Salah satu dari mereka bernama Gandhi. Tingginya tidak jauh berbeda di bawah Ara, mungkin usianya sebangsa usia anak SMP. Gandhi mencoba membantu menjelaskan setiap lukisan yang ada. Meskipun terkadang ia sering keliru dalam mengucapkan beberapa kata yang asing dari lidahnya.
"Kakak, gambar ini, gambar yang memperlihatkan objek lukisan yang seakan-akan gambarnya bergerak. Itu yang namanya.. fu..fukurisme.." Dia sudah seperti orang profesional yang siap menjawab dan menjelaskan pertanyaan pengunjung.
"Futurisme, adek." Sambil mengisap kepala anak itu, Legra terkekeh begitu pun dengan Ara.
"Kebetulan kakak sudah memiliki satu dari koleksi kalian."
"Itu yang dibeli kakak perempuan minggu kemarin. Bagaimana kakak bisa dapat?" Gandhi menunjuk lukisan yang dikeluarkan oleh Legra. Sepertinya dia tidak sadar dengan wajah Ara di samping Legra.
"Loh, ini kakaknya. Masa kamu lupa?"
"Hah, kakak? Eh, iya kakak yang ini," pekiknya.
Sedari tadi Ara hanya menyimak penjelasan Gandhi dan pertanyaan Legra. Ia pun berjalan di belakang Legra dan berdiri di sampingnya ketika berhenti. Tidak ada pertanyaan yang keluar mulutnya. Mungkin itu penyebab atas ketidaktahuan Gandhi. Ara pun terkekeh.