Rasa mual di perut Ara telah mereda, Ara pun telah kembali duduk di bangku mobil bersama Legra. Duduknya tak manis bak perempuan-perempuan feminim di luaran yang jika tengah di sandingkan dengan seorang artis populer, tampan, kaya, dan berkarisma seperti Legra. Ara duduk dengan bersandar dengan kaki selonjor. Lagi pula ia tak memandang Legra dari semua itu. Ia memandang Legra karena baiknya, tulusnya Legra, pun sikap ramah Legra yang tak memandang bulu untuk berteman dengan siapapun. Hingga dengannya pun Legra tak membeda-bedakan.
Ara memang duduk di dalam mobil bersama Legra. Matanya menatap jalanan depan dengan diam. Namun, jiwanya tidak menetap, berkelana pergi ke pulau lain, terbang sejauh mungkin tapi tak tau tujuan mana yang akan ia darati, pulau mana yang akan menjadi singgahannya. Hingga suara tanya Legra menyentak telinganya.
"Ra, kamu kok bengong?"
"Emm.. "
"Kenapa, hmm?"
"Gra, aku mau tanya," awalannya. "Kenapa sih kamu baik banget sama aku? Kenapa kamu mau temenan sama orang seperti aku? Aku 'kan bukan siapa-siapa kamu, aku nggak bisa apa-apa, cuma membuat masalah saja buat kamu. Aku juga nggak pantas buat jadi teman kamu, apa lagi kamu artis. Masa iya artis bertemen dengan orang seperti aku? Bahkan aku sampai merepoti kamu seperti tadi."
Sudah cukupkah unek-unek Ara ia keluarkan? Sepertinya belum, masih banyak yang ingin ia tanyakan. Tapi Ara tetaplah Ara untuk tidak frontal. Ia selalu tak mau menyakiti hati orang lain karena ucapannya. Maka dari itu Ara selalu tak banyak bicara.
"Apaan, sih, Ra. Kamu ada-ada aja, deh. Lagian tadi cuma bawa tisu sama pijitin kamu apa yang repot?" tanya Legra.
"Tapi aku nggak enak, bahkan sampai pernah aku buat nama kamu ada di berita seperti kemarin." Tatapannya pada Legra seolah menjelaskan bahwa perempuan itu memang selalu seperti ini, 'tidak enakkan'.
"Itu wajar juga, Ra. Namanya aja artis kalau enggak masuk berita nanti nggak terkenal dong," kekehnya. "Apa yang bikin kamu nggak enak? Kamu cuma pernah buat aku masuk berita itu wajar. Terus kamu sakit aku bantu itu juga wajar. Nggak ada yang lain dan bikin aku repot, Ra."
"Tidak, Gra. Aku yang repot jadi bahan pembicaraan orang-orang dan aku yang merasa repot karena merepotkan kamu. Tapi, cuma kamu dan Astri yang mau jadi teman aku," dan tak mungkin juga Ara mengatakan hal tersebut di depan Legra. Kata-kata itu hanya ia simpan dalam benaknya.
"Tumben juga kamu ngomong sebanyak itu. Lagi kena apa?"
"Pengan aja."
Mobil Legra telah ia jalankan kembali menuju pasar yang dirinya dan Ara pernah kunjungi. Tidak terlalu cepat juga lambat, asalkan selamat sampai pada tujuan. Menikmati jalanan pun ia lakukan.
"Apa iya?"
"Kalau bicara banyak tapi menyakiti hati orang lain, lebih baik aku diam."
"Diam kalau kamu yang tersakiti juga malah buruk buat kamu sendiri," nasihat Legra, sedangkan Ara hanya mengangguk-angguk saja.
Tak berselang lama mereka telah sampai di pasar. Legra memarkirkannya agak jauh dari pasar agar Tidak ada yang curiga atau pun tau. Kemudian mereka keluar menuju tempat penjualan jajanan. Tidak sebangus mall yang ada di kota ini sih, karena mall lebih modern dibanding pasar tradisional. Jelas saja, terlihat dari namanya saja sudah berbeda. Tapi Ara telah membuat Legra lebih menyukai pasar karena orang-orang di sana lebih ramah meski tak tau siapa gerangan seseorang di balik masker dan topi yang bertengger di atas kepala itu. Juga, makanan yang ada di sana jauh lebih enak dan alami tanpa pengawet.
Cukup lama mereka memilih-milih, karena ini bukan hanya untuk mereka saja, tetapi juga untuk anak-anak yang berada di studio oleh anak-anak luar biasa itu. Bahkan Astri dan An pun terlibat ada di dalam sana. Tak hanya membeli, Legra pun terkadang menjajaki terlebih dahulu akan rasa makanan yang mereka pilih. Namun, ia harus ekstra hati-hati untuk itu karena saat ia ingin mencicipi makanan ia harus membuka maskernya terlebih dahulu. Takut-takut ada yang mengenali, Legra membuka masker dengan tangan kiri sekaligus menutupinya. Kepalanya pun turut andil untuk menunduk. Tentu saja Ara selalu terbahak oleh tingkah Legra yang menurutnya aneh itu.
Setelah selesai, mereka kembali dengan membawa banyak kantong plastik di bagasi. Sepanjang jalan mereka habiskan untuk tertawa bersama akan waktu-waktu mereka di pasar tadi. Mereka sempat berkeliling mencari penjual pukis, pada akhirnya mereka menemukan tempat itu yang ternyata pada tempat yang sudah sering mereka pijaki. Barulah mereka tau saat sang penjual itu berkata dengan santainya. "Saya tadi di ujung sana, belum sampai ke sini," kata bapak itu dengan gerobaknya.
Sesampainya mereka di tepi jalan dekat gang, Legra segera membuka bagasi dan dibantu Ara mengangkat barang bawaan. Mereka di sambut baik kembali oleh anak-anak yang menghampiri mereka dengan menawarkan bantuan untuk ikut serta membawakan jajanan itu.
"Sini, kak. Kita bantu," kata salah satu dari mereka.
Mereka tertawa atas keantusiasan anak-anak ini. Mereka begitu lucu dan menggemaskan. Mereka anak-anak yang rajin juga pandai. Tidak salah jika keputusan Legra datang ke sini untuk membantu. Setidaknya dia bisa berbagi pada mereka dengan senang hati tanpa paksaan.
"Kak," panggil gandhi.
"Iya Gandhi, ada apa?" tanya Legra pada Gandhi yang berdiri di sebelah Ara. Ara yang memegang pundak Gandhi pun menoleh ke arah Gandhi. Meski tak memiliki teman, Ara adalah orang yang menyukai anak kecil seperti Gandhi ini. Dia masih polos dan perlu pendamping untuk menjaganya sebagai orang tua maupun kakak. Gandhi mengingatkannya pada adik kecilnya yang kini tengah jauh dari pandangannya.
"Ada kakak kita di dalam. Kakak harus kenal sama dia, dia itu orang yang baik banget," kata Gandhi antusias.
"Oh, ya? Kamu punya kakak?"
"Iya, kakak kita. Dia artis loh, kak." Tentu saja Legra terkejut akan hal ini, artis siapa? Apakah dia mengenal akan artis tersebut?
"Kamu tau nggak siapa kakak?" tanya Legra membungkukkan badan.
"Kakak Legra 'kan?"
"Bukan, maksud kakak, kamu tau nggak kakak kerja apa?" Bukannya sombong memamerkan diri, apa lagi terhadap anak kecil seperti Gandhi. Namun, Legra hanya ingin tau saja. Jika Gandhi tau pun Legra akan bertambah senang, entahlah senang karena apa. Dia hanya senang saja, ia pun telah menyukai anak-anak di sini semenjak kedatangannya kemari waktu lalu.
"Enggak tau," jawab Gandhi linglung.
"Yah, kok nggak tau, sih?"
"Udahlah, Legra. Nanti dia juga pasti akan tau," kata Ara sembari tersenyum mengejek. Sang empu malah hanya mengerucutkan bibirnya.
"Ayo, kak, masuk. Kita mau kenalin ke kakak."
Legra tersenyum mengiyakan. Kemudian ikut masuk menyusul Ara yang telah ditarik-tarik oleh Gandhi untuk segera masuk ke dalam. Raut muka Gandhi terlihat bahagia seperti biasa, mungkin lebih bahagia dari sebelum-sebelumnya. Legra rasa dia sangat menyayangi kakaknya, sehingga ia terlihat sangat antusias perihal kakaknya.
Ara dan Gandhi telah masuk ke dalam, tinggal Legra yang masih setia di depan pintu. Matanya berkeliling mencari sosok yang akan ia temui, mungkin sosok yang telah Legra kenal atau yang akan Legra kenal. Tepat di pojok ruangan, ada seseorang yang sedang berdiri membelakangi Legra. Sedangkan yang lainnya berada di meja ruangan menikmati jajanan yang Legra dan Ara bawa.
Legra berjalan mendekat ke arah lelaki itu. Tubuhnya tinggi, badanya tegap, dan lumayan kekar menurutnya. Ketika tepat berada di belakangnya, dia berhenti. Tangannya terangkat menepuk pundak lelaki itu. Tepat pada saat ia menolehkan kepala, Legra tersenyum ramah pada seseorang itu. Jelas saja Legra kenal siapa lelaku ini. Lelaki yang belakangan ini berada dalam satu lingkup urusan pekerjaan.