"Gimana? Ketemu sama orangnya?" Legra menggeleng. Memang benar, ia tak menemukan wanita itu tadi. Wanita itu telah keluar sebelum Legra menghampirinya, menanyakan tentang Ara.
"Apa gue salah dengan milih artis sebagai profesi gue? Kenapa mereka tinggal jauh dari gue karena gue seorang artis?" tanya Legra tiba-tiba. An yang ingin menyalakan mobil menghentikan aksinya.
"Lo kenapa, deh?"
"Kenapa gue selalu salah kalau tentang gue udah nyangkut masalah profesi? Gue cuma pengen menjalani hidup gue sesuai apa yang hati gue suka. Tapi kenapa mereka menjauh dari apa yang gue cita-cita."
"Lo lagi jatuh cinta, ya?" Ngawur, An hanya mengucap sembarang kata. An bingung harus menanggapi kalimat-kalimat rancau yang Legra keluarkan. Ia juga terlihat sedih atau bahkan galau setelah tahu akan kepergian Ara yang menjauhi Legra.
Legra hanya menjawabnya dengan gelengan. Ia juga tidak tahu bagaimana isi hatinya. Masa lalunya masih mendominasi. Seakan sulit runtuhkan bagai tembok kokoh zaman belanda yang masih berdiri tegap. Apa iya secepat itu? Ia bahkan semakin memegang erat jabatan sebagai seorang artisnya karena itu. Semua rasanya begitu melelahkan.
"Ya sudah. Kita tunggu aja sampai ketemu langsung sama Ara. Minta penjelasan sampai seterang-terangnya sama dia. Kalau perlu sampai cahayanya habis sekalian," ucap An sedikit bergurau, tapi Legra hanya diam. Seharian ini, ia terlalu lelah membicarakan masalah hati yang tak henti membiarkannya beristirahat walau hanya sejenak.
"Tau lah. Buruan balik, gue capek. Habis ini gue mau langsung tidur aja. Jangan ganggu jangan dobrak-dobrak kamar. Kalau ada apa-apa besok pagi aja ngomongnya." An hanya mengangguk dan segera menyalakan mobil untuk melesat.
Apa yang ingin Legra lakukan selalu ia lakukan. Memperkuat pegangannya pada tiang besi yang menyanggahnya dalam pekerjaannya. Meski dengan cara yang tak ia harapkan, setidaknya ia bisa dilihat lebih unggul dari masa lalunya yang tak pernah seperti ini. Walaupun hatinya tak sesuai dengan apa yang telah diberitakan diluar. Berita, gosip-gosip tentangnya dan Daneen semakin menguat. Tawaran job mengisi peran sinetron, iklan, dan lain-lain terus berdatangan. Tak lain ini menyita waktunya untuk beristirahat bahkan bersenang-senang.
Setelah memastikan hari ini jadwalnya lebih longgar, An memberi tahunya bahwa siang sampai sore ini ia bisa lebih santai. Apa yang akan ia pergunakan untuk waktu ini? Sudah lama tak bertukar kabar dengan Ara. Legra yang tak mau pertemanannya dengan Ara hanya sampai sedemikian. Ia terus mengirimkan pesan pada Ara meminta bertemu. Ara yang tak meresponnya selama seminggu ini pada akhirnya membalas pesannya sewaktu tadi pagi.
Ara: Tidak usah. Aku takut mengganggu waktumu. Kamu pasti sibuk.
Legra: Ara.. Hanya sebentar aja. Ada suatu hal yang ingin aku tanyakan padamu.
Ara: Bisa di sini 'kan? Tidak usah bertemu tidak apa-apa.
Legra: Tidak sopan jika berbicara melalui balas pesan begini.
Ara: Baiklah.
Mati-matian Ara menjaga tangannya untuk tidak bergerak lebih jauh. Selama menjaga bapak pun ia menjauhkan ponselnya demi kewarasan otaknya dalam berpikir. Sekarang bapak sudah sembuh, Ara kembali ke Jakarta padahal sudah lama. Berhubung ia meminta izin untuk dua kali masuk, sekalian saja ia tidak menampakkan wajahnya di depan Legra.
"Beri saja pengertian bahwa kamu tidak mau terlibat dalam masalahnya nanti bila terjadi kesalahpahaman. Kalau dia memaksa tetap ingin berteman, setidaknya jangan diwaktu sekarang." Astri hanya kawatir nantinya akan terjadi sesuatu pada Ara. Sebagai teman baiknya, ia hanya ingin melindungi sahabatnya ini selagi ia bisa.
"Iya, Astri aku paham maksudmu baik. Tapi aku juga takut nanti kalau dia sakit hati. Aku yang tidak memiliki teman saja merasa sakit hati apalagi dia yang berniat mencari teman tapi malah dijauhi." Kalau pun nantinya ia bisa menjauh, itup tidak masalah. Hidupnya memang jarang sekali dikelilingi orang yang setia mendampinginya. Jadi, ia sudah biasa.
"Ya sudahlah. Itu terserahmu," putus Astri.
Kembali atau tidak nantinya akan Ara terima sepenuhnya. Memang ini hidupnya yang sebenarnya. Akan ada saatnya Ara menemukan seseorang seperti Legra lagi nanti atau bahkan lebih baik dari Legra seperti Astri. Mereka memang belum lama saling mengenal satu sama lain. Namun, perasaannya selalu aman dan nyaman ketika dalam kebersamaan. Baik pergi atau kembali, ia harus siap dan akan selalu siap dengan kondisi.
Hari ini adalah hari sabtu, hari yang seharusnya ia gunakan untuk melakukan pekerjaan tambahannya di perusahaan pemroduksi film. Karena ia masih memiliki jatah cuti, maka masih ia pergunakan untuk libur.
Di depan matanya perusahaan itu berdiri, seperti melambaikan untuknya memasuki gerbang itu. Tapi tujuannya sekarang bukan itu. Ia berada di sebuah kafe yang terletak di depan perusahaan. Sesuai apa yang Legra minta untuk bertemu, ia menurutinya. Mengungkapkan selalu di dalam hati bahwa everything is gonna be OK.
"Sudah lama menunggu di sini? Apa aku datang terlambat?" Manusia bertopi putih dan memakai masker hitam dengan matanya yang menyipit itu menghampiri Ara. Dilihat dari matanya, Ara tau siapa orang ini. Senyum yang tersembunyi di balik masker itu menjalar pada bibir kecil Ara. Legra mengangkat sedikit topinya ke atas. Ikut mendudukkan diri di kursi yang berseberangan dengan Ara.
"Belum lama juga. Pesan dulu aja, aku sudah pesan tadi sebelum kamu datang."
Legra pergi ke arah barista kafe untuk memesan kopi dan beberapa camilan. Kemudian kembali lagi.
"Kamu nggak bekerja?" tanya Legra menunjuk perusahaan depan kafe setelah memberi pesanan pada barista.
"Kebetulan hari ini aku masih ambil cuti. Kemarin aku ambil dua kali kerja. Minggu depan baru mulai berangkat lagi," jawab Ara.
"Kenapa cuti? Kamu sengaja ya menjauh dari aku dengan ambil cuti ini? Buat apa jika cuma dua kali. Nggak berhenti aja sekalian?" cercah Legra yang tak sabaran menunjukan niatnya menemui Ara hari ini. Ia nampak kesal karena Ara menjauhinya.
"Bukan begitu."
"Lalu apa kalau bukan begitu? Belum lama ini An menemukan temanmu yang sedang berteleponan denganmu waktu di supermarket. Katanya, kalian membicarakan tentang kamu yang menjauhi aku karena aku seorang artis. Benar begitu?" Legra berbicara panjang lebar membuat Ara terkejut.
"Begini ya, aku jelaskan. Tapi tolong jangan dipotong pembicaraanku, oke."
"Hmm, bagaimana?"
"Jadi yang pertama aku cuti bukan karnamu. Aku cuti untuk pulang buat menjenguk bapak yang sedang sakit di rumah. Jadi jangan salah paham, ya." Perkataan Ara sedikit memudarkan kekesalan yang tampak di raut muka Legra yang telah membuka maskernya ke bawah.
Saat ingin menanggapi, pelayan kafe datang membawakan pesanan yang telah mereka pesan. Buru-buru Legra menaikkan kembali ke atas. Bisa heboh satu kafe ini jika penghuninya melihat artis yang baru ini sedang terkenal di televisi. "Selamat menikmati."
Keduanya mengangguk berterima kasih. Setelah pelayan itu pergi, barulah Legra kembali menurunkan maskernya. Terlihat Ara menahan tawa karena tingkah laku Legra.
"Nggak usah tertawa. Ini adalah cara supaya aku bisa merasakan kembali menjadi orang biasa. Tapi tidak biasa juga karena alat-alat ini."
"Jadi, bapakmu lagi sakit?"
Ara mengangguk, "Tenang saja, tidak parah kok. Hanya penyakit usia saja," jelasnya, "Tapi... bagaimana An tau itu temanku, kalian 'kan nggak ada yang tau temanku."
Makanan yang telah tersedia sungguh menggoda selera Ara. Ia segera mencicipi makanan yang sudah tidak sabar untuk dijamah itu. Sesekali mendengarkan apa yang Legra katakan.
"Entahlah, mungkin ia hanya mendengar namamu dan namaku disebut dengan namamu. Jadi dia menyimpulkan Ara itu adalah kau dan aku menyimpulkan itu temanmu saja," kata Legra. Ia mengambil saos untuk menuangkan saos dari mangkuk ke atas kentang goreng yang ia pesan.
"Belum tentu benar itu, masih aja dipercaya. Kalau itu orang iseng yang sengaja menyebarkan hoax bagaimana?"
"Benar juga ya. An tidak biasanya percaya hal seperti itu begitu saja." Legra tampak berpikir. Sepertinya ia sedang memikirkan An. "Tapi An benar juga. Lagi pula yang tahu aku berteman denganmu juga tidak banyak."
Ara mengangguk dan dan ia melihat saos yang Legra tumpah di atas meja. Legra yang sadar arah lihat Ara menoleh dan tertawa. Mereka tertawa bersama, menertawakan kebodohan Legra yang kurang berhati-hati.
Setidaknya alasan pertama Ara mengambil cuti telah tersampaikan. Tinggal alasan kedua, tapi apa Legra mau? Ara hanya teman Legra, Legra punya banyak teman. Seharusnya tidak apa-apa untuk mengatakan alasan kedua. Lebih baik jika dikatakan sekarang.
"Tapi, Gra. Apa tidak apa-apa jika aku benar-benar menjauhimu?"
Legra diam, "Kenapa ingin menjauh dariku?"
"Kamu itu artis, aku takut nanti ada berita atau gosip yang tidak benar tentangmu. Aku hanya orang biasa yang kebetulan Tuhan mempertemukan kita. Nanti aku bisa saja menyulitkanmu."
Legra menggeleng, tapi Ara mengangkat tangannya untuk Legra tidak berbicara. Ara menarik napasnya sebelum kembali melanjutkan.
"Kamu juga sudah punya pacar. Nanti ada kesalahpahaman diantara kalian. Aku juga tidak mau ini mempersulit perkembanganmu untuk menaikdaunkan posisimu saat ini. Disini aku hanya bisa mendukungmu."
"Nggak, Ra! Jangan sampai kalo lo ngejauh. Lo nggak tau apa-apa. Pada intinya, kalau lo ngejauh gue bakalan anggap kita nggak pernah kenal selamanya."
Legra terlihat sangat marah kali ini. Tidak terlihat sisi Legra yang menyenangkan seperti biasa. Bagaimana lagi Ara akan menanggapi. Setelah menaikkan maskernya, Legra melenggang keluar kafe dengan wajah merahnya. Berbunyi suara lonceng pintu, nampak tak terima atas kepergian Legra tanpa senyum menghiasi wajahnya. Namun, Ara harus berbuat apa sekarang? Menapak batu kerikil yang pastinya tidak akan pernah bisa halus kecuali jika sudah berubah bentuk lain. Tapi jika tetap menapak disana akan kesulitan ketika kita berjalan tanpa alas.