Mimpi, jika mimpi-mimpi yang tinggi dapat menjadi kenyataan, tentu hal tersebut sangat membahagiakan. Suatu hal yang tadinya hanya sebuah angan-angan, sekarang telah menjadi nyata dan berada di depan mata. Bagaikan mimpi ialah sebuah bintang jatuh tepat di depan rumah, tepat dan terlalu cepat. Tanpa diketahui tanda-tandanya terlebih dahulu.
Dapat berteman baik dengan seorang Allegra adalah mimpi Ara. Bahkan Ara tak luput bercerita dengan Astri tentang pertemanan itu. Sudah beberapa kali dalam setiap minggunya, Legra selalu menghampirinya ketika sedang beristirahat. Mereka sepakat untuk menjalin hubungan pertemanan. Ara biasanya sukar berbagi kebahagiaan maupun masalah yang ia punya. Dan sekarang sepertinya sudah berbeda, entah apa penyebabnya. Mungkin ia terlalu bahagia, tentu saja. Siapa yang tidak bahagia jika dapat berteman dengan sang idola bukan?
Langit yang tadinya tampak biasa saja dibersamai oleh kabut-kabut di sekitarnya, sekarang nampak lebih bersinar sebab datangnya cahaya matahari. Bulan yang tadinya memiliki bentuk sabit, kini separuh bagiannya telah muncul ketika dilihat dari bumi. Hari-hari yang tadinya hanya diisi kesibukan dan kefokusan, saat ini hari-hari telah jauh berbeda. Ada Astri dan juga Legra yang mau menemaninya. Hal kecil yang membahagiakan. Setiap malamnya ditemani Astri dengan makanan yang ia bawa. Selain itu, setiap minggu-tepatnya di hari sabtu, Ara dan Legra selalu menyempatkan berbincang-bincang meski hanya sekedar bertukar kabar.
Legra yang tadinya menggunakan gaya bahasa ala-ala anak Jakarta, kini telah menyesuaikan diri ketika bersama Ara. Ia mulai menggunakan gaya bahasa aku-kamu. Meski kadang lidahnya merasa begitu asing. Sebab, itu adalah gaya yang sudah lama tidak ia gunakan.
Ara dan Legra tengah berbincang di sebuah bangku. Hanya perbincangan ringan yang mereka bicarakan. Selagi masih ada waktu sebelum Ara kembali pulang ke tempat kosnya.
"Kalau sama orang lain, kayaknya kamu jarang deh, ngomong banyak."
"Memangnya kenapa kalau aku jarang bicara dengan orang lain?" Jujur Ara pun tak tahu kenapa ia melakukan itu.
"Pengen tau aja, gitu. Soalnya kamu juga kelihatan enggak terlalu dekat dengan siapa pun di sini. Bener nggak?"
"Ya, enggak tau. Aku akan bicara banyak kalau aku merasa aman."
Senyum manis terukir di wajah Ara. Ara tak menyangka seorang Legra sampai mengamatinya seperti itu. Atau apakah ia yang terlalu percaya diri? Beranggapan Legra mengamatinya, tetapi untuk apa? Sungguh konyol jika ia merasa seperti itu. Mungkin kebetulan saja atau sekedar menebak. Bahkan Legra menanyakan benar atau tidaknya. Sudah pasti itu hanyalah sebuah tebakan.
"Berarti aku aman gitu, ya? Memang amannya bicara bagaimana? Kalau nanti aku terkam terus aku makan berarti kamu udah enggak aman lagi, dong. Hahaha.."
Di dekat Legra, Ara selalu merasa dirinya dianggap ada. Ia merasa ada orang yang mau berbagi kebahagian dengan tertawa seperti Legra. Jadinya, Ara ingin berlama-lama berada di sini, menetap di samping Legra jika perlu. Ingin juga ia berlama-lama ketika mereka bersama. Tapi mana mungkin itu terjadi, Legra memiliki kesibukan sendiri. Lagi pula siapa dirinya? Hanya seorang penggemar yang kebetulan bisa berteman dengan idolanya. Sebuah keberuntungan yang dicari banyak orang. Harusnya Ara lebih bersyukur.
"Aku percaya kamu nggak akan seperti begitu." Sembari menjawab, Ara sedikit menggeser tubuhnya yang ia rasa terlalu dekat itu. Tidak baik untuk hatinya dan tidak baik jika dipandang orang tidak enak.
"Kenapa ngejauh? Sini-an dong!"
"Enggak, ini sudah sore. Aku pulang, ya."
"Mau aku anterin nggak? Belum pernah, loh, aku nganterin kamu."
Ara terkekeh kecil mendengar itu. Mana mungkin Legra mengantarnya pulang? Wilayah kosnya memiliki banyak penghuni perempuan. Tidak sedikit dari mereka yang menggemari seorang Allegra. Bisa jadi Legra dikejar mereka terlebih dahulu walau masih di dalam mobil.
"Yakin mau antar aku pulang?" tanya Ara.
"Emang boleh?"
"Boleh, kalau kamu mau."
"Enggak, deh. Hehe."
Tidak banyak perbincangan mereka hari ini. Ara melangkahkan kakinya keluar menuju loby dan pintu keluar. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia mendengar bisikan umat manusia. Tak jarang semua itu membuat gendang telinganya ingin meledak. Tentang dia dan Legra, berisi gosip kecil yang membinasakan. Namun, Ara tetaplah Ara. Tidak akan ia pedulikan perkataan mereka, Ara tak peduli.
Setelah bekerja seharian, pulangnya menunggu ojek online, kemudian mengistirahatkan badan di dalam kos. Belum ada lima belas menit, tukang ojek online ternyata telah sampai di depan Ara. Kembalilah ia ke kamar kos yang ia rasa cukup nyaman selama ia tinggal ini.
Kamar kos Astri bertepatan di depan ruang kamar Ara. Malam ini Astri mengunjungi kamar Ara seperti biasanya. Mereka bercerita perjalanan hari-hari mereka seperti biasanya. Lebih tepatnya Astri yang sering bercerita dibandingkan Ara. Namun, malam ini sedikit berbeda.
"Ra, Ara. Kamu lagi apa?" Astri mengetuk pintu.
"Masuk aja. Aku lagi nggak melakukan aktivitas apa pun, kok."
Ara hanya sedang bertukar pesan dengan ibu dan adiknya di rumah. Ia rindu rumah. Rasanya ingin kembali mendengar suara rengekan adiknya dan nasihat-nasihat ibunya itu.
"Aku masuk, ya."
"Iya."
"Eh, eh, aku mau tanya. Kamu sama Legra seberapa dekat?"
"Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Waktu di tempat kerja, teman-temanku membicarakan tentang kabar Legra. Kayaknya dia lagi dekat sama seorang selebritis lain, deh."
"Perempuan?"
"Iya, masa laki-laki."
Bukan sebuah kejutan lagi, Legra memang mudah dekat dengan siapa pun. Terlihat dari kepribadiannya yang asik dan menyenangkan. Untuk apa Astri memberitahunya hal seperti ini?
"Itu hak dia dekat dengan siapapun. Apa urusannya denganku?"
"Kamu enggak cemburu?"
Hah, cemburu? Apa pernah Ara memikirkan cinta setelah apa yang terjadi pada cinta sebelumnya? Ara sulit mendapatkan rasa yang sama lagi untuk sekarang ini. Rasanya, ia seperti tak ingin mengenal akan kata cinta di hidupnya selain dengan ibu, bapak, dan adik-adiknya.
"Aku hanya penggemarnya, Astri. Dia adalah idolaku yang hanya aku idolakan dalam sifatnya yang pekerja keras."
"Apa kamu yakin?"
Entahlah, Ara juga tidak tahu. Namun, ketika ia bersama dengan Legra, ia jadi merasa tenang. Bukan karena adanya cinta yang tumbuh. Semua karena pribadi Legra yang menyenangkan dan dia satu-satunya seorang teman berjenis kelamin laki-laki terbaik yang pernah ia temukan. Walaupun Legra adalah seorang artis, Legra tak pernah memandangnya rendah. Ia selalu memandangnya sebagai sesama teman juga.
"Kalau begitu, Lebih baik kamu menjauh dari Legra."
"Kenapa?"
Perbedaan bukanlah alasan untuk memutus tali silaturahmi bukan? Ara hanya ingin memiliki banyak teman yang tulus, bukan sekedar basa basi. Dirinya sangat sulit dalam bergaul, ia sulit mendapatkan teman seperti Astri atau pun Legra. Perbedaan pekerjaan bukanlah alasan memutus pertemanan.
"Karena mereka kabarnya punya suatu hubungan spesial. Mereka juga sering mengisi job secara bersama-sama."
"Lalu, apa hubungannya denganku?"
"Kamu tahu 'kan kalau kamera ada dimana-mana? kamu mau hal-hal tentang kamu di input sana sini demi sebagai perbandingan? Emang sih, kalian nggak ada hubungan apa pun. Tapi yang namanya artis kalau nggak ada gosipnya, ya bukan artis namanya."
Baiklah, Ara mengerti. Ara mengerti mengapa dunia artis selalu dikelilingi oleh para artis lainya. Bukan hanya tentang dia yang akan ikut jadi bahan gosip nantinya di dunia itu. Ada hal lain yang harus ia pikirkan baik-baik.
Sesuatu yang tampak yang tak sesuai semestinya pasti akan menjadi timbul masalah. Di dunianya, di dunia orang lain, di sekelilingnya. Apabila suatu saat ia bisa kembali berteman dengan Legra, maka ia tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi. Terserah apa kata dunia, yang paling penting ia tak akan menyiakan pertemanannya dengan Legra yang tulus itu. Sekarang yang harus ia lakukan adalah menjauh. Tidak mungkin ia kembali merangkul Legra sebagai seorang teman. Menjadi seorang teman saja dapat berpengaruh, terlebih lagi yang memiliki hubungan spesial.
Kalau saja Legra bukan seorang artis, pasti tidak akan ada yang hal seperti ini terjadi. Namun, jika Legra bukan seorang artis, mana mungkin Ara bisa mengenal Legra sebagai seseorang yang ia idolakan. Mereka bahkan memiliki kemungkinan tidak akan mengenal satu sama lain. Kalau saja juga Ara tak mengenal Legra, Ara pasti akan mencari seorang teman lain untuk dirinya sendiri. Teman yang bahkan Ara tak tau harus mencarinya dimana. Mereka menganggap Ara terlalu membosankan karena hanya mendengarkan dan menjawab sesekali ketika mengobrol. Astri, mungkin ia akan belajar lebih banyak dari Astri tentang bagaimana caranya mencari teman. Teman, teman, teman, selalu saja kata itu sulit sekali ia cari.