Cukup adalah ketika kita mau bersyukur atas segala yang telah Tuhan berikan pada kita. Tuhan lebih mengetahui yang terbaik untuk kita miliki. Dialah Sang pemberi kehidupan, Dia yang menentukan segala arah ini, dan Dia yang selalu ada dan menerima keluh kesah hidup ini. Tidakkah kamu mau bersyukur atas kehadiran Tuhan di sisimu selalu? Cukup bersyukur dengan menjalani, menikmati, dan mengukir sejarah kebahagiaan nanti.
Namun sulit, itu yang menjadi masalahnya, Legra selalu kesulitan untuk terus bersyukur. Banyak waktu yang selalu ia pergunakan untuk mengeluh. Jika di lihat, ia akan terus terlihat baik-baik saja di mata orang lain. Selalu menampakkan sisi cerianya untuk dunia. Berbeda lagi dengan dirinya ketika sedang menikmati waktu pribadi atau mungkin saat bersama An. Keluh kesannya tak kunjung berhenti keluar dari mulutnya. Mengoceh ke sana ke mari tidak jelas tujuan bicaranya.
An jelas mau dan mampu menghadapi segala sifat Legra. Mereka sudah lama menjalani kehidupan secara bersama. Dia bukan hanya seorang manager, tetapi dia juga seorang sahabat yang setia menemani Legra. Dia mau menerima keluh kesahnya. Maka sudah tidak heran lagi jika sikap mereka tak layaknya patner kerja.
Teh tubruk adalah minuman favorit Legra saat ini. Dia sedang berada di balkon kamar dengan An yang duduk di depannya. Diminumnya sedikit minuman teh itu, kemudian Legra berkata, "Rupanya hidup memang benar-benar sulit disesuaikan denyang ekspektasi, ya," Legra terkekeh.
"Ya namanya juga hidup. Kalau merasakan enaknya terus, kapan mau bisa belajar kehidupan?"
"Gue capek An."
"Capek mulu lo. Lo ini kenapa, sih, Gra. Susah banget diajak jangan mengeluh."
"Ya, habis gimana? Gen-nya nurun dari bapak, bukan emak."
An tahu itu, Legra mewarisi sifat dari Ayahnya. Suka mengeluh, tetapi pekerja keras. Menyenangkan di luar, tetapi menyedihkan di dalam. Susah mengajak orang seperti mereka mensyukuri hidup. Sedangkan bunda Legra sendiri adalah orang yang mau menerima hidup apa adanya. Mau bersyukur atas segala ketentuan-Nya. Maka dari itu, kedua orang tuanya sangat cocok bila bersanding. Sang ayah belajar dari Bundanya, tetapi sang anak masih belum bisa belajar.
"Coba deh, dikebiasain sedikit-sedikit. Pasti lama-lama juga sembuh," nasihat An.
"Lo kira penyakit biar sembuh?"
"Penyakit hati 'kan?"
"Emm, cabut yok. Kemana gitu, kek. Lagi bosen nih gue."
Legra mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia malas membahas hal ini lebih jauh, meski ia tahu bahwa An tidak akan membahasnya jika ia tak memulai. Legra juga harus sadar, ia tidak boleh memancing dirinya sendiri. Sebab, kemungkinan besar retakan-retakan hatinya akan muncul kembali. Kasat mata memang, tetapi hatinya yang merasakan itu. Merasakan pedihnya rasa sakit hati. Satu-satunya jalan yang ia miliki adalah Ia harus bangkit. Mencoba membuang semua kenangan buruk yang menyakiti hatinya tanpa sisa. Apa Legra bisa? Sudah lama ia mencoba. Ketika ia bercermin, tak ada yang salah dengan dirinya. Dia tak cacat dalam hal fisik, hanya hatinya yang cacat. Tapi kenapa, kenapa dia meninggalkannya? Walau ia tahu, kesempurnaan hanyalah milik Sang pencipta. Ia hanya ingin menjadi yang terbaik agar seseorang itu tidak pergi. Akhirnya, ia selalu kalah hingga menyerah terhadap takdir hidupnya sendiri.
"Selalu ya, selalu lo sendiri yang mulai, tapi lo juga yang mengubah topik pembicaraan." Legra hanya diam di tempatnya.
"Oke-oke, sekarang apa?"
"Anterin gue ke tempat Ara aja deh, kalau gitu," kata Legra saat sudah mulai membuka mulutnya lagi.
"Dih, lo mau ke kosan cewe gitu?"
"Ke kantornya 'lah, bego."
An tersenyum, tak tau mengapa jika Legra sudah bertemu dengan Ara auranya akan jadi berbeda. Seperti ada sesuatu yang mengantarkannya pada senyuman yang mencapai mata. Meski Legra mudah tersenyum pada orang lain, tetapi bukan berarti yang ia berikan selalu senyuman terbaik bukan? Entahlah, sulit apabila dideskripsikan dengan kata-kata. Harapan An, semoga saja Legra akan sedikit lebih cepat melupakan masa lalunya.
Legra berdiri dari duduknya, mengganti pakaian rumahan yang ia kenakan sekarang. Seperti Ara yang mengatakan bahwa ia akan berbicara banyak jika hatinya merasa aman dengan lawan bicara. Legra juga demikian, ia banyak memiliki cerita untuk dibagikan pada Ara. Legra tidak berbicara penuh basa basi seperti pada orang lain agar topik tidak kering. Dengan Ara, ia memiliki banyak hal yang selalu dapat menjadi cerita.
Setelah sampai di tempat Ara berkerja, Legra melangkah menuju tempat dimana ia sering menjumpai Ara. Tempat tersebut berada di koridor yang berdekatan dengan kantin yang menjual makanan. Pun menurut Legra, banyak sekali makanan kesukaan Ara yang diperjualkan. Tentu ia tahu karena Ara sering jajan di sana. Namun, sesampainya Legra di tempat itu, ia tak menemukan siapa pun. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan saat ini bukan waktu untuk makan siang atau pulang. Pantas saja jika koridor ini hanya ada sepi. Semua orang pasti tengah bekerja, hal yang sama sedang Ara lakukan menurutnya. Kemudian, Legra kembali melangkahkan kakinya menghampiri An yang tadi meninggalkannya terlebih dahulu.
"Loh, kok sendiri. Ara mana?"
"Ini masih jam kerja."
"Tapi nggak ketemu?"
"Enggak."
"Yaudah, gue aja yang cariin kalau gitu," kata An yang melesat pergi. An bahkan meninggalkannya dengan makanan yang masih termakan sedikit. Dasar An, dia selalu mementingkan Legra terlebih dahulu tinimbang dirinya sendiri.
Beruntungnya, kantin itu sedang sepi pengunjung saat ini karena memang belum waktunnya jam makan siang. Hanya beberapa orang yang berkunjung untuk membeli kopi dan minuman lainnya. Tak jarang mereka menatap Legra terang-terangan, kagum lebih tepatnya. Legra berikan sedikit senyuman pada mereka agar terkesan ramah.
Setelah beberapa menit pergi, An kembali menghadap Legra.
"Gra, Ara hari ini enggak masuk. Katanya juga, dia nggak masuk sampai minggu depan."
***
Yang terlihat baik belum tentu baik. Yang terlihat cukup belum tentu cukup. Yang terlihat manis bisa saja rasanya pahit. Bahkan yang terlihat buruk rupa bisa saja memiliki keindahan yang tak bisa digambarkan. Kita tidak bisa memandang sesuatu hal, menilai suatu hal hanya dari sisi luarnya saja. Bagaimana jika penilaianmu salah dan membuat orang lain mempercayai akan penilaianmu itu? Masih lebih baik jika penilaianmu baik, tetapi jika buruk, banyak orang yang tak segan memberikan olokan. Dan sumber itu sendiri adalah dari dirimu.
"Makan terus dari tadi. Kalau gendut tau rasa, loh."
Ara telah memakan roti pukis hingga habis satu lapisan atas di boks makanan. Ara memang suka makan camilan-camilan berat seperti itu. Ia bisa menghabiskan makanan-makanan seperti ini tanpa waktu lama. Ara lebih suka makanan manis ketimbang gurih, walaupun yang gurih tetap ia suka. Anehnya, badan Ara tetap saja kecil meski pun ia makannya banyak. Hanya menambah dalam satuan bobot tanpa terlihat akan badannya yang membesar.
"Biar, enggak ada yang terpengaruh juga."
"Siapa bilang? Kalau gendut 'kan badannya jadi melar. Badan kamu terpengaruh 'kan?" kata Astri tak terima.
"Bodo amat." Ara terus melanjutkan aksi makannya. Astri itu sering sekali menasihatinyauntuk tidak makan di atas kasur, tapi selalu Ara abaikan. Lelah sendiri ia menghadapi satu perempuan ini.
"Kamu mau pulang berapa hari?"
"Belum tau. Mungkin tunggu bapak sembuh dulu baru nanti ke sini lagi."
Bapak Ara sekarang sedang di rawat di rumah sakit karena penyakit yang dideritanya. Ara akan pulang sementara merawat sang bapak sebagai wujud baktinya pada orang tua. Selama menyelesaikan masa pendidikannya itu dulu, ia jarang sekali berada di rumah. Maka inilah saatnya dia beraksi mewujudkan bakti. Dan meskibpun karyawan baru, tak disangka ia mendapatkan izin untuk cuti sebab kinerjanya yang baik itu. Sang atasan pun mengizinkan asalkan tidak terlalu lama.
"Jangan lama-lama, ingat ya, kamu ini masih karyawan 3 bulan loh."
"Iya nggak lama. Aku tau itu."
Ini adalah kesempatannya juga untuk sedikit menjauh dari Legra. Ara tak suka jika dirinya dijadikan bahan pembicaraan oleh orang lain. Ia juga tak mau akan kehadirannya akan membuat hidup Legra sulit karena berita-berita yang tidak benar. Seperti yang dikatakan Astri waktu lalu padanya 'kamera ada dimana-mana'. Semoga keputusannya adalah keputusan yang tepat.
Ara akan melakukannya meskipun sulit. Legra telah memberinya warna kehidupan atas keceriaan yang telah ia bawakan. Legra sebagai orang pertama yang mengajaknya berbicara sebagai seorang teman di sini. Meski pun kata teman itu berawal kata maaf dari tindakannya yang kurang behati-hati. Saat ini ia harus rela melepas ikatan pertemanannya itu. Masih ada Astri yang selalu ada di sampingnya, membantunya kapan pun ia butuh.
"Hati-hati ya, Ra. Akhir tahun nanti kita pulang bareng-bareng."
"Yah, 'kan beda kota," kata Ara.
"Tapi satu kereta," Astri menambahi. Mereka tertawa bersama sebelahnya. Astri menyebalkan menurutnya, tetapi itu yang membuat tali persaudaraan cucu adam dan hawa menguat.
Ara tahu sekarang, Tuhan tak memberinya teman sebaik Astri dulu karena Tuhan ingin Ara menemuinya sekarang. Jika ia mendapatkan seperti Astri dari dulu, mungkin tak ada yang menemaninya di masa-masa sulit akan keberadaannya di tempat orang yang sangat Ara tidak ketahui ini. Ia harus selalu bersyukur akan karunia-Nya. Tidak ada yang lebih indah tidak ada yang lebih baik dari ketentuannya.