Chereads / Perfect Marriage / Chapter 1 - Bagian pertama

Perfect Marriage

RhinYani
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 28.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bagian pertama

Jika boleh bermimpi pernikahan seperti apa yang kau inginkan? Menikah dengan laki-laki yang kau cintai dan yang mencintaimu? Tentu saja.

Tapi bagaimana jika pernikahanmu hanya berdasarkan keterpaksaan.

Apa kau yakin akan bahagia?

Atau berakhir dengan sebuah penderitaan?

Bayangkan jika pria yang menikahimu itu justru menghinamu di malam pertama pernikahan kalian. Malam yang sejatinya ditunggu-tunggu setiap pasangan yang baru saja sah menyatakan ikrar janji suci di hadapan Tuhan dan di hadapan banyak orang.

Malam yang seharusnya

menjadi momen tak terlupakan sepanjang sejarah hidup kalian.

Menyedihkan! Karena semua itu tak terjadi dalam hidupku. Bagaimana lagi, aku hanyalah gadis belian yang terpaksa menikah demi menyelamatkan nyawa ayahku.

Aku Naura Putri Maharani, anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakak laki-laki ku sudah menikah. Aku sendiri sebenarnya baru saja lulus kuliah dua bulan yang lalu.

Kedua kakakku lenyap bagai di telan bumi setelah mereka memilih pergi mengikuti keinginan para istrinya untuk mengadu nasib di kota besar.

Dan aku, aku datang ke kota ini untuk mencari kedua kakakku.

Bukan karena aku merindukannya, kamus rindu sudah tenggelam sejak aku tak lagi bisa menghubungi mereka berdua.

Kedua kakak yang selalu menjadi panutan hidup-ku nyatanya hanya menorehkan rasa kecewa di benakku.

Aku melihat dengan mata kepala-ku sendiri saat ayah ibuku menangisi nasib mereka yang kurang beruntung itu. Harus memiliki anak yang tak tahu balas budi.

Aku bersumpah tidak ingin lagi bertemu dengan mereka yang telah tega mencampakkan aku dan orangtuaku. Jika saja sekarang ayahku tidak sedang sekarat mana mungkin aku mau capek-capek mencari keberadaan mereka.

Ayahku yang sakit keras harus di rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Penyakit komplikasi jantungnya harus mendapat perawatan yang lebih intensif di rumah sakit yang memadai segala peralatan canggihnya.

Dan di sinilah kami berada, aku memutuskan untuk mencari keberadaan kedua kakakku di kota ini, mungkin saja aku bertemu mereka, bukan. Tidak ada yang mustahil di dunia ini jika Tuhan sudah berkehendak.

Aku mencari mereka untuk meminta kesadarannya agar mau sekedar menengok ayahku, ayah mereka juga. Jika masih mereka anggap.

Terlebih aku juga membutuhkan banyak biaya untuk ayah.

Aku yang baru saja lulus kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan rasanya tak sanggup menanggung sendiri beban hidup ini.

Seandainya boleh ku meminta,Tuhan. Dan seandainya bisa

biarkan aku saja yang terbaring di tempat ayah.

Tanpa terasa air mataku mengalir deras.

Ibuku yang juga rapuh, bahkan lebih rapuh dariku tak melepaskan pelukannya.

"Bagaimana ini, Naura? Ibu harus apa? Kau belum dapatkan informasi di mana Raditya dan Rama?" ucap Ibuku yang baru saja menyebut kedua putra durhakanya itu.

"Bagaimana lagi, Bu. Aku sudah mencarinya kemana-mana. Teman yang aku kenal di sini sudah aku datangi tapi, tidak satu pun dari mereka yang tahu keberadaan Kak Radit dan Kak Rama. Teman mereka juga sama, mereka sama sekali tidak memberikan informasi apa pun," jawabku jujur.

Saat kami masih saling merangkul, dari kejauhan aku melihat seorang wanita paruh baya berdiri memerhatikan kami.

Wanita itu seusia ibuku. Tak lama berselang beliau nampak melangkahkan kaki, berjalan mendekati kami.

Tebakanku tentu benar, karena di sini ruang khusus dan tak ada ruangan lagi selain kamar inap ayahku yang paling pojok ini. Di sisi lainnya pun hanya ada ruang perawat tempat mereka beristirahat atau berdiskusi.

Ada ruang dokter juga sih, apa mungkin hanya perasaanku saja wanita itu sebenarnya mau menemui dokter?

Ah entahlah. Namun, tiba-tiba beliau berhenti tepat di belakang punggung ibuku.

"Anita!" sapanya menepuk pundak ibuku.

Aku melepas pelukan ibu, mengusap airmata-ku, begitupun dengan ibu yang mengusap airmatanya.

Ibuku menoleh melihat sumber suara yang menyebutkan namanya tadi.

"Yuli. Kau!" balas ibu. Aku mengernyit heran, bagaimana mungkin ibu bisa mengenal wanita yang menurutku asing. Terlebih lagi dia kelihatan seperti seorang dari kalangan menengah ke atas.

Kali ini mereka berdua tengah duduk dan asik bercengkrama dengan sesekali diselingi isak tangis ibuku. Kadang juga ibu terlihat mengukir senyum dan tertawa kecil.

"Aku tidak tahu di mana kedua anak laki-laki ku berada, setelah menikah mereka hanya sesekali menengok. Kalau boleh aku meminta tolong, untuk mencari tahu keberadaan Rama dan Radit." Itu yang kudengar dari percakapan mereka.

"Tega sekali mereka itu, apa dia tidak tahu bagaimana ayahnya sekarang?" Tanggapan yang memang sewajarnya keluar dari mulut seorang ibu, termasuk teman ibu yang benama Yuli itu.

Bagaimanapun tidak ada mantan ibu atau ayah.

Aku pun akhirnya baru tahu jika ternyata mereka sudah berteman sejak kecil.

Sudah lama pula tidak saling bersitatap karena ibu memilih tetap tinggal di kampung halaman. Sementara wanita bernama Yuli sangat beruntung nasibnya memiliki suami seorang pengusaha kaya raya.

Yang tadi dia sebut namanya Mahardika Wijaya.

Aku pernah mendengar beberapa kali tentang pengusaha terkaya di negri ini, bernama Mahardika Wijaya.

Tak ku sangka jika sekarang nyonya besar itu ada di hadapanku, lebih-lebih lagi mengenal ibuku.

"Dia itu putrimu?" Aku menoleh dari tempat dudukku yang berseberangan dengan ibu juga tante Yuli.

Pantaskah dia ku panggil, 'Tante'?

Atau aku harus memanggilnya, 'Nyonya'? Aku tidak tahu.

Yang aku sadari derajat kami bagai langit dan bumi.

"Iya itu si bungsu, namanya Naura," jawab ibu. Aku pun menghampiri dan mencium punggung tangan wanita ramah itu.

Sungguh aku kagum di balik reputasinya sebagai nyonya pemilik gedung rumah sakit yang sedang aku datangi ini dia tidak terlihat angkuh sedikitpun.

Cara berpakaiannya memang sosialita tapi cara bicaranya lembut, sopan dan sepertinya sangat keibuan.

"Hai Naura! Kamu cantik sekali nak." Dengar, kan. Pujian itu nampak tulus.Tidak di buat-buat.

Pakai sebutan 'Nak' pula sudah seperti pada putrinya sendiri.

"Iya, eum—"

"Tante," tukasnya memotong kalimatku yang ragu hendak memanggil apa. "Panggil saja begitu, tidak usah sungkan." Sepertinya dia mengerti isi pikiranku.

"Baik, tante!" Dia pun tersenyum.

"Masih kuliah atau sudah bekerja, sayang?" Kami mulai berbincang.

"Baru lulus dua bulan lalu tante, lagi nyari-nyari lowongan tapi masih belom dapet," jawabku. Betapa terharunya aku dipanggil sayang olehnya. Serasa beliau benar-benar menganggap aku ini putrinya.

"Kalau boleh tahu, Naura kuliahnya ambil jurusan apa?"

"Akutansi, Tante."

"Wah. Bagus dong kalau jadi menantu Tante kamu bakal pinter ngatur keuangan nanti." Ia terkekeh yang disambut senyuman dari ibu.

Aku menatap heran. Apa maksudnya dengan, menantu? Batinku.

"Rendra atau Bima yang belum menikah?" Ibuku bertanya mewakili kebingungan-ku, ibu menyebutkan dua nama yang terdengar asing bagiku.

"Rendra belum, entahlah anak itu susah diatur. Sampe pusing kalau lihat kelakuannya yang semaunya sendiri. Sementara Bima, dia belum ... lagi." Jawaban membingungkan yang keluar dari mulut tante Yuli. Ia terkekeh menatapku yang seolah tak mengerti, dan aku memang tidak paham.

"Tante punya dua anak. Anak pertama tante namanya Rendra dia masih lajang. Lalu Bima, itu anak kedua tante dia sudah pernah menikah. Tapi—" Tante Yuli seperti berat meneruskan kalimatnya.

"Tapi kenapa sama pernikahan Bima,Yul?" tanya ibuku yang nampak cemas begitu melihat sinar wajah tante Yuli yang meredup kala menceritakan kedua putranya.

"—Perempuan sialan itu pergi bersama selingkuhannya. Aku tidak mengerti dosa apa yang aku lakukan hingga anakku harus bernasib sial seperti ini," imbuhnya, Setetes airmata jatuh di pipi putih tante Yuli, membuatku iba melihatnya.

"Sampai sekarang Bima masih belum bisa melupakan kejadian itu, dia sama sekali belum mengenalkan wanita lain sebagai kekasihnya. Padahal sudah satu tahun berlalu. Aku berusaha membantunya tapi dia tidak mau, belum lagi Rendra yang tidak ingin dilangkahi dua kali tapi tetap tidak ada niatan untuk menikah. Membuatku benar-benar pusing." Tante Yuli semakin memperjelas kisahnya.

Ibuku mengelus pelan pundak tante Yuli, ia terlihat sesak menahan airmata.

Aku yang berinisiatif menyodorkan sebotol air mineral padanya. Disambut dengan baik, senyuman tulus mengembang kembali di bibirnya. Menatapku hangat dan penuh haru.