Chereads / Perfect Marriage / Chapter 4 - Malam pertama

Chapter 4 - Malam pertama

Benar-benar wajahnya seperti malaikat. Membuatku tak dapat berkutik. Apalagi ketika tangannya mulai terangkat mengusap rambutku. Tatapan matanya sulit aku jelaskan. Dia membuatku salah tingkah.

Dengan perasaan berkecamuk aku mencoba meredam suara degup jantungku. Berdebar kencang seakan meronta-ronta meminta keluar dari rongga dadaku ini.

Ya Allah dia mengusap pipiku dan aku hanya mampu terpaku sambil memejamkan mata. Diam mematung tanpa gerakan sedikit pun.

Namun, tunggu! Dia menjambak rambutku dan ....

"Aww!! Sakit,"  rintihku.

Dia mencengkramnya kuat.

Apa ini? Aku hampir menangis.

Sudut mataku mulai berlinang.

"Sakit"

Rintihanku bahkan tidak ia gubris.

Dia kasar.

Belum selesai sampai di sini, aku sudah kembali ia buat terkejut dengan perkataan kotornya.

"Wanita seperti mu yang Mama pilih untukku,Cih!"

Aku melihat dia berdecih jijik di hadapanku. Tepat di depan mataku.

Sorot mata tajamnya seakan menusuk sampai ulu hati, apalagi saat dia mengatakan aku wanita murahan, wanita kotor.

Airmata-ku, aku tak mampu menahannya lagi sekarang. Merangsek memaksa untuk ditumpahkan. Akhirnya aku pun hanya mampu menangis sesegukan. Aku semakin mengeratkan dekapanku di dada. Rasa takut menjalar di seluruh tubuhku. Kaki ini rasanya tak mampu menopang beban tubuhku sendiri. Aku terkulai jatuh di atas lantai.

Namun, sekali lagi ia tak merasa iba. Tetap memperlakukan ku kasar.

Apa salahku? Batinku yang berkecamuk, memaksa-ku untuk berani menatap bola matanya. Mencari jawaban mengapa ia membenci ku. Aku tak mendapat jawaban apa pun. Hingga aku memilih menunduk lesu.

Dia berjongkok di hadapanku dan mencengkram kedua pipiku dengan satu tangan besarnya. Membuatku mau tak mau mendongakkan kembali kepalaku. Dia mendekatkan wajahnya dan aku refleks memejamkan mataku.

***

Alfarendra POV

Lihat dia, pakaiannya! Mencoba menggodaku dengan baju tipis seperti itu. Aku mulai mengintimidasi suasana di ruangan ini. Hawa ruangan  yang terasa panas dan sesak.

Tidak dapat aku pungkiri jika gadis di hadapanku ini sangat cantik. Bibirnya jika ku kecup pasti terasa manis.

Belum ku lepas tatapanku darinya tiba-tiba kilas ingatan tentang Anita—ibunya—kembali muncul. Hingga membuat emosiku bergejolak hebat.

Rasanya lebih baik lagi jika aku menikahi perempuan yang tulus mencintai-ku daripada menikahi seorang gadis yang mungkin merasa terbebani melakukan semua ini.

Tapi tunggu! Dia ini tahu atau tidak ya jika dirinya itu dijual oleh ibunya sendiri pada mama-ku? Jika dia tahu, dia melakukan ini suka rela atau terpaksa? Atau lebih buruk lagi jika dia sama seperti wanita di luar sana yang memanfaatkan kepolosan wajahnya demi menjerat laki-laki dari keluarga kaya seperti-ku. Kalau benar seperti itu lantas apa bedanya dengan deretan mantanku yang lain.

Aku berjongkok di hadapannya, meneliti setiap ekspresi yang dikeluarkan gadis ini. Usia-nya terbilang masih muda, dua puluh empat tahun.

Harusnya dia baru lulus kuliah dan mulai menikmati hasil kerja kerasnya tetapi miris sekali nasibnya. Dia justru harus terjebak di tempat ini bersama pria seperti-ku. Tawa ku dalam hati kian mengencang tatkala melihat mimik wajahnya yang ketakutan.

Naura! Sepertinya gadis ini memang ketakutan sekali. Sampai-sampai tidak sanggup menatapku .

Dia memejamkan mata, bahkan tangannya berusaha menutupi area dadanya yang terbilang cukup menonjol dan menggoda.

Ku cengkram kedua pipinya dengan tangan kiri ku, memaksanya agar mendongak melihat wajahku. Namun, dia tidak melakukannya.

"Kau tahu kenapa aku membenci mu?"

Saat ku tanyakan itu dia hanya menggeleng.

"Karena kau wanita yang rela menikah karna dibayar."

Pernyataan ku ternyata mampu membuat matanya membulat sempurna.

"Kenapa? Benarkan apa yang aku katakan ini ? Kau itu cuma di beli,tak ubahnya barang."

Tangisan dia cukup menampar perasaanku akan tetapi aku tidak ingin terjebak. Saat suara isak tangisnya makin menjadi, saat itu pula ada suara yang mengganggu kami.

"Rendra. Sayang!" disusul bunyi ketukan pintu.

"Ren! Naura! Sayang."

Sumber suara itu milik Mama ku.Terdengar nada khawatir di balik ucapannya.

"Kalian tidak apa-apa?"

Suara Mama masih belum pergi.

Aku tahu memang begitu jika Mama tengah mencemaskan sesuatu.

"Ada apa sih Ma, ganggu aja!" jawabku tanpa berniat membuka pintu.

"Mama gak malu apa gangguin pengantin baru?"

Aku yakin Mama akan pergi jika mendengar itu dariku.

"Oow, maaf sayang."

Dan benar saja dia sama sekali tidak terdengar lagi suaranya. Setelah sempat terkekeh tadi. Namun, untuk memastikan itu aku kembali memanggilnya.

Jika dia masih ada di depan dan mendengar Naura menangis maka besok pagi aku tidak akan selamat dari omelannya.

"Ma, Mama masih di sana? Ren mau lanjutin nih jangan ganggu yah. Ma!  Mama!"

"I-iya. Iya. Aduh ampun deh gak sabaran si Rendra nih, kasian kan Naura kecapean."

Tuh kan bener Mama masih di sana, untung saja aku panggil lagi, kalau tidak, bisa gawat.

Aku masih berusaha membungkam mulut gadis di depan ku ini, isak tangisnya bisa mengundang curiga jika terdengar siapa saja.

Aku kembali mencengkeram kedua pipinya lalu ku hempaskan begitu saja. Aku melenggang pergi meninggalkan dia yang masih terpuruk di lantai dengan air matanya yang terus mengalir.

Ada desir yang berbeda ku rasa saat dia terisak pilu. Apa aku merasa bersalah?  Ah tidak. Tidak. Harus ku buang jauh-jauh pikiran seperti itu.

Dia hanya sedang memperdaya ku.

***

Naura POV

Betapa aku merasa ini sebuah penghinaan di malam pertama kami. Lihat dia berakting saat ibunya memanggil dari balik pintu.

Ingin rasanya aku berteriak meminta tolong. Namun, apa daya-ku.

"Mama gak malu apa gangguin pengantin baru."

Nampak jelas seringai di bibirnya kala kalimat itu keluar dari mulutnya.

Ren benar aku hanya gadis yang dibeli ibunya untuk bisa menikahi anak sulungnya yang kasar ini. Aku tidak pantas berharap lebih darinya .

Belum lagi saat dia mengatakan akan melanjutkan. Melanjutkan apa?  Menyiksa ku, dia menghempaskan aku hingga kening ku terbentur pinggiran ranjang.

Sakit. Jangan ditanya, kepalaku

terasa pening dan berdenyut. Mungkin juga sudah memar. Meninggalkan jejak keganasan suamiku.

Apa pantas ia ku sebut suami?

Alfarendra, dia seorang pemabuk. Ada banyak botol minuman di kamarnya. Aku tidak percaya ini hidupku sekarang. Berdampingan dengan pria sepertinya. tunggu! Apa aku bisa?

Kucoba terus menguatkan hatiku di setiap detiknya .

Lebih menyedihkan lagi saat dia membiarkan ku tidur bergelar tikar di bawah sana. Oh tuhan akankah aku bahagia kelak? Tetesan bening ini mulai mengucur kembali di pipiku. Menemani malamku hingga waktu semakin larut dan beranjak pagi.

Keesokan harinya aku tergesa membersihkan diri. Tidak ingin menatap wajahnya atau bertemu dengan laki-laki ini. Bukan aku takut tetapi aku tidak sanggup. Entahlah, padahal aku begitu bahagia saat tante Yuli mengajakku bertemu sekali dengannya sebelum pernikahan. Tak dapat kupungkiri dia amatlah tampan, apa ini. Perasaan apa yang menjalar di hatiku. Tolong hentikan Naura! Atau kau akan menyesalinya nanti.

Saat keluar dari bilik kamar mandi, kulihat dia masih tertidur nyenyak. Langkah kaki ku berjingjit menapaki lantai dingin dengan kaki yang masih lembab. Takut -takut aku membangunkannya. Kulirik sekilas saja wajahnya yang benar-benar bagaikan malaikat.

Aku keluar kamar sesaat setelah aku bersiap. Pakaianku benar-benar sudah tersusun di dalam almari. Tidak ada satu pun pakaian lama ku, baju-baju ber- merk kini yang melingkar di tubuhku.

Kubiarkan rambut hitamku tergerai, dengan poni menutupi bagian dahi ku yang memar.

Sengaja kulakukan, agar mama mertua ku tak dapat melihatnya.

Benar saja tidak ada yang memerhatikan luka yang ada pada dahiku ini. Mereka hanya sibuk membahas kebisuanku. Jujur aku memang pendiam. Jarang mengajak orang lain mengobrol jika bukan mereka duluan yang memulai.  Keheningan ku menjadi pembahasan sang mama mertua di dapur. Beliau tengah menyiapkan sarapan bersama dua orang asisten rumah tangga.

"Ini Bi. Menantu saya, lihat! " ucap mama pada mereka. Dua bibi seumuran mungkin dengan ibuku, atau dengan Mama Yuli sendiri. Namun, terlihat biasa dalam kesederhanaannya. Lain tentunya dengan majikannya yang mewah dan berkelas.

"Ah iya nyonya, anda pintar sekali memilihkan calon. Nona sangat cantik," puji bibi yang satu, dia tengah memotong bawang dan karenanya dia menolak saat aku hendak menyalaminya.

"Tuh kan sopan lagi. Maaf Nona tangan Bibi kotor," ucapnya.

"Iya nyonya. Nona sangat cantik. Siapa namanya? " tanya bibi yang satunya lagi beliau tengah membantu mama menggoreng ikan.

Lain halnya, ia menerima uluran tanganku, meski dengan sedikit ragu.

"Tangan bibi bau amis, Non," ucapnya, tetapi aku tetap memaksa.

"Gak apa-apa bi, kan sekalian Naura juga mau ikutan masak. " ucapku, menyebutkan namaku sendiri.

"Oh, jadi namanya Naura ya. Cantik namanya persis seperti orangnya." lagi-lagi kedua bibi ini memujiku.

"Ah Bibi bisa saja, terima kasih Bi," ucapku menanggapi pujian mereka dengan malu-malu.

Saat aku mulai mendekati deretan bahan makanan, Mama meminta ku untuk menunggu saja di meja makan. Aku menolak, lantaran bagiku memasak sudah jadi hobi jadi tidak masalah meski aku harus kotor dan bau dapur.

"Gak apa-apa tante. Naura biasa masak, kok. " Jawabanku sontak membuatnya mendelik, astaga aku baru ingat. Aku menyebutnya tante dan bukan 'Mama'.

"Maksud Naura,Mama." Aku pun tersenyum malu.

"Gitu dong. Sekarang kan kamu bukan hanya menantu Mama tapi juga putri Mama."

Mendengar kalimat itu, bening di mataku seperti merangsek minta keluar. Seandainya suamiku sebaik ibunya, tentu saja aku akan jauh lebih bahagia. Batinku hanya bisa menangis saat mendapatinya justru berbuat kasar semalam.

Mama begitu telaten meski ia terbilang nyonya besar di rumah ini. Punya asisten banyak yang bisa ia suruh ini itu. Namun, beliau justru turun tangan ke dapur dengan tidak mengidahkan pakaian mahal serta parfumnya yang bercampur dengan bau asap dari masakan.

"Mama tuh kalau urusan perut selalu seperti ini. Masak dan nentuin makanan sendiri. Dua bibi membantu yang lain-lain. Harus inget meski kita bisa menyuruh orang lain tapi tugas kita sebagai istri dan ibu juga harus bisa masak. Namanya perempuan," tuturnya panjang lebar di tengah aktivitasnya.

Aku pendengar yang baik, menanggapi ucapan mama dengan menyunggingkan senyum. Tak ingin lagi berlarut dalam kesedihan. Harus yakin dengan hidupku. Ini takdirku dan akan selalu menjadi jalan hidupku tanpa bisa aku mengelak. Aku hanya berharap jika kelak aku akan bahagia.

"Makanya Mama pilih kamu, karena Mama yakin kamu itu wanita yang terbaik untuk anak Mama. Didikan Anita pasti tidak akan salah."

Ucapannya yang begitu yakin, membuatku tersenyum haru. Aku harus bisa buktikan jika perkataannya tentang diriku tidaklah salah.