Chereads / Perfect Marriage / Chapter 6 - Pindah ke Appartemen

Chapter 6 - Pindah ke Appartemen

Naura POV

Malam hari aku mendapat jawaban dari rasa penasaranku pagi tadi. Sekitar pukul sepuluh saat Alfarendra keluar rumah aku menanyakan perihal appartemen yang disebutkannya melalui sambungan telpon kepada ibu mertua-ku. Beliau mengatakan jika, Rendra memang memiliki appartemen baru di kawasan tersebut. Appartemen yang belum pernah ia tempati. Rendra membelinya untuk hadiah pernikahannya dengan kekasihnya yang pergi keluar negri. Namun, begitu aku terhenyak ketika malam ini Rendra mengajakku pindah kesana. Ia bahkan meminta-ku secara baik-baik. Tidak kasar seperti sebelum-sebelumnya.

Ibu mertua-ku sudah membujuk putranya agar pindah esok hari akan tetapi begitulah keras kepalanya Alfarendra. Ia yang bersikukuh untuk pindah malam ini juga. Dengan alasan besok ia harus pergi bekerja pagi-pagi sekali. Akhirnya kami pun mendapatkan izin orangtuanya dengan alasan itu. Appartemen yang katanya tak jauh dari rumah ini. Entahlah, akan tetapi sebagai seorang ibu, mama Yuli tetap saja merasa sedih. Beliau memelukku erat-erat sebelum aku melangkah menuju mobil yang akan membawa-ku bersama suamiku.

"Udah dong Ma, lebay banget sih. Besok juga ketemu lagi kan. Mama bisa maen ke sana," ucap Alfarendra saat melihat mama Yuli tak mau melepaskan pelukannya dariku.

"Rendra." Mama Yuli terdengar merengek di balik pundakku.

"Kamu kok tega sih sama Mama. Mama nih baru aja ngerasain rasanya punya anak perempuan. Kamu sudah mau pisahin Mama sama Naura," imbuhnya masih dengan tersedu-sedu.

"Rendra butuh privasi Ma," jawab Rendra, ia terdengar mengembuskan nafas kasar.

Kalimat itu sukses membuatku semakin bingung. Apakah privasi yang ia maksud adalah kebebasannya untuk menyiksaku. Atau privasi karena dia tidak ingin dokter Restu membelaku. Aku terdiam saat mama melepaskan pelukannya dan menciumi pipiku, apalagi Rendra yang sudah tidak sabaran itu, perlahan menarik lenganku.

Kami berdua sudah duduk di dalam mobil. Mama Yuli sempat mengatakan sesuatu sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan rumahnya.

"Jaga Naura baik-baik. Belajar banyak hal dari kehidupannya supaya kau jadi anak yang berbakti. Paham!" Itu yang kudengar dari mulut ibu mertua-ku. Mengatakan sesuatu yang sepertinya akan sulit Rendra pahami.

Malam itu hanya ada mama Yuli dan papa Mahardika Wijaya yang melepas kepergian kami. Tidak ada dokter Restu di sana. Dia mungkin masih sibuk berkutat dengan tugas dan pasiennya di rumah sakit. Putri semata wayangnya pun sudah tertidur pulas sejak satu jam yang lalu. Almaira Restu Bima Mahardika, putri dokter Restu Bima Mahardika Wijaya adik iparku. Keponakan lucu yang baru dua hari ini aku temui. Ah rasanya berat harus berpisah dengan gadis empat tahun yang super menggemaskan itu. Apalagi jika dia tahu tante yang baru dikenalnya ini sudah pindah bisa dibayangkan jika dia akan heboh. Mengingat dalam dua hari ini saja kami sudah sangat dekat.

Sepanjang perjalanan menuju appartemen tak ada satu pun dari kami berdua yang bicara. Diam membisu seakan sebuah kenyamanan. Aku hanya sibuk menampar jendela kaca. Menilik setiap gedung besar yang kami lewati. Entah seberapa jauh Rendra akan membawaku. Walaupun ia mengatakan jika tempatnya tidak jauh dari rumah tetap saja bagiku ini terlalu lama. Rendra yang fokus menyetir tak sedikitpun menghiraukan kegelisahan ku. Kulirik ia sekilas yang hanya menatap datar dan lurus jalanan yang kami tempuh. Padahal jalanan pun tak macet sama sekali hanya ramai namun tetap lancar. 60km/jam pajero sport putih milik Alfarendra melesat. Rasanya sangat lamban bagiku yang tidak tahu arah mana yang dituju.

"Apa kau lapar?" tanya Rendra di tengah kebisuan. Ia memecah keheningan dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Aku mengangguk pelan. Tak ingin berbohong karena pada kenyataannya aku memang lapar. Saat makan malam di rumah tadi kami justru sibuk berkemas. Aku melewati masakan enak buatan ibu mertua-ku dan ini cukup membuat aku sulit melupakan itu.

Tanpa menanyakan apa pun lagi, Alfarendra sudah memarkirkan mobil di sebuah kafe. Ia pun keluar dari mobilnya lebih dulu sementara aku masih tak bergeming menatap tulisan besar dengan cahaya lampu kerlap-kerlip. Ajaib! Sungguh luar biasa, batinku di saat aku mendapatinya membukakan pintu mobil untukku. Apa aku harus bahagia mendapatkan perlakuan manis darinya? Entahlah.

Sekian detik kemudian kuhapus segala pikiran itu dari otakku. Aku tidak boleh senang terlebih dahulu. Mungkin ini adalah siasatnya untuk menyiksaku di appartemen nanti. Dia menyuruhku banyak makan sebelum dia mengeksekusi-ku. Atau aku tidak akan mendapat makanan dalam waktu yang lama ke depannya.

"Malah bengong ayo di makan. Katanya tadi lapar." Suaranya kembali menyadarkan aku bahwa kini aku tengah berada satu meja dengannya berhadapan dengan makanan yang sudah kami pesan.

Aku pun mulai menyantap apa yang Rendra pesankan. Ia juga nampak menikmatinya. Lahap dan tandas dalam sekejap. Rendra memandangku datar, sorot mata dinginnya yang selalu mampu membuatku membeku dan diam tak berkutik, kali ini berbeda. Dia terlihat lebih hangat tidak seperti biasanya.

Sungguh, jika dia bisa menerima ku, aku akan jadi wanita paling bahagia. Menikahi pria tampan dan berkelas seperti dirinya mungkin dambaan setiap wanita.

Tak ingin berlama-lama aku menatap kedua bola matanya, aku pun menunduk. Membenamkan wajah ku yang mungkin sudah bersemu merah atau bahkan pucat karena tatapannya.

"Sudah kenyang atau kau mau pesan lagi?" Rendra kembali bertanya. Membuat aku terlihat gugup saat menjawab pertanyaannya. Aku pun hanya mampu menggelengkan kepala dengan rasa yang bercampur aduk. Entah sejak kapan dia berubah baik. Aku berharap ini bukan mimpi.

Setelahnya entah apa yang dia lakukan di kasir. Lima belas menit kemudian ia baru kembali dengan menenteng dua plastik berisi box makanan di dalamnya. Dia menyodorkan itu padaku.

"I-ini apa?" tanyaku ragu sembari menerima itu darinya.

"Makanan. Takut tar malem kamu lapar," jawabnya.

Nanti malam, siapa yang akan makan di tengah malam. Kulirik arloji di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Satu jam sejak kami pergi dari rumah dan makan di tempat ini. Entah masih jauh atau tidak yang pasti kami belum sampai ke tujuan.

"Baru jam sebelas, kau mau jalan-jalan sebentar sebelum ke appartemen?" tanyanya padaku.

Jalan-jalan. Tunggu dia benar-benar baik atau sedang bersandiwara. Aku mengernyit heran ke arahnya yang kini kembali berbaik hati membukakan pintu mobil untukku.

"Tidak," jawabku singkat sembari menghempaskan tubuhku ke kursi empuk mobil kesayangan Rendra.

"Aku ngantuk," ucapku pelan, entah dia mendengarnya ataupun tidak yang pasti dia sudah duduk di sampingku sambil tersenyum mencurigakan.

Saat aku hendak meraih tali pengaman dan menguncinya dia pun sigap membantuku. Wajahnya sedikit merapat ke hadapanku bahkan tatapan kami sempat bertemu. Aku menunduk malu sekaligus bingung.

Sebelum akhirnya mobil kembali melesat jauh di atas hamparan hitam berdebu. Cuaca cerah malam ini dengan taburan bintang ditemani cahaya bulan. Alfarendra fokus kembali pada kemudi. Sementara setelahnya aku tidak tahu apalagi yang terjadi.

Rasa kantuk membawaku ke alam bawah sadarku. Aku sepertinya tertidur sangat pulas setelah kenyang mengisi perutku malam tadi. Hingga saat aku terbangun sungguh membuatku terkejut. Aku sudah berada dalam sebuah ruangan. Kamar dengan desain interior yang mewah. Ranjang yang besar serta almari bertengger di sudut ruangan. AC dan televisi juga ada di sana. Sebuah meja rias dan lukisan pun turut hadir menghiasi seisi ruangan kamar. Kamar siapa dan berada di mana, aku tidak tahu dan tidak mengingatnya sama sekali. Apa aku berjalan sendiri ke tempat ini atau. Atau Alfarendra yang menggendongku sampai di sini. Sungguh aku lupa dengan apa yang terjadi semalam.

Saat aku tengah berusaha mengingat apa yang terjadi, Rendra datang dari arah pintu keluar membawa nampan berisi segelas susu hangat dan roti selai. Lagi-lagi tindakannya membuatku heran, bingung, senang,dan takut bercampur aduk.

"Selamat pagi istriku." Bahkan kalimatnya sukses membuat kedua bola mataku hampir melompat dari tempatnya.

Ini dia yangang aneh atau aku yang salah tangkap. Dia betul-betul Rendra atau bukan sih. Apa dia ini kembarannya. Ah mustahil. Memangnya dia punya kembaran.

Dalam keterkejutan, aku hanya mengulas sedikit senyumanku. Menyambut kedatangan suami dan itikad baiknya.