Happy Realding jangan lupa tinggalkan jejak.
Budayakan klik bintang, ya!
***
Naura POV
Apa aku tidak sedang bermimpi? Apa ini nyata? Yang kulihat dan kuterima ini betul-betul terjadi.
Sekian banyak kebingunganku kala melihat perbedaan Alfarendra. Dia tiba-tiba saja begitu baik. Pagi ini, aku mendapatinya membawakan makanan. Konyolnya aku menepuk pipiku sendiri di hadapan dia. Meyakinkan jika aku tidak sedang bermimpi indah.
"Ini nyata istri-ku. Kamu tidak sedang bermimpi."
Rendra sepertinya memahami apa yang tengah kupikirkan. Ia berjalan mendekat setelah menutup rapat pintu kamar. Entah apa yang terjadi semalam, namun kenyataan yang ada saat ini, ialah aku berada di tempat ini, tempat yang menurutku asing.
"Ayo, kau mau sarapan dulu atau mandi?" tanyanya setelah meletakkan nampan di atas meja.
Sedikitpun aku tak bergerak, aku yang duduk bersandar di atas ranjang hanya menatap lurus laki-laki yang tengah menyunggingkan senyumnya padaku. Dia yang kemarin-kemarin nampak menyeramkan kini, tatapannya begitu lembut.
Aku baru bereaksi ketika ia duduk di pinggiran ranjang tempat aku tertidur semalam. Aku mengerjap kecil demi mencerna semuanya. Ini jelas bukan mimpi, batinku. Tetapi, mengapa semua seakan tidak dapat aku percaya?
"A-aku mau mandi dulu." Kupaksakan senyumku meski ribuan tanda tanya memenuhi kepalaku. Biarkan saja Alfarendra bersikap semaunya, toh jika ia benar-benar berubah itu jauh lebih baik.
Aku bukan tipikal orang yang curigaan, jadi kubiarkan dan kuterima saja segala perlakuannya. Entah, itu tulus atau pun tidak.
"Ya sudah, aku tinggal keluar kalau gitu, setelah mandi cepat sarapan, ya? Nanti susunya keburu dingin."
Si irit bicara itu sekarang memperhatikanku layaknya seorang istri.
Tapi, aku kan memang istrinya.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan tempat tidur, masuk ke dalam bilik kamar mandi yang lagi-lagi, ini asing.
Aku memutar kepala demi mencari di mana keberadaan handuk. Ternyata ada di sana, mengait pada Robe hook yang berada tepat di samping bathtub. Begitu aku memasuki ruangan ini aku sudah disambut cermin besar di sisi kirinya. Terdapat wastafel dan soap dispenser juga peralatan kebersihan lainnya. Aku berjalan mendekati bathtub itu lalu menyalakan airnya. Kupilih air hangat karena rasanya pagi ini terlalu dingin. Di sisi kanan dari arah buthtub terdapat shower lalu ada bilik toilet yang terpisahkan oleh kaca buram.
Aku memilih menggosok gigiku terlebih dahulu sembari menunggu air mandi ku siap. Selesai menggosok gigi air pun sudah hampir penuh, kuputar kran dan mematikannya, lalu aku mulai membenamkan tubuh polosku di sana.
Berlama-lama merasai hangatnya air, membuatku rileks, wangi lembut mawar yang dihasilkan dari aroma terapi, membuatku semakin betah berlama-lama di sana.
Hampir setengah jam berlalu, aku baru keluar dari berendam ria, setelah aku menggosokkan sabun ke seluruh tubuhku, aku membilasnya di bawah kucuran air shower.
Ah segarnya.
Tak lupa aku juga memakai sampo. Rambut lusuhku sudah tak terjamah wewangian sejak kemarin. Lima belas menit kemudian aku baru keluar kamar mandi hanya dengan memakai bathrobe.
Langkahku terhenti ketika aku mendapati Rendra tengah tengkurap di atas ranjang, membelakangiku. Dia tidak tidur melainkan tengah asik bermain game di ponselnya.
Aku ragu antara hendak melanjutkan tujuanku mengambil pakaian atau aku harus kembali ke kamar mandi. Aku malu, jika dia mendapatiku hanya memakai ....
Bagaimana jika terulang seperti malam itu, dia menuduhku menggodanya dengan pakaian minim yang entah darimana asalnya.
Dan benar, baru saja aku hendak berbalik, dia sudah lebih dulu menangkap keberadaanku. Menatapku intens dari bawah hingga ke atas. Sumpah demi apa pun tatapannya seakan-akan menguliti tubuhku. Aku lemah, aku memang lemah tak berdaya jika berhadapan dengan sorot matanya.
"Selesai juga akhirnya," ucap Rendra, ia bangkit dari posisinya, lalu seperti hendak melangkah ke arahku.
Baru satu langkah saja ia maju, aku sudah mundur dua langkah ke belakang. Ia tersenyum melihatku. Aku tidak mengerti arti senyuman itu, bukan seringai meledek seperti waktu itu. Bukan pula senyum merendahkan atau mengintimidasi. Entah, tetapi kemudian, ia berbalik. Lega rasanya melihatnya berjalan menuju pintu keluar.
"Cepat pakai baju, ada Mama di luar!"
Eh, dia berbalik lagi ketika aku membuka handuk di kepalaku. Handuk yang membungkus rambut basahku.
"I, iya," jawabku, gugup jadinya, kupikir dia tidak akan menoleh lagi.
Ada Mama, pantes dia baik dan balik lagi buat nunggu aku di sini.
Aku pun bergegas memakai baju lalu menyisir rambut. Dan, wow! Ajaibnya lagi baju-baju ku sudah tersimpan rapi di dalam lemari. Dia yang merapikannya? Tanpa sadar bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman.
Setelah di rasa cukup, aku tidak memakai riasan tebal, hanya krim pelembab dan sedikit polesan liptbalm di bibir. Tidak banyak, karena bibirku memang sudah terlihat pink alami.
Aku pun keluar setelah sebelumnya, aku menenggak segelas susu yang dibawa Rendra tadi, sayangnya itu sudah dingin.
***
"Hai, Ma!" seru ku begitu aku mendapati Mama tengah menonton televisi di ruang tengah. "Maaf, bikin Mama nunggu."
Aku menghambur kepelukannya.
"Gak apa-apa, Sayang." Beliau selalu bersikap lembut, layaknya seorang ibu.
"Tadi Rendra bilang kamu lagi mandi." Seperti kali ini, usapan lembutnya di punggungku, membuatku nyaman.
Kami berdua melepas pelukan, aku kembali menuntun Mama duduk di sofa, depan televisi.
Rendra membawakan kami dua botol air mineral, meletakkannya di atas meja, lalu ia pun duduk di samping Mama.
"Mama nih, sama aku aja tadi datang langsung marah-marah. Giliran sama Naura langsung aja meluk," protesnya, cemburu.
Mama tersenyum, alisnya bertaut melihat tingkah putranya. Aku pun tanpa sadar dibuat mesem oleh kata-katanya.
"Mama, Mama aku atau Mamanya Naura, sih?" Ia mendengus, sembari menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
"Rendra, kayak anak kecil kamu."
Mama menepuk-nepuk pelan lutut putranya.
"Dulu mungkin Mama ini Mama kamu. Tapi, sekarang Mama, ya, Mamanya Naura. Ya, Sayang?" tanyanya beralih melihatku.
"Haha, iya, Ma." Aku tersenyum, namun kutarik lagi senyuman itu ketika netraku bertemu dengan netranya di balik punggung Mama.
Oh jantung. Tidak bisakah organ tubuhku yang satu ini mengerti? Mengapa harus selalu memompa lebih cepat setiap melihat manik matanya?
"Oh, iya, Ma. Maaf lagi lho. Mau nawari sarapan, Naura belom sempet masak apa-apa di sini."
Belum sempat dan belum siap pastinya. Tak ada bahan makanan apa pun mungkin di tempat baru ini.
"Eh, ya, gak apa-apa, kalian kan baru di sini, belum belanja apa-apa juga, iya kan? Lagian, justru Mama ke sini bawain kalian makanan. Tadi mana Ren?" jawab Mama, sekaligus juga menanyakan apa yang ia bawa kepada Rendra.
"Ada di atas meja makan, mau kuambilkan," tawarnya, refleks ia mengangkat tubuhnya.
"Eh, eng-enggak usah, maksudnya, kita sarapan bareng aja di meja makan, yuk!"
Rendra mengangguk setuju, begitu pun dengan Mama.
Kami berjalan beriringan ke meja makan yang letaknya berada di sebelah kiri dari sofa ruang televisi tadi. Tanpa skat pemisah, meja ini memang sudah terlihat dari sana. Sedikit merapat ke jendela appartemen, Rendra menyibak tirai lalu membuka jendela itu. Bias cahaya pagi menerobos masuk, silaunya seakan memberi energi.
Aku meletakkan tiga piring di atas meja, mengambil tiga gelas dan air mineral. Menuangkannya ke gelas-gelas itu. Membuka apa yang ibu mertuaku bawa dari rumahnya. Masakannya yang kemarin malam aku lewatkan.
Akhirnya ada di depan mata. Tanpa sadar aku begitu bersemangat.
"Oh, ya. Kamu gak kerja?" Lagi-lagi aku hanya asal bicara, entah, tetapi itu hanya sekedar pertanyaan untuk mengusir kecanggungan saja saat aku meletakkan makanan di atas piring miliknya.
"Eum, mungkin nanti agak siangan," jawabnya. Ya, dijawab juga ternyata.
"Mending kamu libur aja dulu, Papa gak akan marah juga. Hari ini temani Naura membeli bahan makanan ke supermarket, kamu mau, kan?"
Mama meminta, dan ajaib lagi, Rendra mengangguk. Anggukan kepalanya sukses membuatku sempat menghentikan suapan pertamaku. Speechless aku menatapnya. Sekian detik kemudian barulah aku sadar jika Rendra memang benar menyetujui perintah ibunya.
"Iya, Ma, siap!" Itulah jawabannya, lantang ia mengucapkan itu tanpa keraguan.
Setelahnya kami pun melanjutkan sesi sarapan dengan begitu hikmat.