Naura POV
Hari pertama bagiku menyandang dua status di rumah ini, seorang istri dan menantu. Keluarga ini cukup hangat, terbukti ketika waktu libur akhir pekan seperti sekarang ini. Papa mertuaku ada di rumah mengajak seluruh anggota keluarga berkumpul setelah tadi menyempatkan untuk sarapan bersama.
Rendra, kulihat dia memerhatikanku setiap saat. Entah ini hanya perasaanku saja ataukah memang benar adanya. Mungkinkah dia takut aku mengadukan kejadian semalam hingga ia betah berlama-lama mengobrol sekarang. Kudengar mama mengatakan jika Rendra paling anti kalau sudah urusan kumpul keluarga apalagi membicarakan hal-hal yang tidak penting.
Tebakanku pasti benar, ia bahkan terus melirik posisi poni rambutku yang sesekali tersingkab. Sampai saat aku tidak menyadari tiba-tiba Bima mengatakan sesuatu.
Bima yang aku kenal sebelumnya sebagai dokter Restu. Dokter spesialis jantung yang telah menyelamatkan nyawa ayahku. Dia yang ternyata merupakan adik dari suamiku.
Peringainya kulihat sangat jauh berbanding terbalik dengan kakaknya. Sangat-sangat jauh. Ia yang jeli menangkap sesuatu yang aneh di balik rambutku, dengan santai tanpa rasa canggung ia menyapu poni rambutku hingga luka memar yang ku tutupi terpampang nyata.
"Apa ini? Naura, kamu terluka?" tanya Bima padaku.
Aku yang bingung hendak menjawab apa hanya mampu membisu. Aku melirik sekilas suamiku di sana yang diam, bergeming. Aku sebenarnya ingin
meminta jawaban darinya. Namun, melihatnya seperti itu seakan menunggu jawabanku, aku pun memberanikan diri membuka suara.
"Ini ... Eum, kepentok pintu dokter," jawabku berbohong.
"Kok bisa?" ku lihat dokter Restu melirik kakaknya yang hanya menggedikkan bahu.
"Se-semalam aku ... kepalaku pusing. Pas keluar dari kamar mandi, makanya ini ... kena pintu."
Aku berharap jawaban ku meyakinkan Restu, dokter itu masih saja menatap tak percaya.
Belum lagi mama-nya Rendra yang kini tengah menghujamku dengan tatapan yang tidak biasa, seakan-akan ia juga merasa curiga.
"Kenapa bisa seperti ini
sayang," kata yang keluar dari mulutnya serta dibarengi uluran tangannya yang lembut menyentuh dahi memarku.
Mama Yuli begitu baik, aku berpikir jika aku masih bertahan di sini itu karena ada beliau yang tulus menyayangiku.
"Ini cuma luka kecil kok, Tante ... eh astagfirullah, Mama maksudnya." Lagi-lagi aku salah menyebutnya dengan panggilan 'tante'.
"Naura masih belum terbiasa." Kupaksakan senyumku mengembang di bibirku, menutupi segala rasa di dalam benakku.
"Tapi masa sampai begini sih ... Ren istri kamu terluka kamu diem aja." Tiba-tiba mama mengalihkan ucapannya pada Rendra—putra sulungnya itu— dia yang sedari tadi menatap lurus ke arahku lagi-lagi hanya menggedikkan bahu.
"I-iya," kata pertama yang keluar dari mulutnya. Sangat pelan sehingga membuat wajahku tiba-tiba saja memanas.
Apa sama sekali dia tidak merasa bersalah atas perlakuannya semalam padaku.
"Rendra, jawab yang benar." Itu suara papa mertuaku, beliau yang sedari tadi juga diam akhirnya ikut berbicara.
"Ya, dia bilang juga cuman luka kecil, kan? Gak ada masalah lah, manja banget."
Apalagi memdengar kalimat itu yang keluar selanjutnya membuat mataku perih. Ada tetes bening yang memaksa untuk keluar dan sekuat mungkin aku mencoba menahannya.
"Ren ikut gue ...!"
Dokter Restu—alias Bima adik iparku—dia menarik tangan Rendra.
"Gue mau ngomong bentar sama lo ...." Hanya sebagian itu yang kudengar, selanjutnya mereka menjauh meninggalkan kami yang duduk di sofa ruang tengah.
Kupikir pagi ini kami akan sibuk membahas pernikahan kami kemarin. Karena itu papa mengumpulkan kami semua. Namun, ternyata lain ceritanya hanya karena memar yang terdapat di keningku. Luka yang tak bisa aku sembunyikan.
Setelah ini apa yang akan Rendra lakukan padaku. Dia pasti akan menyiksaku lagi seperti yang terjadi semalam. Atau mungkin lebih dari itu.
Kulangkahkan kaki ku mendekati anak tangga begitu melihat Rendra dan dokter Restu kembali. Dia yang langsung naik ke lantai atas dengan sudut bibir mengeluarkan sedikit darah, membuatku penasaran hingga aku pun mengikutinya.
Apa yang dokter Restu lakukan, mataku menatapnya dengan pertanyaan itu. Namun, tak ku utarakan mengingat apapun itu urusan mereka. Walaupun aku menebak semua pasti ada hubungannya dengan luka ku ini.
Aku menaiki tangga menyusulnya. Sementara dokter Restu, kulihat dia menghampiri mama dan papanya kembali.
Dengan langkah perlahan aku mencoba meyakinkan diri untuk masuk ke kamarnya.
Apa aku akan datang pada masalah yang lebih besar. Mengapa dadaku terasa sesak bahkan sebelum aku membuka pintu. Helaan nafas panjang yang ku lakukan sebelum memegang handle pintu itu. Aku butuh asupan oksigen lebih saat menghadapi Rendra nanti.
Baru saja aku membukanya dan berdiri di ambang pintu, aku menangkap sosok bertelanjang dada tengah menatap cermin dan memunggungi ku.
Aku hendak kembali keluar. Namun, sial tatapan matanya sudah lebih dulu menangkap keberadaan ku dari balik cermin.
"Mau kemana kamu?"
Suaranya yang menggeram seperti singa yang lapar membuatku urung meninggalkan tempat ini.
"A-aku pikir kau tidak suka aku di sini. Karena itu aku akan keluar lagi," ucapku.
Aku berbalik, masuk dan menutup pintu itu perlahan. Langkah kaki ku terkesan ragu mendekatinya.
Hanya itu yang mampu aku katakan untuk menghindarinya.
Bodohnya aku kenapa aku kesini sekarang.
"Kau mau tahu bagaimana aku mendapatkan luka ini, kan?"
Rendra tengah membuka kotak obat, bahkan dia tidak melihatku saat mengatakan hal itu. Masih saja acuh seperti biasanya.
Kaki ku, entah kenapa refleks semakin mendekat. Membantunya membuka kotak obat dan tangan ini begitu saja bergerak menuangkan tetesan alkohol ke kapas. Mengolesnya, mengobati luka itu. Dengan menempelkan kapas ke sudut bibirnya membuatnya sedikit meringis. Namun, ia tetap diam. Merasai tiupan angin yang keluar dari mulutku.
Bukan aku saja yang bingung dengan tindakan ku, Rendra—dia juga tertegun melihatku—melihat apa yang aku lakukan.
Mengobati luka dan bahkan meniupinya agar tak begitu terasa perih.
Dengan teliti dan hati-hati ku obati luka di sudut bibir Alfarendra suamiku. Sekian detik kemudian. Entah kenapa ia sudah menggenggam erat tanganku. Tangan yang tengah memegang kapas beralkohol ini. Ia meremasnya dengan kuat. Kali ini giliran aku yang meringis kesakitan. Bukan hanya itu dia juga merapatkan tubuhnya denganku. Jarak beberapa senti saja dariku. Tubuhku membentur pinggiran meja rias. Beberapa benda seperti botol minyak wangi dan lotion pelembab roboh karena terguncang.
Apa yang laki-laki lakukan? Lagi-lagi menyakiti ku. Sekuat tenaga kutahan tubuhnya yang semakin merapat. Menopang dadanya dengan kedua tanganku. Bulir bening di mataku seakan meminta untuk ditumpahkan. Haruskah aku menangis sekarang? Kupaksakan senyumku hanya agar terlihat kuat.
"Ada hubungan apa kamu sama Bima?" tanyanya padaku penuh penekanan.
Pertanyaan yang membuatku mengernyit tak mengerti. Hubungan? Adik dan kakak iparnya, itu 'kan?
"Kenapa bisa dia seberani itu memukulku cuman untuk membela mu?"
Sebelah tangannya kini mendarat di kedua pipiku. Dia mencengkramnya dengan sangat kuat. Hingga tetesan airmata pun tak bisa lagi aku tahan.
"Kenapa kau tidak tanyakan sendiri padanya. Kenapa malah bertanya padaku?" ucapku dengan sekuat tenaga mendorongnya. Aku melepaskan diri dari cengkraman manusia tidak punya hati di hadapanku ini.
Kuusap airmataku dengan agak kasar. Seraya memilih pergi meninggalkan pria tidak waras itu. Aku memilih berdiri di balkon kamar. Merenung apa yang baru saja terjadi. Ingin rasanya aku mengakhiri pernikahan yang bahkan baru dua hari ini. Apa yang harus aku pertahankan dari Rendra. Selain karena hutang budi ku yang besar pada orangtuanya tak mungkin aku sanggup tuk bertahan.
Ayah, seandainya saja aku punya pilihan lain. Aku tidak ingin ada di sini. Hidup satu atap dengan laki-laki yang tidak menghargai ku. Yang tega menyiksaku, berbuat kasar. Bahkan merampas ciuman pertamaku dengan tatapan jijik. Memanggilku wanita murahan. Menyebutku tak punya harga diri.
Saat aku tengah termenung sendiri. Kudengar Rendra menelpon seseorang. Entah siapa yang ia ajak bicara. Namun, sayup-sayup pembicaraannya tertangkap oleh indera pendengaran ku.
"Siapkan Appartemen di kawasan ... secepatnya! Aku akan pindah kesana."
Penggalan kalimat yang diucapkan Rendra sontak membuatku mengalihkan pandangan padanya. Kuusap pipiku yang basah. Aku mengerjap kecil demi melihat suamiku yang tengah berdiri dengan benda pipih di telinganya. Ia sudah rapih dengan stelan jas formal layaknya seseorang yang hendak pergi bekerja.
Ini weekend kemana dia akan pergi?