Chereads / Perfect Marriage / Chapter 3 - Hari pernikahan

Chapter 3 - Hari pernikahan

Hari naas itu akhirnya datang. Satu minggu setelahnya. Maksudku setelah ayahku pulang dari rumah sakit.

Keluarga kami pulang kerumah tante Yuli. Bukan rumah besarnya melainkan

rumahnya yang lain. Rumah sederhana satu lantai yang bisa ku katakan luasnya sama dengan rumahku di Bandung. Kota tercinta, kampung kelahiranku di sana.

Tante Yuli meminta kami tinggal di rumahnya yang sudah lama kosong. Katanya daripada menyewa rumah lebih baik menempati yang sudah ada, gratis pula. Makin bertambah pula hutang budi keluargaku padanya.

****

Aku masih bisa melihat senyum di bibir laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku. Ia duduk tenang di sampingku menyambut para tamu undangan.

Kebanyakan dari mereka itu terlihat seperti kalangan orang-orang berada.

Mungkin kolega papa mertua atau deretan karyawannya di perusahaan.

Ibu dan ayahku nampak canggung berbaur dengan semua orang asing di sini.

Namun, entah kenapa aku jadi merasa senyum suamiku redup  setelah melihat orangtua-ku. Apa karena mereka miskin? Maksudku kami miskin.

Atau dia malu melihat mertuanya yang duduk di kursi roda. Tetapi itu karena ayahku sakit dan bukannya cacat.

Apa salahnya?

Dia juga menatapku sinis, padahal beberapa jam lalu masih terlihat biasa. Walaupun dingin tapi tidak sedingin sekarang.

Apa ini cuma perasaanku atau memang benar apa yang aku rasakan.

Dan aku tidak mau terlalu larut dengan segala spekulasi yang muncul di otakku. Jadi, ku coba alihkan semua pemikiran itu dengan mengobrol bersama tante Yuli. Eh tidak apa aku sudah boleh memanggilnya mama seperti Rendra yang memanggilnya sebutan itu. Mama. Mama mertua-ku yang baik hati.

***

Alfarendra POV

Dan dengan jengkel aku kembali ke Indonesia setelah satu minggu mengintai kekasihku yang sedang menempuh pendidikan di negara orang.

Menempuh pendidikan? Baginya semua itu hanya alasan saja.

Seharusnya dia sudah lulus tahun ini. Pada kenyataannya skripsi saja masih belum kelar.

Aku putuskan untuk menerima tawaran Mama setelah aku kembali ke Indonesia. Menikahi gadis pilihannya.

Entah mungkin karena Mama terlalu senang, hingga tanpa banyak bertanya apa alasanku tiba-tiba berubah pikiran. Beliau langsung saja meluncur menemui gadis calon istriku itu.

Awalnya aku melihat gadis yang di kenalkan mama padaku lumayan juga. Tak kalah cantik dengan Aleta kekasihku yang berkhianat.

Ya! Dia memang berkhianat. Bahkan di depan mataku sendiri. Aku melihat dia bermesraan dengan seorang pria di baseman appartemen.

"Najis! Perempuan seperti itu yang aku bela-belain. Jauh-jauh aku datang ke tempatnya cuman untuk melihat dia ciuman sama cowok lain. Shit!" umpatku di tengah kesendirian malam itu.

Lebih parahnya lagi setelah itu aku mengikuti mobil yang dikendarai pria itu. Pergi dan berhenti tepat di area sebuah hotel. Mereka seakan sudah terbiasa memesan kamar, hingga dengan mudah keduanya mendapatkan kamar dan masuk begitu saja. Apalagi yang mereka lakukan jika bukan ... ah malas aku untuk sekedar mengingatnya. Hanya membuat hatiku semakin terasa sakit.

Rasanya sudah ingin melayangkan tinju kalau saja aku tak sadar diri sedang berada di mana saat itu.

Pernikahanku akhirnya berlangsung lancar sampai mama mengenalkanku pada dua orang laki-laki dan perempuan.

Laki-laki berkursi roda itu ternyata ayah mertuaku. Namanya Anton.

Dan istrinya, ibu mertuaku beliau bernama Anita.

"Anita!" Mata dan telingaku seakan tak rela mendengar nama itu.

Nama yang sontak membuatku tercengang. Bagaimana mungkin aku menikahi anaknya sekarang.

Kenapa aku baru tahu siapa ibu mertuaku setelah semua rangkaian acara pernikahan selesai.

Seandainya saja belum terjadi, mungkin aku sudah membatalkan pernikahan ini.

Anita! Tiga minggu yang lalu aku mendengar mama-ku meminta uang pada papa sebesar 250 juta untuk diberikan pada wanita bernama Anita.

Uang apa itu? Uang mahar kah?

Sebesar itu? Lalu apa bedanya dengan kekasih kekasihku yang ditolak mama sebelumnya dengan alasan mereka matre.

Aku tarik kembali pendapatku tentang wanita di sampingku ini.

Cih!

Dia yang ternyata wanita murahan, dijual ibunya sendiri demi sejumlah uang.

Wajah polos dan manisnya ternyata palsu. Lihat saja aku akan membuat hidupmu menderita. Janjiku padanya. Siapa tadi namanya?

Naura? Naura Putri Maharani.

Dan mungkin inilah kenapa orang tidak boleh mengambil keputusan saat sedang emosi.

Aku salah, padahal Bima adikku sudah sering mengingatkan ku untuk tidak gegabah. Jangan sampai pernikahanku berjalan tak sesuai harapan seperti pernikahannya di masa lalu.

Namun, kulihat Bima nampak akrab dengan Naura. Sudah saling kenal kah mereka?

Terbesit pertanyaan di otakku namun aku membuangnya jauh-jauh. Tak ingin menanyakan apa pun lagi. Terlanjur kecewa mendapati kenyataan jika ternyata gadis ini hanya gadis belian. Gadis yang dibeli tak ubahnya barang. Entah sudah berapa banyak pria yang menyentuhnya. Mungkin termasuk juga Bima.

Tidak bisa ku sanggah jika adikku itu memang hobi main perempuan kalau otaknya sedang koslet akibat memikirkan mantan istrinya yang kabur dibawa PEBINOR.

Dia itu memang dokter akan tetapi sebagai seorang pria dewasa dia normal. Butuh kasih sayang. Sesekali butuh sentuhan.

Hanya saja untuk menikah dia enggan. Atau mungkin karena aku kakaknya saja belum menikah dan tidak mungkin jika dia harus dua kali melangkahi ku.

Kudengar istriku memanggilnya dokter Restu. Panggilan yang terdengar akrab. Apalagi si Bima itu juga terlihat mengobrol dengan ayahnya.

Benar-benar membuatku semakin jengkel.

***

Naura POV

Malam ini aku sudah berada di sebuah kamar. Melihat ruangan yang cukup luas ini bisa dibandingkan dengan setengah dari luas rumahku. Bayangkan saja seberapa mewahnya kamar seorang putra mahkota seperti Rendra.

Suamiku itu, laki-laki yang tadi siang mengucapkan ijab kabul dengan sangat tegas. Menyebut namaku dengan suaranya yang terbilang seksi. Masya Allah ... dia tampan ternyata seperti pangeran dari negri dongeng yang menikah dengan upik abu seperti diriku. Sejauh ini aku cukup sadar diri. Siapa dia dan siapa aku.

Gemercik air kudengar dari dalam kamar mandi. Dari satu jam yang lalu ia masih belum selesai.

Lama sekali ritualnya itu, padahal laki-laki.

Apa bukan hanya perempuan yang mandinya lama?

Laki-laki juga. Sama.

Aku gelisah malam ini. Apa yang akan terjadi?

"Jangan membayangkan atau kalian bakal senewen sendiri terlebih kalau belum menikah, atau sudah tapi lagi LDR'an, gaya bahasa anak jaman sekarang kan seperti itu," gumamku di tengah kegelisahan.

Ah otakku! Ku pukul sendiri kepala ku. Berusaha mengingatkan diriku sendiri jika aku tidak boleh banyak berharap. Melihatnya tadi sejutek dan sedingin itu membuatku takut membayangkan apa pun yang akan terjadi. Apa mungkin malam ini akan terjadi sejarah. Sejarah tak terlupakan seperti kebanyakan pasangan di luar sana yang sudah resmi menikah.

Jangan bermimpi terlalu tinggi Naura! Atau kau akan jatuh dan sakit nanti.

Ceklek!

Suara handle pintu akhirnya terbuka dan sukses mengagetkanku.

Membuatku terpaku melihat

seseorang keluar, dengan gagahnya hanya memakai handuk yang terlilit di pinggang. Menampakkan pemandangan indah luar biasa.

Susah payah aku menelan saliva-ku.

Mata suci ini ternoda dengan bentuk ciptaan tuhan yang begitu sempurna. Dia berdiri tegak tepat di hadapanku yang sedari tadi mondar mandir demi mengusir kegelisahan.

"Aduh aku harus apa ini, aku kenapa gugup begini ya?" bisik hatiku ketika melihatnya berjalan mendekatiku.

Aku sama sekali tidak mempunyai pengalaman. Baru kali ini mengenal laki-laki dan langsung menikah. Masih mungki jikalau kenal ini, tidak sama sekali. Aku hanya satu kali bertemu dengannya sebelum pernikahan, hanya satu kali. Bayangkan saja betapa asingnya dia bagiku.

Aku masih tidak tahu bagaimana sifatnya. Bagaimana menghadapinya. Mengingat tadi saja dia berubah secepat power ranger.

Di awal dia baik, tenang, senyumnya manis dan indah. Tiba-tiba tanpa alasan yang jelas ia kembali ketus dan dingin Aneh, bukan?

Lalu sekarang dia menatapku dengan senyum misterius yang sulit aku deskripsikan apa maknanya.

Seringai muncul di bibirnya begitu saja, dan dia semakin mendekat merapatkan tubuhnya padaku. Aku mundur perlahan hingga menumbruk tembok di belakangku. Dan ya Tuhan terjebak sudah aku.