Suasana syahdu hutan pohon maple membawa ketenangan tersendiri bagi dua orang muda mudi yang sedang kasmaran itu. Angin semilir yang membuat tubuh menggigil justru terasa hangat pada tubuh mereka masing-masing. Aliran darah yang berdesir ke seluruh tubuh hingga ke kepala membuat tubuh mereka menghangat. Sepasang sejoli itu sedang berciuman mesra.
Memainkan setiap gerakan lidah yang masuk ke dalam rongga mulut yang saling menikmati rasa. Daging berwarna merah muda itu saling menyatu padu bergerak seakan ingin melumat milik pasangannya. Penuh dengan hasrat yang menggebu.
Redita dan Radit berdiri memadu kasih di bawah pohon maple yang sedang menggugurkan daunnya yang mengering. Mantel coklat dan hitam itu tidak lagi berfungsi sebagai penghangat tubuh tapi membakar jiwa muda mereka yang terbakar akan nafsu yang menguasai pikiran mereka.
Radit meningkarkan tangannya di pinggang Redita. Mendekap tubuh ramping wanita itu hingga menempel pada tubuhnya. Sebelah tangannya mulai melucuti syal yang melingkar pada leher sang kekasih. Dia mulai menuruni leher jenjang Redita dengan ciuman bertubi-tubi. Menikmati setiap inchi kulit putih mulusnya. Wanita itu mengerang kegelian lalu kembali naik mencium bibir Redita dengan lembut.
Tiba-tiba terdengar suara lantang seorang pria. Suara yang terdengar tidak asing di telinga Redita. "Nona Redita!"
Antony memanggil Redita. Membuat Radit menghentikan aksinya. Begitupun dengan Redita dengan mata membola mengerling ke arah Antony dan Aron yang berdiri jauh sekita lima meter darinya.
Antony melangkah cepat menghampiri Redita dengan wajah penuh amarah. Aron mengejar sahabatnya dari belakang dengan raut muka yang kebingungan. Entah apa yang membuat Antony marah. Bukankah aktivitas berciuman antara sepasang kekasih itu biasa?
Tangan Antony terulur menarik kuat bahu Radit dari belakang. Membuat kekasih Redita itu terpaksa memutar tubuhnya menghadap wajah Antony. Dengan pandangan beringas, dia memukul wajah Radit kuat-kuat. Tubuh atletis itu terjatuh menghentak tanah yang lembab.
"Radit!" teriak Redita menghampiri kekasihnya yang terjatuh. Kakinya dilipat sebelah setengah bertelut membantu Radit untuk berdiri.
Antony menarik dan membuang napasnya tidak teratur. Embusannya kasar menatap dalam Radit dan Redita bergantian. Redita menoleh ke arah Antony hingga pandangan mata mereka bertemu. Mata wanita itu menyala marah menghampiri Antony hingga jarak mereka begitu dekat. Redita segera mengangkat telapak tangannya menampar pipi Antony hingga memerah. Antony hanya bergeming menyadari dia telah melakukan kesalahan.
"Siapa yang memintamu menghajar Radit?!" teriak Redita kesal.
"Tidak ada, Nona," jawab Antony pelan.
"Mengapa kamu memukulnya? Kamu tahu, dia adalah kekasihku. Apa pun yang ia lakukan terhadapku adalah seizin dariku! Minta maaf padanya!" Suara Redita yang terdengar marah dan lantang membuat pengawalnya itu mau tidak mau harus meminta maaf kepada Radit.
Antonya masih bergeming berdiri di sana. Aron mendekati Redita mencoba mendamaikan hati nona mudanya yang panas itu.
"Nona, saya rasa ini hanya kesalahpahaman. Antony mengira Tuan Radit menyakiti anda jadi dia langsung memukul Tuan Radit tanpa aba-aba," ucap Aron.
Pandangan Redita sontak mengerling ke arah Aron. Air muka wanita itu terlihat tidak suka melihat sang intel mansion Merlin berada di hadapannya. "Kau, Aron. Sebaiknya tidak ikut campur. Siapa yang menyuruhmu mengikutiku sampai sini? Bukankah kau seharusnya berada di kantor mansion?"
"Ehm .... Maaf Nona. Saya yang memaksa Antony untuk ikut mengawasi anda. Saya dengar mafia penculik dari selatan berkeliaran di daerah sini maka saya juga ingin terjun ke lapangan. Setidaknya saya bisa membantu Antony jika itu terjadi." Aron berbohong. Lagi-lagi ia melanggar kode etik mafia Merlin.
Redita terdiam mendengar penuturan Aron. Dia pun tidak bisa melarang mafia ayahnya itu jika menyangkut tugas mengintai atas dasar penyelidikan Aron yang dapat dipertanggungjawabkan dan hanya Aron yang dapat menyelidikinya hingga ikut sampai ke tempatnya sekarang.
Mendengar penuturan sahabatnya yang pintar sekali berbohong, Antony segera menyela dengan mengulurkan tangannya kepada Radit. Dia tidak ingin memperpanjang kebohongan Aron dengan kebohongan lainnya.
"Maafkan saya, Radit," ucap Antony.
Radit membalas uluran tangan itu menatap dingin wajah pria yang memukulnya lalu mengangguk. Pria itu kemudian menoleh kepada sang kekasih.
"Kita pulang saja, Sayang," kata Radit.
Redita mengangguk patuh. Pandangannya tidak beralih sama sekali dari wajah Antony. Wanita itu lalu berkata kepadanya dengan senyum terpaksa, "Antony, kesabaranku sudah habis sekarang. Aku akan meminta Ayah memindahkan divisimu agar kamu tidak perlu repot-repot lagi mengikutiku atau kuminta Ayah memecatmu saja jika kamu sudah bosan menjadi anak buah Ayah."
Antony hanya bergeming tidak menanggapi. Aliran darahnya mengalir deras hingga kepalanya. Marah. Entah mengapa hanya itu yang ia rasakan ketika kerja kerasnya selama ini tidak diapresiasi sama sekali oleh putri Merlin. Tiba-tiba sebuah keberanian muncul dalam dirinya. Pria itu kemudian berteriak kesal.
"Lakukan saja! Saya tidak butuh menjadi pengawal Nona. Bahkan saya tidak ingin menjadi anak buah ayah anda jika bukan karena membalas budi. Sayang sekali Tuan Merlin mempunyai anak menyebalkan seperti anda. Siapa pun yang akan menggantikan saya, pasti tidak akan bertahan lama!"
Redita menunjukkan setengah senyumnya. Dia mengepal gemas jemarinya. Wanita itu mengangkat kepalannya hingga menyisakan jari tengah yang ditujukan kepada Antony seakan menantang.
"Fuck!" serunya.
"Hei, sudahlah!" Radit segera menarik lengan Redita dan membawa gadis itu pergi meninggalkan Antony dan Aron. Antony bergeming tidak menjawab. Mungkin jika orang lain yang melakukan hal itu kepadanya, dia akan langsung mengeluarkan senjatanya dan menembak kepala orang itu.
Aron melangkah mendekati Antony dengan takut-takut. Baru kali ini dia melihat Antony marah sampai-sampai mengeluarkan perkataan seperti itu kepada nona mudanya. Sungguh sangat membuat pria itu terkejut setengah mati. Pria dingin itu bisa berbicara banyak juga.
"An, kau gila! Kau bisa ditembak mati oleh Merlin karena berbicara hal seperti itu kepada putrinya!" seru Aron menampakkan air muka ketakutan.
"Lakukan saja! Toh selama hidupku, inilah duniaku. Semuanya demi Tuan Merlin dan aku tidak takut," sahut Antony pasrah.
Aron menepuk pelan pundak Antony. "Kita pulang saja, An."
Antony melirik arlojinya dan mendapati waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul enam sore. Wajah tampan itu menoleh kepada Aron.
"Ron, aku rasa ini hari terakhirku mengikuti Nona Redita dan aku harus menyelesaikannya dengan baik. Kita ikuti sampai ia pulang ke mansion." Sorot mata tajam itu menatap Redita yang berjalan bergandengan dengan Radit dari kejauhan. Segera, ia melangkah mengekor pasangan kekasih itu berjalan dari belakang.
"Ya, An. Ayo kita selesaikan tugas ini dengan baik. Aku akan membantumu nanti jika Nona Redita mengadu kepada ayahnya secara berlebihan," sahut Aron sambil berjalan mengikuti Antony dari belakang.
Tanpa menengok, Antonya pun menjawab, "Terima kasih, Ron."
Aron menghela napasnya. Pikirannya campur aduk mencemaskan nasib sahabatnya itu. Hubungan antara Redita dan Antony memanas kembali. Dia berjanji akan membantu Antony di depan Merlin jika Antony dihukum karena masalah ini.