Merlin memukul kuat wajah Radit. Tubuh pria tampan itu terdorong ke belakang hampir terjatuh. Semua yang melihat aksi Merlin itu sontak membulatkan mata mereka saking terkejutnya. Antony bergeming tidak bereaksi walau rasa terkejut menghampirinya sekejap. Dia sudah pernah merasakan pukulan Merlin beberapa hari lalu dan itu sangat sakit. Bukan hanya sakit pada wajahnya, tapi hatinya juga merasa terpukul. Jiwa mafia senior tercoreng seketika saat sang bos mafia memukul dirinya karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik.
"Aih ... pasti sakit sekali." Aron menelan ludahnya. Kedua alisnya hampir bertautan terkejut. Dia memegang pipi kanannya seakan-akan ia yang merasakan pukulan itu. Sakit? Tentu saja tidak karena dia tidak merasakannya.
Antony sontak menoleh kepada sahabatnya dengan satu alis yang terangkat lalu menggeleng pelan. "Tidak sesakit itu, Ron," tanggapnya lirih.
"Haish! Tuan Merlin itu sangat kuat. Jago bela diri dan ahli senjata. Pasti pukulannya juga sangat sakit," sahut Aron berbisik dengan semangat.
"Lebih sakit saat kau dianggap tidak bisa menjalankan tugasmu, Ron. Itu yang menghancurkan perasaanku sebagai seorang pengawal Nona Redita," sahut Antony lagi.
"Hei, besok nasibmu akan berubah. Nona Redita tentu akan benar-benar meminta kepada ayahnya agar tidak memakai jasamu lagi, An. Aku harap kau tidak berkecil hati," Aron terkekeh.
Antony hanya diam. Bergeming tidak peduli. Kini hanya pasrah dengan apa yang akan diperintahkan Merlin untuknya.
Pandangan tajam, kembali melihat ke arah Merlin yang menghajar kekasih Redita. Suasana malam menjadi terasa panas walau angin musim gugur membawa semilir udara dingin yang akan membuat tubuh menggigil jika mereka tidak memakai mantel sama sekali. Namun, sepertinya tidak dengan Merlin. Pria tua itu cukup kuat hanya dengan memakai pakaian resminya yang berupa jas dan kemeja hitam.
"Ayah! Hentikan!" Redita berdiri di depan Radit yang terjajar satu meter ke belakang. Menghalau ayahnya yang hendak memukul pria itu lagi.
Elena pun berusaha mencegah Merlin memukul pria itu lebih lanjut. Kedua tangannya memeluk pinggang Merlin dari belakang hingga suaminya tidak kuasa bergerak.
"El, lepaskan aku! Aku masih ingin menghajar pria ini! Bisa-bisanya membuat anakku mengabaikan teleponku sejak tadi!" seru Merlin geram.
"Mer, kamu jangan gila! Dita sudah dewasa. Jika ia mengabaikanmu bukan berarti ia berhenti menyayangimu, Sayang!" balasnya berteriak.
Redita yang melihat kedua orang tuanya bertengkar gara-gara ia langsung berlutut sambil menangis.
"Ayah, Mama ... maafkan aku. I-iya a-aku mengaku salah. Ha-hari ini a-aku sengaja mengabaikan kalian dan An-Antony demi kesenanganku. A-aku bosan menjadi putri ma-mafia yang selalu di-dibelenggu hidupnya oleh kalian. Aku ingin bahagia dengan mencintai seseorang. A-aku pun ingin menikah seperti Kak Judy dan Kak Venda. I-izinkan aku mencintai Radit. Di-dia tidak bersalah sama sekali," jelasnya sambil menangis sesegukan.
Merlin terdiam. Segera menurunkan kepalan tangannya, mendengkus kesal. Pria itu membalik tubuhnya berjalan cepat masuk ke dalam mansion utama. Elena mendekati Redita, meraih kedua tangannya dan membantu wanita itu untuk berdiri. Seketika memberikan sebuah pelukan hangat dari seorang ibu kepada wanita itu. Redita balas memeluk sang ibu masih dengan sedikit tangis yang keluar dari kedua sudut matanya.
Radit menyeka darah yang keluar dari sebelah sudut bibirnya. Memandang Redita yang menangis di pelukan Elena.
"Sebaiknya saya pulang dulu. Semuanya bertengkar gara-gara saya," pamitnya tiba-tiba.
Redita melonggarkan pelukannya menoleh menatap ke belakang. Radit tersenyum tipis memandang sang kekasih.
"Sayang, aku minta maaf atas sikap ayahku," ucapnya kepada Radit. Elena hanya menggeleng pelan. Dia yakin Merlin sebentar lagi akan berbicara melalui saluran megaphone di halaman rumah.
Benar saja ... megaphone itu kembali berbunyi. Terdengar suara wibawa sang ayah, "Redita, Elena, masuk! Dita, sudah Ayah katakan berkali-kali seorang putri mafia tidak boleh meminta maaf!"
"Persetan!" umpat Redita mengarahkan pandangannya kepada megaphone yang ada sengaja ditempel di halaman rumah.
"Putri mafia harus anggun!" Suara ayahnya kembali menekan.
"Up to you, Yah. Aku lelah," sahut Redita kesal. Pandangannya kembali mengarah kepada Radit.
Radit hanya menyunggingkan senyuman kecil. Mendekat ke arah Redita dan membelai puncak kepalanya. "Aku pulang dulu, ya."
Perkataan Radit disambut anggukan Redita dan Elena yang masih ada di sana. Pria itu bergegas melangkah masuk ke dalam mobil dan menginjak gasnya memacu hingga keluar halaman rumah. Redita melambaikan tangan hingga mobil itu tidak terlihat lagi dari pandangan mata.
"Ayo kita masuk, Nak." Elena menggamit tangan Redita mengajaknya masuk ke mansion.
Tidak menjawab ajakan sang ibu, pandangan Redita tiba-tiba menoleh lurus ke arah Antony dan Aron yang sedang berdiri mematung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Memandang dengan sinis lalu membuang wajahnya tidak peduli. Seakan-akan menganggap kedua lelaki itu tidak ada di sana.
"Aku harap Ayah segera mengganti Antony," katanya di depan Elena.
"Nanti Mama akan membujuk ayah melakukannya," sahut Elena. "Lalu siapa yang ingin kamu tunjuk untuk menggantikan Antony?' tanya Elena lagi.
"Siapa pun asal jangan dia. Beraninya dia memukul Radit di depan mataku!" dengkusnya kesal.
"Ya, nanti Mama akan bicarakan dengan Ayah. Bagaimana luka di lehermu?"
"Aku rasa sudah mengering. Aku bisa membukanya malam ini."
"Syukurlah."
Mereka berdua melangkah masuk ke dalam pintu utama mansion dan segera beristirahat di dalamnya. Antony dan Aron masih memandang pasangan ibu dan anak itu hingga menghilang dari pandangan mereka.
"Hei, Nona Redita memandang sinis ke arahmu tadi, An. Apa kau menangkapnya?" celetuk Aron.
"Ya, tentu saja. Mataku tidak bisa dibohongi. Dia pasti sudah menyampaikan niatnya untuk menggantikanku."
"Sabar, Antony. Setidaknya Tuan Merlin tidak akan memecatmu. Kau anggota mafia terbaik," sahut Aron menghibur. Menepuk bahu Antony yang menegang sejak tadi.
"Kalau tidak sabar, mungkin aku sudah menembak Radit dengan shotgun tadi."
"Hah?! Kau mau membunuh pria itu?! Aron terkejut.
"Mencium bibir Nona Redita dengan bibirnya membuatku marah, Ron. Kau tahu sendiri, Nona tidak pernah berpacaran. Awas saja jika dia mempermainkan Nona Redita. Benar-benar akan kubunuh dengan shotgunku." Tiba-tiba Antony menjadi marah tidak terkendali. Tidak biasanya ia begitu berapi-api mengancam, melainkan akan langsung membunuh targetnya tanpa kata-kata.
"Kau seperti bukan Antony yang kukenal. Apa kau sedang mengakui perasaanmu sekarang?" Aron menarik dagunya, dahinya berkerut mempertanyakan perasaan Antony.
"Aku tidak mengerti maksudmu. Lebih baik kita ikut Martin melatih para anggota junior di lapangan tembak." Antony mengalihkan pembicaraan. Mengajak Aron pergi ke tempat latihan para mafia junior yang masih berlatih hingga menuju tengah malam.
"O-oke!" sahut Aron patuh. Ia dan Antony lalu berjalan ke arah lapangan tembak Merlin. Melihat aksi para anggota lainnya yang sedang berlatih.
Sesekali mata elang Antony berkeliling memastikan keadaan mansion aman terkendali. Dua orang mafia berjaga di depan pintu utama. Satu orang di bagian penjaga gerbang dan satu lagi di sebuah bangunan menara di area mansion mengintai keamanan mansion dari atas sana.