Antony menatap wajah Redita ragu. Nona mudanya itu tidak pernah berlatih memanah selama ini. Kalau pun ada, wanita itu selalu membolos karena tidak suka. Kebetulan Antony adalah guru yang mengajar para mafia junior menggunakan alat itu.
Redita melirik tajam Antony. Dia memandang pria itu cukup lama. Sebelah alisnya dinaikkan menunggu sang mafia mengambil apelnya dan berdiri di depan papan tembak. Namun Antony bergeming tidak bergerak sama sekali.
"Tunggu apa lagi? Ambil apel itu dan berdiri di sana!" perintah Redita dengan suaranya yang sedikit lantang.
"Mulai hari ini saya bukan pengawal Anda, Nona," ujar Antony membuat mata Redita mendelik kaget padahal ia belum mengatakan kepada sang ayah untuk mengganti sang bodyguard tapi nyatanya Merlin tahu kegalauannya memiliki pengawal seperti Antony.
"Tunggu! Tunggu! Aku tidak mengerti maksudmu. Aku belum meminta apa pun dari ayah untuk menggantikan posisimu." Tangan Redita merentang ke depan. Kelima jari lentiknya menghadang wajah Antony seketika. Nyatanya wanita itu sudah lupa dengan kemarahannya kepada Antony semalam.
"Tapi Nona sudah mengatakannya kepada Nyonya Elena. Tentunya Nyonya yang menyampaikan hal itu kepada Tuan Merlin. Saya sudah dipindahtugaskan ke divisi lain oleh Tuan Merlin. Dan lagi ... bukankah Nona yang menginginkan saya untuk diganti," sahut Antony sangat telak membuat Redita tidak dapat menanggapi perkataan pria tampan itu.
"Ya-ya tapi i-itu 'kan ha-hanya bentuk dari kekesalanku padamu, Antony." Redita menjawab Antony terbata-bata. Nyatanya dia merasa sayang jika pengawal yang sudah mengikutinya selama tujuh tahun ini harus diganti.
"Bagaimana dengan Radit? Bukankah Anda mencintai pria itu hingga sangat marah saat saya memukulnya?" Antony mengalihkan pembicaraan. Matanya sinis dengan seringai senyuman melihat Redita seakan menantang wanita itu.
Redita mendengkus kesal kemudian menatap dalam wajah Antony dan berkata, "Antony, bagaimana bila aku meminta ayah untuk mengembalikan posisimu?"
Kedua alis lebat milik Antony sontak hampir bertemu mendengar perkataan Redita. Sikap wanita itu sungguh membuatnya bingung. Kadang sangat marah dan kadang sangat baik pula. Bukannya ia tidak menghormati Nona mudanya, tapi kali ini Antony mempunyai keputusan yang sudah bulat. Jawabannya sungguh di luar dugaan.
"Sebaiknya Martin yang mengemban tugas mengikuti kegiatan memadu kasih kalian. Saya tidak tertarik." Antony segera membalik badannya pergi dari lapangan tembak itu.
Redita bergeming. Perkataan Antony sungguh menusuk hatinya. Tidak pernah terpikirkan jika laki-laki itu sudah jemu melihat dan menunggu mereka bermesraan. Dia memandang Antony yang berjalan perlahan menjauh darinya. Segera, ia memanggil nama sang bodyguard.
"Antony!' serunya. Dadanya terasa bergemuruh menyingkirkan rasa malu terhadap pria itu. Langkah Antony mendadak terhenti saat mendengar suara Redita yang memanggilnya. "Setidaknya ajarkan aku mengunakan busur panah ini dengan benar," kata Redita lagi memohon kepada Antony.
Pria berpakaian resmi itu pun memutar tubuhnya berbalik arah berjalan menghampiri Redita. Dengan senyum seringainya menyindir Redita, "Saya harap di kelas berikutnya anda dapat ikut berlatih bersama para mafia junior. Kemampuan anda belum cocok untuk memanah apel itu. Bagaimana bila tadi Martin terluka atau terbunuh? Nona akan merasakan penyesalan setengah mati."
Redita menelan ludahnya. Baru saja ia menyadari betapa para anak buah ayahnya pun mempunyai nyawa yang berharga. Apalagi Martin yang sudah sama seniornya dengan Antony. Mereka adalah aset berharga sang ayah.
"Berdiri tegak. Buka kaki selebar bahu lurus dengan papan sasaran tembak. Kencangkan bokong hingga panggul Anda tertarik ke depan. Jangan tegang, Nona! Posisi anda harus kokoh. Buka bahu Anda, dan persiapkan panah dan busurnya," jelasnya seperti saat ia menjadi guru Archery.
"Lalu bagaimana dengan posisi busur dan panahnya, An?" tanya Redita.
Antony kemudian melangkah mendekat tubuh tinggi semampai Redita dari belakang. Memegang bahunya mengarahkan Redita memegang panah dan busurnya dengan benar. Dia tahu benar mata dominan Redita terletak di sebelah kanan. Antony memastikan Redita memegang busur menggunakan tangan kiri dan mengarahkan bahu kiri ke sasaran. Sedangkan anak panah dan tali busur menggunakan tangan kanan Redita. Selama menjelaskan, tanpa sengaja tangan kekar itu menyentuh tubuh Redita dari belakang. Membimbing tangan Redita sampai dengan melepas anak panah hingga melesat mengenai pusat papan tembak dan berhasil.
Redita meloncat kegirangan. Dia memeluk Antony tanpa sadar. "Hei, aku berhasil, Antony! Kau guru yang hebat!" pekiknya.
Pandangan Antony sontak membulat. Redita memeluknya tiba-tiba hingga membuat napasnya ikut tertahan. Wajah tampannya merah merona seketika. Antony bergeming membiarkan Redita memeluk dirinya sesuka hati.
Lama wanita itu tidak juga menyadari sikapnya yang tiba-tiba. Kedua tangannya masih juga melingkar di leher Antony. Memeluk tubuhnya dengan erat. Kalau sudah seperti itu dia benar-benar lupa hubungan antara mereka yang hanya seorang nona dan pengawalnya.
"Ehem." Antony berdeham yang sontak membuat Redita terkesiap. Wanita itu segera melonggarkan pelukannya dari Antony. Redita melengos ke lain arah. Tidak membiarkan Antony melihat wajahnya mungkin sudah memerah malu itu.
Suasana di antara mereka menjadi hening seketika. Antony ikut memalingkan wajahnya. Dia mengerling ke arah papan tembak kemudian menatap Redita yang membelakanginya.
"Ehm, setelah ini Nona bisa mencobanya sendiri. Saya akan memperhatikannya dari sini," ujar Antony.
Redita mengangguk patuh dan mulai melaksanakan yang Antony katakan. Dia menyasar tengah papan kembali dengan sikap sempurna seorang pemanah. Antony memperhatikannya dengan seksama.
Zep!
Busur itu mendarat tepat di tengah. Redita kembali berteriak kegirangan. Tangannya mengangkat ke atas menunjukkan rasa bahagianya yang sudah pandai menggunakan alat itu sesuai arahan Antony. Kegembiraan itu bagai anak kecil yang mendapatkan mainan baru dari kedua orang tuanya.
Antony yang melihat kegembiraan Redita hanya bisa menunjukkan segaris senyuman di wajahnya. Dia menggeleng sambil melipat kedua tangan di dada. Redita sontak mendekati pria itu dan mendaratkan sebuah kecupan manis di pipinya.
"Terima kasih, Antony. Kamu guru terbaik. Terima kasih selama ini menjagaku. Aku mengaku salah terus memarahimu beberapa hari ini. Tapi aku tetap akan mencintai Radit apapun yang terjadi. Kami nanti akan menikah dengan atau tanpa restu Ayah dan Mama," tuturnya riang.
Antony menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan. Dia tidak ingin berdebat lagi dengan Redita. Pria itu hanya mengangguk mengiyakan. Padahal jauh di lubuk hatinya, ia pun masih sangat ragu dengan hubungan yang terjadi di antara Redita dan Radit. Radit terlalu misterius. Dia belum pernah bercerita mengenai dirinya kepada keluarga Redita.
"Aku tahu sebenarnya kamu mendukungku, Antony. Setidaknya jika kamu mendukungku, Ayah juga pasti akan ikut mendukungku karena ia sangat percaya padamu," sahut Redita serius. Memandang mata Radit dengan netra yang berbinar.
"Saya belum tahu, Nona. Tapi lebih baik Nona menikah dengan persetujuan dari Tuan dan Nyonya. Yakinkan mereka, maka mereka akan mendukung apapun yang Nona inginkan."
"Iya, aku akan berusaha. Lalu bagaimana denganmu? Apa kamu akan benar-benar pindah divisi?" Redita menatap penuh harap mata Radit.
"Iya. Semoga menyenangkan melakukan hal yang baru. Saya akan menyelidiki kasus penyerangan Nona Venda dan Tuan Judy."
"Penyerangan? Apa maksudmu, Antony?!" tanya Redita dengan mata membelalak terkejut. Dia tidak tahu sama sekali apa yang sudah menimpa Judy dan Venda.