Antony masih bersama dengan Redita di lapangan tembak mansion Merlin. Menatap bingung wajah Redita. Pria itu tidak tahu bagaimana menyampaikan situasi sebenarnya. Antony tidak sengaja memberi tahu wanita itu kalau Judy dan Venda baru saja diserang oleh penjahat yang entah berasal dari mana. Jika ia mengatakan Venda terluka akibat penyerangan itu, pasti Redita akan meresponnya dengan berlebihan.
"Katakan Antony! Penyerangan seperti apa yang kamu maksud?!" tanya Redita dengan suara sedikit berteriak. "Bagaimana? Bagaimana keadaan mereka?" tanya Redita lagi. Bola matanya menunjukkan kecemasan yang luar biasa.
"Nona Venda terluka. Untungnya Tuan Judy tidak. Mereka selamat dan sekarang berada di mansion Dokter George. Besok saya akan pergi mengunjunginya," jawab Antony. Maniknya matanya menatap Redita dengan serius. Entah apa yang ditunggunya. Manik matanya tidak bisa berbohong. Ia seperti sedang menunggu respon Redita yang melarangnya pergi menyusul pengantin baru itu.
"Pergilah! Kalau perlu lindungi Kak Judy dan Kak Venda. Kau juga bisa meminta tolong Aron untuk menyelidiki siapa dalang dari ini semua." Jawaban Redita mematahkan harapan Antony. Pria itu menganggukkan kepalanya mengerti.
"Saya akan pergi ke ibu kota sebentar. Ada sesuatu yang ingin saya beli." Antony mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Kau tidak perlu meminta izin lagi padaku, 'kan? Sekarang kau bukan penjagaku lagi, An." Redita melengos tidak berani menatap lawan bicaranya. Entah mengapa hatinya merasa berat mengatakan hal itu. Berpisah dari Antony dalam keseharian adalah bukan hal yang biasa. Mereka sudah lama bersama walaupun sebelum Antony, ada Jonathan dan James yang pernah menempati posisinya.
Sayangnya, James sedang ditugaskan Merlin pergi mengurus salah satu bisnis barang-barang terlarangnya ke negara bagian utara Legiland untuk jangka waktu yang cukup lama. Sedangkan Jonathan sekarang fokus kepada pengamanan lingkungan mansion Merlin.
"Ehm ... ya, tapi Nona Redita tetaplah Nona muda yang harus saya hormati bagaimanapun itu. Saya permisi dulu." Antony menundukkan kepalanya memberi hormat dan pergi meninggalkan Redita sendirian.
Redita menggigit bibir bawahnya sedikit kacau. Dirinya merasa tertolak oleh perkataan Antony walau sebenarnya Antony tidak bermaksud seperti itu. Redita segera mengambil busur dan panahnya kembali. Menarik gemas anak panah dan mengarahkannya lurus ke papan tembak.
Zep!
Sekali lagi anak panah itu menancap tepat sasaran. Bukannya kesenangan yang ia dapatkan seperti tadi tapi dia malah merasakan sebuah rasa tidak nyaman yang menguasai hatinya saat ini.
Drrt-drrt-drrt!
Ponsel Redita bergetar. Nama Kak Judy tertera di sana. Wanita itu menarik napas panjang dan membuangnya kasar. Menoleh ke arah ponsel yang ia letakkan di atas meja. Redita membelalak sejenak melihat layar ponselnya. Dia segera menyahut panggilan itu.
"Kakak, bagaimana kabarmu?!" tanyanya panik hampir berteriak.
"Baik, Dit." Judy menjawab pertanyaan Redita dengan santai.
"Kak Venda? Kak Venda bagaimana?!" tanya Redita lagi. Suaranya masih terdengar sangat panik.
"Baik."
"Antony bilang Kak Venda terluka. Apa itu benar? Luka sebelah mana? Apakah parah?" Pertanyaan demi pertanyaan mencecar Judy untuk segera menjawabnya.
"Haaah .... Ternyata sampai juga ke telingamu, ya." Judy mengembuskan napas kasar.
"Ehm ... ya, tentu saja. Bagaimana keadaan kakak ipar?"
"Venda baik-baik saja. Pinggangnya tertembak peluru revolver berkaliber 44. Tapi dia sudah tidak apa-apa."
"Syukurlah. Siapa yang berani berbuat hal seperti itu, Kak?" tanya Redita.
"Kakak belum tahu. Beberapa hari ini kami memang merasa diikuti. Namun kami abaikan karena mereka belum mengganggu. Tidak beberapa lama, mereka menyerang villa kami di pinggir pantai. Menyebalkan sekali mengganggu kami di saat yang tidak tepat," jelas Judy.
"Tidak tepat?" tanya Redita polos.
"Haruskah aku menjelaskan ketidaktepatannya, Adikku?" sahut Judy menekankan kata ketidaktepatan dalam perkataannya.
"Ya sudah kalau tidak ingin menjawab. Haruskah kakak menekan kata itu di telingaku?" Redita mengerucutkan mulutnya.
"Sudahlah tidak usah dibahas." Judy menghindari pembahasan yang sensitif itu. Ia takut Redita akan mengingat pengalaman buruknya.
Mata Redita membola seketika. Sontak tersadar maksud perkataan Judy. Ketidaktepatan yang dimaksud Judy saat itu adalah saat mereka melakukan hubungan intim.
"Astaga! Maaf Kakak, aku bodoh sekali," ucap Redita kemudian teringat suatu pengalaman pahit yang sudah ia kubur dalam-dalam. Setelah mengatakan itu, ia pun terdiam cukup lama.
"Sudah! Tidak usah kamu ingat pengalaman burukmu. Maaf, kalau Kakak mengingatkanmu pada hal itu." Suara Judy terdengar begitu menyesal. Entah apa yang sebenarnya terjadi kepada Redita di masa lalu.
"Iya, Kak," lirih Redita.
"Baiklah, Kakak menelepon hanya karena merindukanmu. Bye."
"Bye, Kak. Salam untuk kakak ipar."
"Iya." Judy lalu memutus panggilannya.
Redita meletakkan ponselnya kembali ke atas nakas lalu mengambil busur panahnya dan kembali berlatih. Namun, ia tidak bisa berkonsentrasi lagi. Sebuah bayangan buruk masa lalu terlintas di pikirannya.
***
Antony mengendarai mobil mansion Merlin masuk ke dalam sebuah butik tas. Dia mencari sebuah tas kecil yang muat jika dimasukkan ponsel dan dompet ke dalam sana.
Antony mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari tas yang cocok untuk si pemakai nantinya. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan adalah untuk siapa dia membeli tas itu, saat ternyata ia masuk ke dalam butik tas wanita.
Tidak ada wanita lain selain Redita dan Rachel di dalam hidupnya. Namun, Rachel sudah menikah. Dia tidak mungkin memberikan sebuah tas kepada istri orang lain. Untuk Redita? Entahlah. Hubungan mereka sedang tidak baik. Ya, setidaknya itu yang dirasakan Antony tapi dia tetap ingin memberikannya sesuatu sebagai kenang-kenangan.
Redita memiliki selera fashion yang tinggi. Diberikan sebuah tas mahal dari butik terkenal akan membuatnya sangat senang dan Antony tahu itu. Maka dia berinisiatif memberikan salah satu jenis benda koleksi Redita.
Antony berjalan menghampiri beberapa tas yang sedang dipajang. Di sampingnya berdiri pasangan pria dan wanita yang juga sedang melihat-lihat tas mahal itu. Dari perawakannya, lelaki itu terlihat tidak asing bagi sang bodyguard tapi tidak dengan wanitanya. Antony tidak mengenalnya. Antony menoleh kepada orang itu dan langsung mengenali Radit bersama wanita cantik yang sedang merangkul pundak wanita itu.
Keduanya sedang melihat tas yang sama dengannya. Kedua tangan Antony tiba-tiba mengepal kuat bersiap memberikan pelajaran. Amarah mendadak datang menguasai hati pria itu. Bagaimana tidak? Radit dan wanita di sampingnya itu terlihat sangat akrab seperti sepasang kekasih.
Pandangan Radit tidak sengaja bertemu dengan Antony saat ia menoleh melihat ke sebelah kirinya. Bola matanya membulat seketika.
"Antony?" katanya meyakinkan pria gagah setinggi seratus delapan puluh tujuh sentimeter di sampingnya yang hanya diam menatap dingin wajahnya. Tidak menjawab sapaan Radit. Radit yang langsung mengerti situasinya segera berujar, "An kenalkan, dia Bella sepupuku." Sebelah tangannya buru-buru lepas dari pundak Bella.
Antony melemaskan kepalan tangannya saat mendengar perkataan Radit. Radit tersenyum dengan wajah yang masih kelihatan membiru akibat pukulan Merlin dan Antony. Bella segera mengulurkan tangannya, mengajak Antony bersalaman.
"Bella," kata wanita itu. Rambut berpotongan sebahu berwarna coklat keemasan menjadi daya tariknya tersendiri selain bentuk tubuhnya yang aduhai layaknya para model terkenal.
Antony menyambut salam Bella. "Antony," katanya.
"Sedang apa kau di sini, An?" tanya Radit dengan seulas senyuman.
"Membeli tas. Apa lagi?" Antony balas bertanya retoris. Menaikkan sebelah alisnya seketika.
"Oh, apa untuk Redita-ku?" Seringai senyuman terbit di wajah Radit seakan sedang menyindir Antony.