Motor sport itu terjatuh di jalan sempit St. Maria 116 dan tepat sepuluh meter di depan mobil sedan hitam Redita. Kendaraan itu menyenggol sebuah pembatas jalan di depannya dan sontak terjatuh dengan posisi menimpa kaki kedua penjahat. Alhasil mereka terjepit dan sedikit meringis kesakitan.
Martin yang melihat mereka buru-buru memarkirkan kendaraannya. Segera, membuka seatbelt dan pintu kemudi. Pria berusia empat puluh tahun itu berlari dengan cepat menghampiri dua orang laki-laki berkacamata hitam yang masih dalam posisi terjatuh dan terjepit motor sportnya. Martin mengeluarkan revolvernya dari balik saku jas.
Redita mengambil tas dan merogoh isi di dalamnya. Sebuah borgol dan senjata yang sama dengan Martin yang selalu ia bawa ke mana-mana sebagai perlindungan diri. Borgol itu digantung pada sabuk yang melilit blouse coklat muda yang membalut tubuhnya.
Redita bergegas turun dari mobil, berlari menyusul Martin. Dia masih mengenakan high heels setinggi tujuh sentimeter tapi gerakannya terlihat begitu lincah karena sudah terlatih. Putri Merlin Darmawan itu memang sudah terbiasa menggunakan sepatu hak tinggi dalam keadaan apapun.
Sementara kedua penjahat itu buru-buru bangun dari posisinya. Segera berdiri dan mengeluarkan senjata api. Dua orang penjahat itu menembak ke arah Martin. Begitupun Martin yang sudah siap dengan senjata di tangannya.
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
Suara tembakan itu terdengar bersahut-sahutan. Kedua penjahat itu memutuskan berlari dengan kecepatan tinggi. Menghindar dari Martin yang mulai membabi buta mencoba mengenai mereka dengan timah panas. Sayangnya, peluru-peluru itu sama-sama tidak mengenai tubuh mereka. Peluru itu meleset mengenai sarana umum di sekitar jalan St. Maria 116.
Melihat keduanya berlari, Martin pun ikut berlari mengejar. Redita mengekor Martin ikut mengejar dan sesekali menembak.
Dor!
Tembakan Redita meleset dan mengenai sebuah pohon sekitar jalan sempit St. Maria. Terdengar dua tembakan lagi dari revolver Martin. Salah satunya berhasil mengenai tepat pada satu kaki salah satu penjahat. Seketika pria itu pun berjalan tertatih. Namun temannya tidak peduli karena terus berlari meninggalkannya.
Martin menghampiri pria itu bersama Redita. Menendang tangannya yang masih memegang senjata.
"Aarrgghh!" erang pria itu meringis kesakitan, seketika melepaskan senjatanya.
"Sakit, ya?" Mata Martin berkilat menanggapi. Tersenyum menyeringai di hadapan pria itu dan menonjok tepat di wajahnya.
"Aaarrrrgh!" pria itu mengerang lagi.
Namun Martin tidak peduli. Sebuah senyuman menakutkan diperlihatkannya. Pria itu lalu setengah membungkuk menatap sang penjahat dan menarik kacamata hitam yang dipakai hingga wajahnya pria itu pun terlihat dengan jelas. Redita meraih ponselnya dan mengambil gambar pria itu. Dua gambar diambil oleh Redita dari depan dan belakangnya.
"Sudah, Nona?" Martin menoleh kepada Redita.
"Ya, Martin."
Tanpa aba-aba Martin menarik kerah baju pria itu lagi, dan bersiap memukul. Redita mengulurkan tangannya ke depan, menyentuh lengan Martin yang sudah mencengkeram kerah sang penjahat.
"Martin! Bagian ini biar aku saja. Kau kejar yang satunya," ujar Redita serius.
Menghela napas, sang bodyguard baru Redita itu hanya mengangguk kemudian berlari kembali mengejar teman satunya. Redita memandang wajah pria yang tidak berdaya di hadapannya. Pria itu kini tidak bisa berdiri.
"Siapa yang menyuruhmu?!" tanyanya serius.
Pria itu bergeming, tidak menjawab. Redita menunjukkan setengah senyumnya. "Berani juga kau?"
Sebuah tendangan memutar diarahkan ke wajahnya. Hak sepatu yang tajam itu tidak sengaja mengenai pipi si penjahat hingga wajahnya tergores dan mengeluarkan darah segar. Kepalanya pun sontak tersungkur di pinggir aspal jalan.
"Kau yang memaksaku melakukan ini. Sialan!" umpatnya.
Redita kembali menyerang pria itu. Menarik kerahnya dan memukulnya dengan telak mengenai perut pria itu. Sekali lagi, dia menendang dengan gerakan memutar. Angin yang berembus kencang tidak membuatnya bergeming. Segera memelintir kedua tangan si penjahat ke belakang. Redita mengambil borgolnya dari saku dan langsung memasang borgol dengan cepat.
Wanita itu kemudian membalik tubuhnya, menyeret pria itu, hendak membawanya pergi menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Pria itu pasrah mengikuti Redita dari belakang.
Tiba-tiba saja sebuah mobil minibus berwarna hitam datang dari arah berlawanan dan mendadak berhenti di depan mereka. Dua orang pria turun dari sana menghadang gadis cantik dan penjahat itu.
Tanpa basa-basi mengepalkan tangannya dan menonjok kuat wajah Redita. Wanita itu pun terjajar beberapa langkah ke belakang. Cengkeramannya terhadap si penjahat terlepas begitu saja.
Menahan sakit di sudut bibirnya, Redita berjalan cepat menghampiri sosok yang membuat wajahnya terluka. Dia balas menonjok tapi orang itu berhasil menangkis dan balas memukul perut Redita.
"Uhuk-uhuk!" Redita terbatuk, memegang perutnya yang sakit.
Di depan matanya dua orang pria itu membawa tawanan Redita masuk ke dalam minibus hitam yang mereka bawa tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Sial, mereka kabur!"
***
Sementara itu, Martin mengejar penjahat satunya. Penjahat itu sepertinya seorang pelari ulung. Beberapa kali Martin sempat kehilangan jejak karena dia berlari begitu cepat. Seperti saat ini, Martin memutar tubuhnya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Teman penjahat yang tadi ditinggal bersama Redita itu seakan hilang ditelan bumi.
Dor!
Sebuah tembakan meleset mengenai bahu belakang Martin dan gagal mencapai jantung sang bodyguard. Pria itu terdorong sedikit ke depan. Ditahannya rasa sakit pada bahunya. Darah segar mulai mengalir dari sana. Martin memutar tubuhnya berlari menuju arah sumber tembakan.
Pria penjahat berkacamata hitam segera menunjukkan dirinya keluar dari gang sempit dekat dengan posisi berdiri Martin. Martin yang melihatnya dengan sigap mengarahkan revolvernya. Menarik pelatuknya hingga timah panas yang terlontar berhasil mengenai dahi si penjahat. Penjahat itu pun langsung tumbang seketika tidak bernyawa.
Martin menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya kasar. Diamatinya jasad itu. Dia membuka setelan jaket kulit hitam yang membalut tubuh kekar si penjahat. Sebuah tato bergambar samurai dan tulisan The Fog Shadow terlihat di lengan kekar pria itu.
"The Fog Shadow ...," gumamnya.
The Fog Shadow adalah salah satu organisasi mafia kecil yang mendiami kota Little City. Sebuah kota satelit kota Little Heaven. Selama ini tidak pernah mencari masalah dengan The Black Shadow—organisasi mafia Merlin, karena mereka berbeda kegiatan bisnis. Dengan kata lain, seharusnya tidak saling berkaitan dan mencampuri urusan masing-masing.
Martin mengambil ponsel dari dalam saku jasnya dan menghubungi Redita.
"Nona bagaimana? Aman?"
"Aku kehilangan pria itu. Dia kabur bersama komplotannya dengan minibus," sahut Redita.
"Lalu Nona, bagaimana? Apa ada yang terluka?" tanya Martin cemas.
"Tidak apa, Martin. Aku hanya sedikit terluka. Bagaimana denganmu?"
"Saya tertembak di bahu dan penjahatnya mati di tangan saya," kata Martin.
"Syukurlah," ucap Redita menghela napas panjang. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan walau pasti Martin akan kehilangan banyak darah.
"Lebih baik kita kembali ke mansion." Martin melirik jasad itu sejenak. "Saya akan segera menemui Nona."
Martin lalu menyudahi teleponnya. Selang beberapa lama kemudian dia datang menghampiri Redita, menyeret jasad pria itu dengan tangannya.