Satu jam sebelumnya di kediaman Merlin ....
Jonathan membuka gerbang mansion setinggi dua belas meter yang melingkupi kediaman keluarga Merlin dan para mafianya. Redita menekan pedal gasnya melajukan kendaraannya masuk ke halaman mansion.
Wanita itu melirik cemas ke arah kursi penumpang. Martin terlihat lemas. Darah yang keluar dari bahunya sudah terlampau banyak dan merembes hingga punggung tegapnya. Padahal ia sudah berusaha menahan darah itu dengan kain kasa yang ada di dalam kotak P3K-nya.
Segera, wanita itu melepaskan sabuk pengamannya. Dia lalu turun dari mobil. Menengok ke arah Jonathan dan berteriak, "Jo, bantu aku!"
Jonathan sontak menoleh ke arah Redita. Berlari ke arahnya dengan air muka bingung. "Ada apa, Nona?"
"Bantu aku memapah Martin. Dia tertembak," perintah Redita.
Jonathan mengangguk patuh. Dia pun meraih tubuh Martin dan membawanya keluar dibantu oleh Redita.
"Astaga! banyak sekali darahnya," ucap Jonathan dengan mata membelalak terkejut.
"Iya, Ayo bawa dia ke klinik. Dokter Anne pasti bisa melakukan sesuatu."
Keduanya kemudian berjalan menuju klinik kesehatan yang terletak di salah satu guest house Merlin. Tempat para mafia melakukan cek kesehatan dan hal-hal yang berhubungan dengan pengobatan dan lainnya.
Kedatangan Redita dan Jonathan disambut oleh Lima orang perawat yang langsung membantunya merebahkan Martin di atas ranjang kosong. Dokter Anne terlihat sangat terkejut saat melihat Redita dan Jonathan. Seketika dia bangkit dari duduknya dan mengarahkan mereka membawa Martin untuk rebah di salah satu ranjang.
"Ada apa ini, Nona? Nona tidak apa-apa?" tanyanya kepada Redita dengan raut muka khawatir. Apalagi melihat penampilan Redita yang terkena banyak noda darah pada pakaiannya.
"Ya, Dok. Aku tidak apa-apa. Tapi Martin, tolong selamatkan dia. Dia tertembak pada bahu belakangnya."
"Astaga! Baiklah aku akan memeriksanya." Dokter Anne langsung memeriksa Martin. "Hei, adakah simpanan kantung darah golongan AB? Aku memerlukannya. Martin kehilangan banyak darah," tanya Dokter Anne kepada salah satu perawat.
"Ada, Dok." Perawat itu bergegas mengambil kantung darah AB untuk Martin.
Dokter Anne kemudian menoleh kepada Redita dan Jonathan. "Aku akan memindahkan Martin ke ruang steril dan melakukan tindakan pembedahan untuk mengambil peluru di dalam tubuhnya."
"Ya, Dok. Lakukan yang terbaik," ucap Redita.
"Pasti."
Redita menghela napas lega melihat Martin akhirnya mendapatkan pertolongan. Dia dan Jonathan pun membalik tubuh mereka meninggalkan klinik.
"Jo, aku membawa jasad seorang pria di mobilku. Dia adalah orang yang menembak Martin. Terserah mau kau apakan. Martin sepertinya sudah mengambil gambar dan barang bukti dari pria itu. Aku mau mandi dulu."
"Baik, Nona!" sahut Jonathan membungkukkan setengah tubuhnya.
Redita pun berjalan menuju pintu utama mansion meninggalkan Jonathan yang akan mengurus jasad pria itu.
"Ck .... Pasti Mama akan sangat terkejut melihat penampilanku," batinnya.
Krek!
Redita melihat ke bawah, ke arah salah satu high heels-nya. Haknya patah tiba-tiba. Dia mengembuskan napas kasar dan membuka sepatunya itu.
"Hah! Apa tidak ada high heels yang awet dan bisa kupakai sekalian untuk berkelahi?" keluhnya seraya mencopot kedua sepatu itu dan melemparnya tepat masuk ke dalam tempat sampah taman.
Redita bertelanjang kaki masuk ke dalam pintu utama mansion dengan cuek. Dia melewati ruang tengah dimana sang ibu sedang merajut sebuah syal di sana. Sontak Elena melirik ke arah sang putri. Jarinya hampir tertusuk melihat penampilan Redita yang berantakan dan bertelanjang kaki. Apalagi melihat blouse coklat mudanya yang memerah terkena noda darah.
Pandangan mata Elena membulat. Dia bangkit dari duduknya menghampiri Redita. "Dita! Apa yang terjadi padamu?!" Suara itu menggelegar hampir memenuhi sekeliling ruang tengah.
Langkah Redita mendadak terhenti. Menoleh ke arah Elena. Ibu kandung Redita itu memperhatikan penampilan putrinya dari ujung kaki hingga kepala.
"Apa yang terjadi padamu? Siapa yang melakukan ini? Mana yang sakit, Nak?" tanyanya dengan nada suara khawatir.
"Nanti aku ceritakan. Aku mandi dulu, Mam," kata Redita kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya. Elena tidak bisa berbuat apa-apa, hanya berdecak kesal ditolak sang putri.
Redita menutup pintu kamarnya. Bersandar di belakang pintu. Lemas. Napasnya pun masih memburu dengan apa yang terjadi hari ini. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Cepat-cepat ia mengambilnya dari dalam tas. Antony memanggil.
Digulirkannya si ibu jari menekan lambang berwarna hijau. (Selanjutnya percakapan mereka sama dengan episode kemarin)
***
Di kantor komisaris Mer Corporation ....
Merlin menelan ludah membaca pesan dari Martin satu jam yang lalu. Martin melapor bahwa ia dan Redita baru saja diserang oleh komplotan mafia The Fog Shadow. Beberapa foto jasad pria dikirimkan kepadanya sebagai barang bukti.
Pria tua itu bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir sedikit kebingungan. Andrew yang berada di dekat Merlin ikut mengernyitkan wajahnya.
"Ada apa, Tuan?" tanya Andrew.
"Saya bingung."
"Kenapa?"
"Belum lama Redita sempat ingin dibunuh di acara reuninya dan sudah diselidiki siapa pelaku itu. Hanya preman-preman biasa yang tidak mau mengakui siapa yang telah memerintahkan mereka. Lalu hari ini Redita kembali diserang bersama Martin. Komplotan The Fog Shadow pelakunya," jelas Merlin dengan sorot mata tajamnya memandang Andrew.
"The Fog Shadow? Saya tidak pernah mendengar organisasi itu. Apa baru?"
"Sebenarnya sudah lama. Organisasi kecil di Little City. Bisnis mereka meliputi pencurian, pembunuhan, dan penculikan. Tidak terlalu terkenal tapi cukup banyak rekam jejak mereka. The Black Shadow pun pernah melakukan hal yang sama tapi semakin ke sini, membesarkan Mer Corporation lebih penting. Yah walaupun tidak semudah itu menjalankan bisnis yang baik. Terkadang juga harus menggunakan kekuatan organisasi mafia."
"Tuan, saya dengar beberapa hari yang lalu Tuan Judy dan istrinya juga sempat diserang. Apa pelakunya adalah komplotan yang sama?"
"Saya belum tahu. Antony belum melapor kepada saya. Seharusnya sekarang ia sudah berada di mansion Dokter George," jawab Merlin kemudian kembali duduk di kursi kebesarannya. Dia lalu melirik ponsel di atas meja dan meraihnya. "Ah, saya akan menanyakannya sekarang." Jemari Merlin mulai menari di papan keyboard ponsel. Dia mengirim pesan WA kepada anak buahnya itu.
Merlin : Apa sudah ada kabar siapa yang menyerang dan menembak anak dan menantuku?
Terkirim!
Tidak lama sebuah balasan datang.
Antony : Tuan Judy belum membahasnya terlalu jauh karena ia menyuruh saya beristirahat lebih dulu.
Merlin : Redita dan Martin baru saja mengalami musibah. Mafia dari The Fog Shadow hampir menembak mereka hari ini.
Terkirim!
Antony tidak membalas pesan terakhirnya. Lama sekali sampai Merlin hampir menggebrak mejanya marah. Pria tua itu paling tidak suka menunggu. Padahal yang ditunggu sedang berbicara dengan putrinya di sambungan telepon.
"Ck .... Apa sih yang sedang ia lakukan?" decak Merlin kesal.
"Sabar, Tuan. Mungkin dia sedang bercakap serius dengan Tuan Judy sekarang," Andrew menenangkan atasannya.
Tidak lama setelah Merlin marah-marah sendiri, pesan balasan datang dari Antony.
Antony : The Fog Shadow? Kita tidak mempunyai hubungan dengan organisasi kecil itu.
Pria tua itu merengut kesal. Menjauhkan ponsel dari hadapannya. Merajuk. Dia tidak membalas lagi pesan dari Antony. Kadang-kadang pria tua juga bisa menjadi seperti anak kecil di usianya.