Redita duduk di meja kerjanya. Memandang layar ponsel dengan penuh harap. Radit tidak membalas pesan terakhir darinya.
"Apa dia marah padaku?" keluhnya lalu mengetikkan pesannya kembali untuk sang kekasih.
Redita : Apa kamu marah padaku, Sayang?
Terkirim!
Lima menit kemudian, pesan itu berbalas.
Radit : Hemm, nanti aku hubungi. Sepertinya aku akan sibuk hari ini. Nanti malam kutelepon, Sayang."
Redita : Baiklah. Aku tunggu.
Setelah membalas pesan itu, ia meletakkan ponselnya kembali di atas meja dan meneruskan pekerjaannya. Tidak lama kemudian, terdengar suara pesan masuk ke layar ponselnya. Pesan dari Silvia.
Silvia : Dit, apa kabar?
Redita mendelik terkejut membaca pesan Silvia. Sahabatnya yang sudah lama tidak menghubunginya karena beberapa waktu lalu diabaikan olehnya dan Radit. Wanita itu segera membalas pesan darinya.
Redita : Baik. Kamu bagaimana?
Terkirim!
Silvia : Apa kamu ada waktu nanti siang? Ayo kita makan siang! Aku ingin berbicara.
Redita : Bisa. Di mana?
Terkirim!
Silvia : Little West Caffee.
Redita : Baik aku tunggu di sana, Sil.
Wanita itu kemudian melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas. Dia menghela napasnya sejenak. Alasan apa yang harus dia sampaikan kepada Merlin jika ingin makan di luar? Martin saat ini tidak bersamanya. Dia masih belum sembuh dan masih dirawat di klinik. Jadi tidak ada yang mengawal Redita sama sekali saat ini. Sedangkan Merlin dikawal oleh salah satu mafia junior bernama Rudolf yang mengikutinya ke mana pun sejak kemarin.
"Andrew ...," ucapnya tiba-tiba teringat akan Andrew. Saat ini ia adalah asisten pribadinya sekaligus asisten Merlin. Sosok pemuda kepercayaan keluarga Merlin yang biasa diandalkan dalam mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu di kantor. Tentu Merlin tidak akan keberatan jika ia pergi dengan Andrew untuk makan siang.
Redita membuka menu kontaknya hendak menelepon Andrew. Belum sempat tersambung, terlihat nama Antony memanggil. Redita menarik dagunya terkejut.
"Ada apa Antony meneleponku?" batinnya seraya memandangi tulisan "Antony memanggil" di layar ponselnya.
***
Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat Judy, Venda, dan Antony baru saja mendarat di bandara kota Little Heaven. Mereka memutuskan kembali ke mansion Merlin setelah Judy bersikeras mengajak sang istri kembali. Judy terlalu khawatir dengan keadaan keluarganya.
Seorang laki-laki berkacamata tampak jenius sedang menunggu di ruang tunggu kedatangan. Terkantuk-kantuk menunggu tiga orang yang penting keluarga Merlin. Aron bersama Pedro, salah seorang mafia junior yang menemaninya berada di sana.
Selang beberapa lama kemudian, Antony, Judy, dan Venda sudah berjalan menuju ruang tunggu kedatangan. Aron mengatakan pada mereka akan menjemput ketiganya di bandara. Antony berjalan lebih dulu dengan pasangan suami istri yang mengekornya dari belakang. Venda menggamit lengan Judy. Terlihat selalu mesra di mana pun mereka berada.
Antony melihat Aron yang sudah terlelap dan mendengkur dari jauh. Pria yang membawa troli berisi koper milik Venda dan Judy itu langsung menghampiri kedua teman sejawatnya. Pedro yang melihat ketiganya sontak berdiri di hadapan mereka memberi hormat setengah menunduk kepada mereka semua. Ketiganya membalas dengan anggukan dan senyum di wajah mereka.
"Ron!" panggil Antony menepuk pundak Aron.
"Lima menit lagi," sahut Aron mengigau. Menepis tangan Antony menjauh.
"Hei, Ron!" panggil Antony lagi. Kali ini menepuk pundaknya lebih keras.
"Heemm," sahutnya tidak peduli dengan mata terus memejam. Terlihat mengantuk sekali. Seperti orang yang habis begadang semalaman suntuk.
Judy dan Venda yang sudah berdiri di dekat Aron hanya tersenyum diagonal melihat mafia intel Merlin itu. Antony menoleh ke arah Judy sambil mengedikkan bahu dan mulut sedikit mencebik tidak tahu mengapa teman sejawatnya terlihat seperti itu.
Judy memijit dahinya sebentar. Sebuah ide muncul dalam benaknya, kemudian berseru tegas, "Ron! Bangun! Tuan Judy kecelakaan!"
Aron sontak terbangun, matanya berkelebat menengok ke sana ke mari. "Mana Tuan Judy?! Tuan Judy!" serunya spontan, seketika berdiri sempurna. Tidak lama kemudian menyadari ada tiga orang yang ia tunggu sedari tadi sudah berdiri di depannya. Mereka memandang Aron dengan kening mengernyit.
Aron terdiam, melirik ke kanan dan kiri tersipu malu. Menjadi pusat perhatian empat orang yang berada di dekatnya.
Venda tiba-tiba menutup mulutnya, terkekeh. Judy langsung menoleh kepada Venda tersenyum. "Kamu senang sekali, Sayang," komentar Judy.
"Aron ... dia lucu sekali," kata Venda dengan tangan masih menggamit lengan kekar Judy.
Wajah Aron sontak merah merona mendengar ucapan Nyonya Mudanya. Judy mengalihkan pandangannya kembali kepada Aron.
"Aron, tadinya saya ingin memberikan kau hukuman karena kau tertidur menunggu kami, tapi karena istri saya sontak tertawa karenamu, saya akan memaafkan," jelas Judy dengan senyum tipis.
Aron mengangguk malu, melirik ke arah Antony yang ikut tersenyum tipis. Tidak lama, semuanya terdiam hingga tercipta suasana hening di antara mereka.
"Ayo kita pulang sekarang, Tuan!" ujar Aron memecahkan suasana hening yang terjadi.
"Ayo!" Judy memberikan troli kopernya kepada Aron. Pria itu kemudian membantu Judy membawakan kopernya sampai dengan pelataran parkir bandara.
Aron memasukkan barang-barang Judy dan Venda ke dalam mobil bertipe MPV itu. Selang beberapa lama, mobil itu sudah melaju cepat membelah jalanan ibu kota.
"Sayang, aku merindukan adik dan Ayahku. Bagaimana kalau kita makan siang bersama mereka sekarang?" ucap Judy tiba-tiba seraya melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul sebelas kurang sepuluh menit.
"Makan siang? Uh, Sayang. Aku sangat lelah. Bisakah kita melakukannya esok hari saja?" tawar Venda.
"Mungkin besok aku yang sibuk. Kamu tahu 'kan kalau aku meninggalkan pekerjaanku sejenak untuk berbulan madu?"
"Ya, tapi tetap saja, Jud. Kamu 'kan masih ada cuti," sahut Venda berkilah.
"Take it or leave it? Kamu sepertinya tidak suka melihatku dekat dengan Redita? Dia adikku. Masa sih kamu cemburu?" Judy mulai protes.
"Bu-bukan cemburu. Hanya saja, aku ingin segera beristirahat." Venda mencebikkan bibirnya. Dia tidak suka dituduh macam-macam.
"Oh ayolah, sebentar saja. Apa kamu tidak lapar?"
"Lapar, sih ...," katanya terlihat berpikir, tidak lama lalu berkata, "okay, kita makan siang dulu." Akhirnya Venda menyerah.
Mendengar jawaban Venda, Judy pun tidak membuang-buang waktunya, takut jika sang istri berubah pikiran. Dia segera memerintahkan Pedro yang saat itu ditugaskan sebagai supir untuk pergi ke kantor Met Corporation.
"Pedro, tolong belok ke gedung Mer Corporation."
"Ya, Tuan."
Judy menoleh kepada Antony yang duduk di belakangnya. "An, telepon Redita. Ajak ia makan siang," perintahnya.
"Ya, Tuan Judy." Pria tampan itu lalu meraih ponselnya dan menghubungi Redita.
Suara nada sambung itu cukup lama terdengar. Entah mengapa Redita tidak langsung menjawabnya. Tapi ketika Antony hampir menutup teleponnya, panggilan itu pun diangkat oleh wanita cantik itu.
"Halo, An," sapa Redita. Suara yang tiba-tiba membuatnya lupa sejenak ia harus mengatakan apa.
Lama Antony tidak menjawab, Redita kembali menyapa, "Halo, An?"
"Nona, ayo kita makan siang!" katanya tiba-tiba.