Kedua pria yang berada di butik itu saling menatap seakan saling menantang tidak mau kalah. Antony terdiam sebentar, berpikir untuk menjawab pertanyaan Radit yang terdengar seperti menjebaknya. Tidak lama dia pun menjawab pertanyaan itu.
"Bukan urusanmu, Radit! Saya tidak mempunyai kewajiban menjawab pertanyaanmu," sahut Antony datar.
"Oh baiklah, jika bukan untuk Redita. Saya hanya menebak. Saya ingatkan kepadamu Antony, Redita milik saya. Jangan meracuninya dengan pemikiran kalian yang ingin memisahkan kami. Toh, kami saling mencintai. Apa lagi yang harus ditakutkan? Saya akan menjadikannya ratu dalam kehidupan kami nantinya," timpal Radit merasa di atas angin. Manik matanya menatap Antony begitu serius. Bella ikut memperhatikan pria dengan tubuh kekar yang berdiri di depannya. Sesekali mata lentik gadis itu beralih kembali mengamati wajah kakak sepupunya, tidak mengerti apa yang sedang terjadi di antara mereka.
"Saya ingatkan untuk tidak menyakiti Nona Redita. Dia masih lugu mengenal cinta. Kalau kau coba-coba menyakiti hatinya, sebuah peluru shotgun tidak segan-segan menembus kepalamu, Radit!" ancam Antony dengan tegas.
Pria itu hanya terkekeh tidak berkata-kata. Sebelah alisnya terangkat seakan meremehkan ancaman sang bodyguard. Dia melangkah mendekat, mendesis di telinga Antony, "Sudah kukatakan akan memperlakukannya sebagai seorang ratu di kehidupan kami." Pria itu kemudian menoleh mengalihkan pandangannya kepada Bella. "Bell, sudah dapat tas yang kau inginkan?"
"Iya, aku mau yang di sana, Kak!" tunjuk Bella ke sebuah tas berkulit buaya yang berada di rak paling atas.
Seorang pramuniaga segera mengambilkan tas itu dan memperlihatkannya kepada Bella dan Radit. Antony mengepal kedua tangannya kuat-kuat. Bergeming sejenak. Urat syaraf rahangnya mengeras, kesal. Niatnya membelikan Redita sebuah tas segera diurungkannya. Antony memutar tubuhnya berjalan menuju pintu keluar butik.
"Hei, An! Kau tidak jadi membelikan kekasihmu tas mahal?!" teriaknya tapi Antony tidak menanggapi. Pria itu berjalan dengan cepat lalu masuk ke dalam mobilnya.
Bella menoleh kepada Radit dengan kerutan bingung di dahinya. "Siapa dia, Kak?" tanya Bella.
"Bodyguard kekasihku." Mata Radit masih memandang ke arah luar sampai pria itu menghilang dari balik pintu.
"Oh ...," jawab Bella mengangguk-angguk.
"Sudah, lupakan dia. Hutangku memberikan hadiah kepadamu sudah lunas, ya. Jangan menagihku lagi. Tas di sini sangat mahal," ucap Radit membuat Bella terkekeh dibuatnya. Dia lalu berjalan mengikuti pramuniaga butik ke meja kasir.
"Kakak, jangan berlebihan. Satu tas berbahan kulit buaya ini tidak akan menguras seluruh kekayaanmu. Belikanlah kekasihmu tas sepertiku. Dia pasti sangat senang."
"Oh ya? Aku perhatikan tas miliknya sangat banyak. Setiap bertemu, dia akan membawa tas yang berbeda dan semua yang ia kenakan adalah barang bermerek. Aku ragu dia belum mempunyai salah satu barang mewah yang ada di sini."
"Oh ayolah Kak, kamu jangan pelit. Seharusnya bagi pewaris Minestone Corp membeli sebuah butik seperti ini juga merupakan hal yang mudah. Masa membelikan benda sepertiku saja Kakak sampai berpikir seribu kali?" Bella tetawa kecil terus menyudutkan Radit. Sementara pria itu membulatkan matanya menatap Bella dengan sebuah cengiran.
"Cerewet sekali! Hei anak kecil, jangan sok tahu!" sahutnya sambil menjitak lembut kepala Bella.
"Haish, Kakak! Kamu menyebalkan sekali!" Bella mengusap kepalanya. Jitakan Radit sebenarnya tidak sakit tapi dia spontan mengelus kepalanya itu.
"Kamu yang menyebalkan. Mana rasa terima kasihmu? Aku sudah membelikanmu hadiah ulang tahun."
"Ya-ya-ya terima kasih, Kakak." Bella tersenyum di hadapan wajah Radit.
Antony masih berada di depan halaman parkir butik. Mobil sedan Merlin belum juga melaju pergi. Pria itu memukul setir mobilnya gemas. Seharusnya dia bisa menahan emosi dan tidak segera pergi dari butik. Radit pasti akan senang jika melihatnya mengalah. Entah mengapa firasatnya mengenai Radit tidak juga membaik. Apa ia sudah melibatkan perasaan lain selain keprofesionalan pekerjaannya sebagai mafia pengawal?
Antony buru-buru melepas sabuk pengamannya, kembali masuk ke dalam butik. Ia harus membeli tas untuk Redita. Saat ia membuka pintu kaca, wajah mereka saling bertemu lagi yang ternyata baru akan keluar dari butik. Tanpa ekspresi tidak memedulikan Radit yang tiba-tiba menunjukkan seringai senyuman untuknya.
"Kau berubah pikiran rupanya," lirihnya tapi Antony tidak menanggapi dan langsung masuk ke dalam butik.
"Ya, aku akan membelikan tas tangan saja untuk Nona," ucapnya dalam hati.
***
Keesokan harinya ....
Redita sudah bersiap memakai pakaian resminya. Hari ini dia akan kembali bekerja di kantor sang Ayah. Bekerja lagi seperti biasanya.
Tok-tok-tok!
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Redita segera membuka pintu. Kosong. Tidak ada orang di sana. Wanita itu melongok ke kanan dan kirinya tapi tidak ada orang sama. Saat ia akan melangkah keluar, tidak sengaja kakinya tersandung sebuah kotak besar berlogo huruf H terkenal.
Matanya sontak membulat melihat kotak itu. Wanita itu segera mengambil dan membawanya masuk ke dalam kamar. Ditaruhnya kotak itu di tepi tempat tidurnya. Dia pun ikut duduk di sana membuka kotak itu.
Sebuah tas tangan terbuat dari kulit buaya, berwarna biru navy ada di depannya. Kedua matanya berbinar melihat benda kesukaannya itu.
"Bagus sekali," katanya spontan. Sebuah kartu menyembul dari dalam kantung terluar.
"Nona Redita, saya tidak tahu selera Anda. Tapi saya harap Nona menyukai tas ini. Pagi ini saya sengaja pergi tanpa pamit ke mansion Dokter George bertemu dengan Tuan Judy dan Nona Venda. Saya hanya bisa menitipkan tas ini kepada Belinda untuk Nona sebagai kenang-kenangan. Maafkan kesalahan yang pernah saya perbuat. Saya pernah menjadi pengawal pribadi yang tentunya punya banyak kesalahan kepada Anda. Sampai bertemu lagi jika Tuhan mengizinkan. Antony."
"Astaga! Antony mengapa dia setega ini terhadapku? Pergi tanpa pamit dan hanya menitipkan benda ini kepada Belinda!"
Redita segera meraih ponselnya dan menghubungi Antony tapi tidak tersambung sama sekali. Ponselnya mati. Mungkin ia masih berada di dalam pesawat dan mematikan alat komunikasi tersebut.
Redita segera bangkit berdiri dari duduknya. Berjalan mencari Belinda—seorang asisten rumah tangga yang terlihat sedang sibuk membersihkan ruang tengah mansion Merlin.
"Belinda!" panggilnya.
Wanita berusia empat puluh tahun itu sontak menoleh ke arah Redita dengan napas tertahan. Sebuah kemoceng coklat masih berada di tangannya.
"Ya-ya, Nona," sahutnya. Pandangan matanya sangat takut menatap Redita yang tiba-tiba mencarinya tapi Belinda segera tahu maksud dan tujuan wanita itu mendatanginya.
"Antony ... di mana dia?" Pandangannya lurus menatap Belinda memancarkan aura kecemasan di wajahnya.
"Di-dia sudah pergi dengan private jet Tuan Merlin, Nona. Maaf saya menaruh benda titipan itu di depan pintu tanpa bertemu muka dengan Nona. Saya takut Nona akan memarahi saya jika tahu saya tidak mencegah Antony pergi tanpa pamit lagi. Antony memang tidak ingin bertemu dengan Nona. Tapi Nona, tugas itu adalah perintah Tuan Merlin dan tidak ada yang berani membantahnya," jawabnya takut. Matanya tidak berani memandang Redita yang terlihat gusar di depannya.
Redita kemudian terdiam. Dia teringat perkataannya kemarin yang memang menyuruh Antony untuk pergi membantu sang kakak menyelidiki kasus penyerangan yang terjadi. Redita tidak berusaha mencegah Antony untuk pergi dan sekarang Redita menyesalinya.
"Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya Belinda ikut cemas melihat Redita yang tiba-tiba saja terdiam.
"Ti-tidak, aku tidak apa-apa, Bel. Teruskan saja pekerjaanmu. Nanti aku akan menghubungi Antony lagi," ucap Redita kemudian pergi dari ruangan itu.