Judy mencium setiap inci tubuh Venda dengan brutal. Sesekali menyesap bibirnya yang ranum. Dia juga menyesap gunung kembar di dadanya. Memainkannya hingga Venda menggelinjang kegelian. Di sebuah sofa bundar berwarna merah marun itu, mereka melakukan hubungan panas percintaan. Vila tempat mereka menghabiskan waktu kali ini adalah vila yang terletak tidak jauh dari tepi pantai.
Panas. Tentu saja panas. Cuaca di luar sangat panas dengan terik matahari yang menjulang tepat di tengah-tengah. Suhu siang itu mencapai empat puluh derajat celcius. Namun, tidak mengurungkan aktivitas bercinta mereka. Walau alat pendingin ruangan itu terus hidup, keringat tetap membasahi mereka.
"Hhnn .... Jud .... Kamu hebat, Sayang!" desis Venda ketika mereka selesai melakukan penyatuan.
"Aku mencintaimu, Sayang," ucap Judy mencium bibir Venda sekali lagi.
"Aku juga mencintaimu." Venda membalas ciuman Judy dengan lembut.
Mereka hampir melakukannya lagi. Namun, Judy tiba-tiba menghentikan hasratnya. Dia merebahkan dirinya tepat di samping Venda. Tubuh mereka sama-sama polos di atas sofa besar itu. Menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar. Venda yang melihat sikap Judy lalu mengernyitkan dahinya sedikit heran.
"Ada apa, Sayang?" tanya Venda khawatir.
"Aku terus kepikiran Redita. Bagaimana keadaannya?" Judy memandang langi-langit kamarnya.
"Kamu bisa meneleponnya, 'kan?"
"Ya. Tapi aku ingin bertemu dengan adikku. Kami tidak pernah berpisah selama ini."
"Kamu membuatku cemburu dengan adikmu." Bibir Venda mengerucut tidak suka.
"Kamu tetap yang utama, Ven. Kamu istriku. Tapi kalau ingat kondisi ayah dan musuh-musuhnya, aku tidak sampai hati meninggalkan mereka walau ada beberapa anak buah ayah yang bisa kuandalkan," tutur Judy lagi.
Belum sempat Venda menanggapi, terdengar suara berisik dari luar. Suara kaca yang pecah akibat ditembakkan oleh sesuatu. Sontak pasangan itu bangkit dari rebahnya dan segera memakai pakaian yang tadi dilepas dan berserakan di lantai.
"Perasaanku tidak enak." Judy mengenakan jaket kulit hitamnya lalu melangkah ke sebuah nakas dan mengambil revolver dan juga shotgun yang ia bawa-bawa ke mana pun ia pergi. Kedua senjata itu di masukkan ke dalam sarung yang ia kaitkan dengan sabuk di pinggang.
"Sayang, mereka menguntit kita sampai sini." Venda mengintip dari balik gorden. Beberapa orang berpakaian hitam menunggu di luar. Sedangkan mereka tidak tahu berapa jumlah total semuanya dan mungkin saja setengahnya sudah masuk ke dalam vila.
Wanita itu memakai jaket kulitnya. Melakukan hal yang sama seperti Judy. Sebagai seorang putri mafia negara Highland, dia pun sudah terlatih dalam memakai senapan berjenis laras panjang.
Pasangan suami istri itu berjalan keluar ruangan. Ruangan belakang vila terlihat kacau balau seperti kapal pecah. Mereka mendapati jendela dan pintu yang terbuat dari kaca itu hancur berantakan karena tembakan tapi suasana di tempat itu begitu sepi. Ke mana para penjahat yang merusak pintu dan jendela mereka?
Venda mengokang senjatanya bersiap menyerang jika sewaktu-waktu orang-orang itu datang. Judy pun melakukan hal yang sama. Langkah mereka pelan begitu waspada. Mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Seorang pria berpakaian hitam dengan kaca mata hitam keluar dari persembunyian. Menembak Ke arah judy. Mata Judy yang berkelebat menangkap bayangan itu, sontak menghindar. Dia menekuk tubuhnya hingga menyiku sembilan puluh derajat ke belakang. Gerakannya terlihat sangat lentur. Peluru itu pun tersasar ke luar lantas mengenai salah satu teman mereka yang baru saja akan masuk ke dalam ruangan vila.
Venda memutar tubuhnya. Senapan di tangan segera diarahkannya kepada sang penembak yang berusaha menembak suaminya.
"Ini ganjaran untuk orang yang ingin membuatku jadi janda!" Beberapa tembakan yang keluar dari senapannya itu melesat mengenai dada lawannya bertubi-tubi hingga ia jatuh tidak bernyawa di lantai. Venda tersenyum senang melihatnya.
Satu orang lainnya keluar dari toilet memukul Judy dari belakang. Terjadi perkelahian di antara mereka. Judy balas melayangkan bogem mentahnya ke perut orang itu lalu memutar tubuhnya menendang orang itu hingga hampir jatuh terkulai di lantai. Salah satu teman mereka mencoba menembak ke arah Judy. Mata Judy dengan sigap menghindari tembakan. Tubuh lawan yang masih dalam kuasanya, ia jadikan tameng sebagai pelindung tubuhnya yang alhasil tembakan itu malah mengenai temannya sendiri hingga mati. Judy melempar mayat itu ke arah teman sejawat lawannya.
Orang yang berusaha menembak Judy itu langsung bersembunyi di sebuah tembok dekat dengan toilet. Judy menghampirinya dan dengan telak menembak kepalanya dengan shotgun.
Sekitar lima orang lainnya mulai masuk ke dalam ruangan vila. Mereka mencoba menyerang Judy dan Venda berkeroyok. Venda mengarahkan senjatanya ke arah mereka, bersiap menembak tapi sayang salah satu dari mereka keburu menembak istri Judy. Peluru melesat mengenai pinggangnya. Judy langsung menghampiri sang istri dan mengajak Venda bersembunyi di balik partisi.
Darah mulai keluar dari pinggang Venda. Mata Judy mendelik marah. Mengeluarkan kedua senjatanya di tangan kanan dan kiri. Dia mengintip menembak dengan brutal ke arah lima orang di depannya. Namun mereka berhasil menghindar dengan bersembunyi di balik tembok ruangan.
Venda yang sedang bersembunyi di balik partisi memegang lukanya yang mulai mengeluarkan banyak darah. Terlihat putus asa. Dia menoleh ke arah Judy yang berada di sampingnya.
"Sayang, kita pergi dari sini. Kita tidak mungkin mengalahkan mereka yang terlalu banyak."
Judy mengangguk setuju. Ia juga khawatir jika Venda kehabisan banyak darah. Segera diambilnya senapan laras panjang Venda dan ia mulai brutal menembak ke segala arah sambil menggamit lengan Venda dan membawanya ke halaman vila. Venda dan Judy masuk ke dalam mobil. Menghidupkan mesinnya dan melesat pergi menjauh dari bangunan vila.
Cuaca di luar tiba-tiba berubah. Langit yang semula sangat terik itu menjadi gelap dan angin mulai berembus kencang menandakan bahwa hujan lebat akan segera turun. Namun, tidak menyurutkan niat mereka untuk kabur dari sana.
Sekitar seratus meter memacu mobil, mobil sedan hitam mengikutinya dari belakang. Judy melihat ke arah spion di sampingnya.
"Shit! Mereka mengikuti kita, Sayang."
Wajah Venda yang menahan sakit segera meraih senapannya. Judy yang melihat itu sontak melarang sang istri.
"Tidak. Jangan lakukan itu! Semakin banyak bergerak, darahmu akan semakin banyak keluar," larang Judy.
"Tapi mereka akan mendahului kita. Jika tertangkap atau dibunuh, kita yang kalah," sahut Venda.
"Aku tidak akan membiarkannya." Judy menginjak pedal gasnya lebih dalam. Menaikkan kecepatan mobil itu di atas rata-rata.
Jantung Venda bergemuruh merasakan mobil yang dipacu dengan kecepatan maksimal menyusuri jalanan pantai yang sepi tidak berpenghuni. Dia menarik pakaian dan merobeknya hingga membentuk sebuah selendang yang lumayan panjang.
"Hei, kamu sedang apa?" Judy melirik aksi Venda. Tangan kekar itu tidak lepas dari setirnya. Mata pun segera fokus kembali ke arah jalan di depannya.
"Aku tidak bisa diam saja!" Venda melilitkan kain itu di pinggang lalu meraih senapannya. Dia menurunkan power window. Mengeluarkan tubuh mungil itu keluar dari jendela mobil, bersiap menembak musuh-musuh di belakangnya.