Kemuning hari ini. Aku ndhak akan menyebutnya kapan, hari apa, tanggal berapa, atau bahkan tahun berapa. Sebab aku bukan Biung, yang akan menulis secara detil apa yang ia alami beberapa tahun silam.
Yang jelas hari ini, adalah minggu ketiga bulan februari. Di mana gerimis selalu menyapa setiap hari. Sama halnya dengan pagi ini. Saat musim pucuk-pucuk daun teh yang segar merongrong untuk segera dipetik. Tapi cuaca ndhak mau mengerti untuk sekadar barang sekejab menampakkan sang mentari.
Kampung ini, sudah ndhak sama seperti dulu, yang kata Biung dan Romo begitu sangat primitif baik pemikiran pun dengan kondisinya. Berkat rumah pintar yang didirikan Biung, serta kepedulian pemerintah, akhirnya adalah beberapa sekolah dasar yang didirikan di Karanganyar. Tentu, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas ndhak lupa mulai dipikirkan juga.
Pula dengan pakaian-pakaian mereka yang dulu lebih menyukai jarik-jarik untuk dijadikan kemben, sehingga dada mulus kaum perempuan termpampang nyata. Kini, mereka lebih suka mengenakan rok, kalau ndhak begitu, daster-daster menjadi pilihan lainnya. Sementara kebaya-kebaya kuno, masih dijunjung tinggi oleh para sesepuh kampung. Menurut mereka, janganlah warisan leluhur dimatikan begitu saja. Kami sebagai orang muda harus melestarikannya. Jujur, aku sependapat. Akan tetapi, tentunya adalah hal-hal yang positif. Ndhak mungkin juga hal-hal tabu harus dibawa sampai sekarang. Kuno, ketinggalan zaman.
"Tadi katanya minta dijemput, kok ya sekarang malah melamun di bancik, toh, Juna?"
Aku memandang asal suara. Paklik Junet, rupanya. Dia adalah anak dari Mbah Romelah, Bulik dari Biungku.
Aku tetap diam, sambil memerhatikan jalanan yang ada di depan rumah pintar. Ya, sekarang aku sedang duduk di rumah pintar. Untuk sekadar menunggu hujan, yang entah kapan rintikannya akan memudar.
Lagi, kupandang jalanan di depan, beberapa pemetik kebun berlarian pulang. Seharusnya, mereka ndhak perlu datang. Sebab hujan lebat, sudah bisa dipastikan akan turun seharian ini. Betapa cemas mereka saat saat tenggoknya kosong. Bahkan, caping sekecil itu diharapkan untuk melindungi tubuh mereka dari basah.
Bisa dilihat dengan jelas, bagaimana tumit-tumit mereka tampak mulus berlarian di tengah hujan. Bahkan, percikan tanah tanah androsol tak bisa menyelimuti tumit indah mereka.
"Apa, toh, yang kamu lihat itu? Bokong semok perempuan-perempuan yang sedang berlarian itu?" tebak Paklik Junet penasaran.
Aku masih diam, sambil mengembuskan napas beratku. Laki-laki yang berdiri di depanku ini, rupanya kental dengan darah bapaknya. Bahkan, Mbah Romelah dibuat menangis karenanya.
Bagaimana endhak, setelah sebulan pernikahannya dengan perempuan di kampung sebelah, dengan enteng Paklik Junet berkata jika dia ndhak mencintai perempuan itu. Padahal kabarnya, perempuan itu tengah hamil muda. Biadab, memang.
"Dari pada melamun terus. Toh, ndhak ada yang memetik daun teh hari ini, bagaimana kalau kita pergi ke warungnya Mbah Marisah saja? Dingin-dingin minum kopi sambil makan ketan, uenak itu!" serunya memberi ide.
Lantas, ia langsung menarik tanganku untuk pergi. Sementara tangan satunya memegangi payung yang Paklik gunakan untuk memayungiku. Seharusnya, dia ndhak perlu seperti ini. Sebab bagaimanapun, dia adalah Paklikku. Keluargaku. Aku yakin, jika Romo dan Biung ada di sini, mereka akan marah besar melihat ini. Melihat seorang Paklik yang merajakan keponakannya sendiri.
"Kamu tahu, Paklik. Untung Romo dan Biung ndhak tinggal di Kemuning. Kalau iya, mati kamu."
"Itu lagi, itu lagi, toh, yang kamu bahas itu, Juna. Sudah kubilang, aku ndhak mencintai Yusri. Kok ya ndhak percaya juga!" bantahnya.
Dia benar-benar laki-laki bangsat. Aku tahu, alasannya meninggalkan istrinya adalah demi seorang janda kampung yang baru seminggu lalu ditinggal mati suami. Warta itu sudah berembus dari mulut ke mulut. Bahkan, Mbah Romelah malu bukan main karenanya. Ya, hanya karena perempuan yang menurut Paklik Junet semok bukan main itu. Memang otak laki-laki, ndhak akan pernah lepas dari ukuran dada dan bokong yang besar.
Bruk!
Aku kaget saat tubuhku tiba-tiba terhuyung kedepan. Kulihat seorang perempuan jatuh beserta caping dan tenggoknya. Roknya sangat lusuh, bahkan bisa dibilang compang-camping. Siapa gerangan perempuan lusuh ndhak tahu diri ini? Apakah di Kemuning masih ada orang-orang tertinggal sepertinya?
"Maaf, Juragan. Saya ndhak sengaja," katanya yang masih dalam posisi jatuh. Dia tampak kesakitan, mungkin itu sebabnya dia ndhak bisa berdiri.
Kutebas kemejaku yang kotor karena ulah perempuan kampung yang ndhak tahu diri itu. Kemudian, aku pergi dan disusul oleh Paklik Junet.
"Kok ndhak kamu tolong, Juna? Ndhak kasihan?" tanya Paklik Junet.
Kupandang ia sekilas kemudian kujawab, "kenapa harus kasihan dengan pengemis sepertinya? Bahkan, bajuku telah kotor karenanya."
"Dia bukan pengemis. Jangan sembarangan kamu ini," bantah Paklik Junet.
Apa ini? Kenapa aku disalahkan atas perempuan yang benar-benar ndhak penting? Mau dia pengemis, mau dia putri keraton, jelas ndhak ada hubungannya denganku.
"Dia istri dari Muri, anak dari Pakdhe Mislan yang kaya itu!" lanjutnya.
Jika perempuan kumal tadi benar adalah istri dari Muri yang terkenal kaya itu, kenapa pakaiannya bisa selusuh itu? Bahkan aku kenal baik dengan suaminya. Yang ke mana pun, ia akan selalau mementingkan penampilan agar tampak sempurna.
***
Sesampainya di warung Mbah Marisah, aku dan Paklik Junet memilih duduk di dalam. Dipan luar sudah penuh sesak dengan para belantik sapi, juga orang-orang yang malas untuk sekadar duduk manis di rumah sambil menunggu sarapan buatan sang istri matang.
"Kopi, dan ketan dua, Mbah," kata Paklik Junet sambil duduk kemudian aku ikut duduk di sampingnya.
Mbah Marisah tampak tersenyum, kemudian ia memiringkan wajahnya sembari berseru, "Arni, kopi dua, dan ketan dua, ya, Ndhuk!"
"Jangan lupa, mendoan juga," tambah Paklik Junet.
"Mendoan juga!" teriak Mbah Marisah lagi. Dia kembali tersenyum kemudian berjalan, duduk di depanku dengan sungkan. "Walah-walah, tumben benar Juragan Arjuna bertandang ke sini ini, lho. Laris pasti nanti warungku. Ada apa?" tanyanya penasaran.
"Ndhak ada apa-apa, Mbah. Hanya mampir untuk berteduh," kujawab seadanya.
Mbah Marisah kembali tersenyum meski aku sendiri ndhak paham, bagian mana dari jawabanku yang tampak lucu.
"Ndhak jauh beda...," dia kembali berujar. "Dari romonya."
Aku sama sekali ndhak paham, romo yang mana yang ia maksud. Tapi, aku ndhak berniat untuk bertanya kepdanya. Kuabaikan saja dia sambil menikmati hujan rintik-rintik sembari menimang-nimang perkataan Biung tentang sebuah perkawinan.
Wanita ayu itu mengancam, jika saat beliau kembali ke sini, aku belum juga mendapatkan calon istri, maka beliau dan Romo akan menjodohkanku. Mengingat, usia Rianti sudah lebih dari mapan untuk berumah tangga. Sementara menurut kepercayaan, ndhak baik jika adik ngelagkahi saudara yang lebih tua kalau menikah. Apalagi, saudara perempuan.
Padahal menurutku, itu sama sekali ndhak masuk akal dan sangat lucu. Apa hubungannya seorang adik menikah dulu dari mitos-mitos bodoh yang diyakini. Toh, seumpama Rianti menikah mendahuluiku, cepat atau lambat aku pasti akan menikah juga. Ndhak mungkin, toh, seorang juragan rupawan sepertiku sampai ndhak laku.
"Kopi, ketan, dan mendoannya, Paklik, Juragan. Monggo,"
Aku mendelik melihat siapa gerangan yang menyuguhkan pesananku. Rupanya, wanita kumuh dan menjijikkan yang menabrakku tadi. Sial benar aku. Bagaimana bisa datang di warung yang si pembuatnya menjijikkan seperti ini?
Aku diam saja menunggu hujan reda, melihat Paklik Junet menikmati sajian itu dengan lahap. Padahal di mataku, sajian itu sama saja seperti kotoran sapi yang ada di meja. Benar-benar menjijikkan jika dimakan.
"Lho, kamu ndhak makan, Juna?" tanya Paklik Junet yang tampaknya baru sadar jika aku ndhak makan.
"Hujan sudah reda, Paklik juga sudah selesai ngopi sambil makan ketannya. Kita pulang," kubilang sambil mengabaikan pertanyaannya. "Mbah Marisah, totalnya berapa?" kutanya pada Mbah Marisah yang tampak sibuk membersihkan dipan depan.
Dia tergopoh masuk, belum sempat mulutnya yang komat-kamit itu mengeluarkan suara, ia pun memandang meja yang ada di depanku.
"Lho, kok masih utuh, Juragan? Ndhak dimakan, toh, ketan, kopi, serta mendoannya? Enak, lho," katanya mencoba menutupi rasa kecewanya.
"Maaf, Mbah, aku ndhak nafsu. Makan buatan orang berpenampilan kumuh," kubilang, perempuan menjijikkan itu tampak kaget mendengar ucapanku, tapi siapa peduli dengan itu. "Ini uangnya, lebihnya untuk Mbah Marisah."
Aku langsung keluar dari warung Mbah Marisah, disusul oleh Paklik Junet yang setengah berlari-lari kecil. Jalanan sehabis hujan cukup licin. Apalagi di tempat yang dekat dengan kebun teh. Ndhak hati-hati, terpeleset adalah jawaban yang pasti.
"Mulutmu itu, lho, Juna... tajem seperti celurit."
Aku diam saja saat disindir Paklik Junet. Aku merasa ndhak seperti itu. Aku hanya mengatakan apa yang sebenarnya aku pikirkan. Aku ndhak mau menjadi munafik. Itu saja.
***
Paginya, Mbah Romelah sudah ada di rumahku. Tumben benar dia ada di sini pagi-pagi. Bahkan, Paklik Junet pun belum datang untuk sekadar memandikan bekoko--ayam kesayangannya yang katanya membawa rejeki. Iya, Mbah Romelah ndhak mau ikut tinggal denganku. Katanya, dia merasa nyaman tinggal di gubugnya yang sudah tua. Padahal, aku berniat untuk merenovasi gubug itu. Tapi, Mbah Romelah ndhak mau. Katanya, ada banyak kenangannya bersama dengan Simbahku--Biung dari Biungku, Buyut, juga Biung. Dan dia ndhak mau jika tempat dari kenangan itu berubah.
"Keturunan Juragan Nathan, kamu!" marahnya tiba-tiba. Sambil memukul punggungku dengan sendal jepitnya.
"Ada apa, toh, Mbah? Datang-datang pukul orang. Aku ini salah, apa, toh?" tanyaku bingung. Iya, aku benar-benar ndhak paham kenapa Mbah Romelah memukuliku. Terlebih, bawa-bawa nama Romo Nathan.
"Mulutmu itu, lho, kalau ndhak menyakiti orang sekali saja memangnya gatal? Apa perlu tak jahit pakai jahitan kasur biar bisa diam?"
Kuembuskan napasku sambil mengabaikannya. Dia masih tampak ndhak terima. Aku duduk sambil meraih koran pagi ini. Sambil kusruput kopi buatan Marni.
"Kalau orangtua bicara mbok ya didengerin, toh!" jengkelnya.
"Dari tadi Juna mendengarkan dengan seksama, Mbah. Kuping Juna ndhak budek," kubilang. Dia semakin melotot.
"Dasar bocah ndhak tahu diuntung! Pulang dari Jambi begitu manis seperti romonya--Juragan Adrian, sekarang sudah seperti ini rupanya."
"Ndhak ada yang salah dari jujur, Mbah. Jujur kepada diri sendiri dan orang lain. Itu saja," kujawab yang entah kenapa, aku merasa ndhak terima jika ada orang yang berkata aku ndhak seperti Romoku, Romo Adrian.
"Lalu, kenapa kamu sampai berkata sekasar itu kepada Arni? Kamu tahu, Juna... karena perkataanmu itu, dia sekarang berhenti bekerja di rumah Mbah Marisah. Dan warung Mbah Marisah sepi pengunjung. Beliau kemarin menangis saat bertemu denganku."
"Mbah Marisah?" kutanya.
"Bukan, kambingnya Mojo!" gemasnya. Dan itu berhasil membuatku tertawa. "Ndhak usah tertawa! Mbahmu ini lagi marah, lho."
"Iya... iya, Simbahku yang ayu ini lagi marah." kubilang.
Mbah Romelah tampak menghela napas. Kemudian ia meminum air kendi yang ada di meja samping kopiku.
"Namanya Arni, bukan perempuan kumuh pun menjijikkan...," katanya mulai bercerita. Aku diam saja, setengah menyimak. Bagiku, koran yang ada di tangan lebih penting dari pada ceritanya tentang perempuan yang ndhak penting. "Dia itu pendatang di sini. Kabarnya, Arni dipaksa menikah dengan Muri hanya karena Muri adalah anak orang kaya. Mungkin orangtua Arni pikir, dengan menikahkan anaknya pada orang kaya maka hidup Arni akan lebih baik. Tapi nyatanya, semua yang mereka dambakan, ndhak pernah terjadi sama sekali," Mbah Romelah tampak serius, membuatku ndhak enak juga mengabaikannya. Akhirnya, kututup koranku kemudian mendengarkannya dengan seksama.
"Selama pernikahannya, Muri hampir ndhak pernah memberinya nafkah. Bagaimana endhak, toh, setiap hasil panen yang didapat oleh Muri, langsung diambil semua oleh Mbah Mislan. Jadi, mau ndhak mau Arni mencari pekerjaan lain untuk membiayai diri beserta anak-anaknya."
"Kalau memang perempuan itu ndhak cinta, kenapa dia sampai mau beranak-pinak?" potongku.
"Kamu ini, suka ndhak suka sebagai seorang istri haruslah memenuhi kewajibannya. Simbah juga pernah dengar, kalau Arni selama beberapa bulan sempat ndhak mau disentuh oleh suaminya. Sampai-sampai, Muri harus jajan di tempat lain."
"Lalu, apa hubungannya semua itu denganku, Mbah?" tanyaku. Sebab, aku benar-benar bingung dengan cerita Mbah Romelah. Perempuan itu bukan anakku, saudara, pun kawan. Untuk apa Mbah Romelah cerita panjang lebar?
"Aku hanya ingin memberitahumu, jika hidup Arni itu susah, Juna. Jadi, Mbah mohon, ndhak usah kamu tambah susah. Ada kalanya kamu harus diam meski kamu ndhak suka sesuatu. Diam bukan berarti kamu membohongi dirimu, toh? Tapi diam, agar orang lain ndhak terluka. Jika sudah seperti ini, apa kamu mau menghidupi Arni dan anak-anaknya, serta Mbah Marisah?"
Aku ndhak menjawab ucapan Mbah Romelah. Aku ndhak begitu peduli dengan kehidupan perempuan itu, anak-anaknya, pun dengan Mbah Marisah. Mereka punya tangan dan kaki, jika mereka bisa berusaha untuk berdiri dan mencari makan sendiri. Lagi pula, seharusnya ucapanku dibuat intropeksi diri. Bukan malah terpuruk seakan-akan aku adalah orang jahat yang telah menjatuhkan mental mereka. Sungguh, dangkal sekali pemikiran itu.
"Sudah, Mbah, marahny?" tanyaku setelah melihat raut wajah Mbah Romelah tampak tenang. Dia mengangguk. "Ya sudah, sekarang temani cucumu yang bagus ini sarapan, toh," ajakku.
"Tapi, Simbah mau ke pasar, lho."
"Ke pasarnya biar diurus abdi dalemku. Sekarang aku mau ditemani Mbah Romelah sarapan. Titik."
***
Setelah seminggu hujan ndhak kunjung reda, hari ini mentari tampak rindu untuk sekadar menyinari bumi. Bau khas embun pagi yang mulai terpendar karena sinarnya pun begitu menusuk-nusuk hidung.
Hari ini para pemetik teh mulai bekerja. Mereka sudah berpondong-pondong berangkat dengan semangat yang membara. Ingin mendapatkan banyak daun teh, sehingga mereka nanti pulang membawa cukup uang untuk makan. Ada kalanya aku prihatin, beruntung benar aku lahir di tengah-tengah keluarga mampu, yang ndhak harus berpikir besok makan apa, besok dapat uang berapa, atau besok kerja apa? Tapi semua sudah berada di genggaman tinggal dijalankan.
"Ndhak usah melamun lagi, ayo kita berangkat ke kebun!" ujar Paklik Junet mengagetkanku. Dia tampaknya sudah lebih dari siap untuk berangkat. Rambutnya yang ikal tampak klimis, kaus panjangnya dimasukkan celana. Sungguh, aku ndhak bisa membedakan antara Paklik mau ke kebun atau mau pergi kencan.
"Nanti mampir ke rumah Mbah Rokli dulu, Paklik," kubilang. Paklik Junet tampak bingung. "Mbah Romelah memesan singkong dari Mbah Rokli dan minta diambilkan pagi ini juga."
"Asem!" umpatnya, "Kenapa perempuan tua itu merepotkan saja. Bukankah banyak abdi dalemu yang bisa melakukannya?"
"Perempuan tua itu biungmu." jawabku sambil mengabaikan gerutuannya yang ndhak merdu di telinga itu.
Kami langsung berangkat ke rumah Mbah Rokli, yang jaraknya memang lumayan jauh dari kediamanku. Mbah Rokli itu pemilik kebun singkonh, katanya. Hampir setiap hari dijual ke pasar. Warga kampung yang ndhak memiliki singkon biasanya beli di di sana. Untuk dijadikan gaplek, tiwul, sredek, atau sekadar singkon rebus dan dimakan bersamaan dengan wedang ronde.
Kuembuskan napas sambil melihat jalanan yang ada di depan. Banyak anak yang masih berada di rumah untuk sekadar menggiring ternak mereka sebelum pergi sekolah. Alangkah indah pemandangan ini. Bahkan dulu, aku ingin merasakannya. Bukan hanya merasakan hal itu, aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya berada dekat dengan orangtua. Ah, sudahlah... nasibku mungkin dulu ndhak seberuntung mereka.
"Paklik, sudah sampai," kubilang. Saat melihat rumah bercat kuning.
Paklik Junet langsung menepikan mobil kemudian memarkirkannya. Aku pun keluar, disambut oleh anak-anak kecil yang berkerumun. Selalu seperti ini, mereka... ketika melihat mobil pasti mendekat sambil teriak kegirangan. Maklum, ini masih zaman di mana mobil adalah barang mewah. Terlebih, di kampung.
"Lho... lho, ada Juragan Arjuna, toh!" seru seorang lelaki paruh baya dari dalam rumah bercat kuning. Dia tampak tergopoh sambil mengusap tangan dengan sarungnya. Kemudian menghampiriku dan bersalaman. "Ada apa gerangan Juragan kampung pagi-pagi datang ke sini?"
"Ini, lho, Mbah... Mbah Romelah memintaku untuk dibelikan singkong." kujawab. Mbah Rokli tertawa dengan nada yang cempreng.
"Lho, ya... tumben benar Romelah minta dibelikan? Biasanya, dia datang sendiri ke sini sendiri sambil membawakanku surat cinta," gurau Mbah Rokli. Dan entah, kenapa aku bisa tertawa dibuatnya.
"Kalian kalau dilihat-lihat, memang cocok, Mbah. Kenapa ndhak menikah saja? Mbah Rokli sudah mendapatkan restuku."
Mbah Rokli tertawa semakin kencang, bahkan matanya sudah berlinang air mata sekarang.
"Tapi, Mbahlikmu itu ndhak mau. Kurang apa, toh, aku ini sebagai laki-laki?" tanyanya mulai serius. Rupanya, orangtua ini telah jatuh hati benar dengan simbahku.
"Jangan cinta sama Emakku, Mbah... repot," Paklik Junet menyela.
"Repot bagaimana, toh, Net?"
"Emak itu yang dicari laki-laki setia. Mana ada di dunia ini laki-laki setia, iya, toh?"
Kini, bukan hanya Mbah Rokli saja yang tertawa, tapi Paklik Junet juga.
"Meski pada dasarnya laki-laki itu buaya. Tapi mereka mampu setia kalau bisa menekan hawa nafsunya."
"Nah, apa kata Juragan Arjuna benar adanya. Lagi pula, semua perempuan sama. Rasanya juga sama, hahaha!" tambah Mbah Rokli lagi.
Padahal niatnya datang kesini untuk beli singkong. Kenapa berubah menjadi berbagi cerita pribadi seperti ini?
"Jadi, aku mau pesan singkong tiga karung, Mbah," kataku sebelum keduanya kembali ngalor-ngidul.
"Banyak benar simbahmu beli singkong? Mau ada hajatan apa?" tanya Mbah Rokli penasaran.
"Untuk dijadikan gaplek, katanya... sebab bulan depan Biung dan Romo akan kesini," jelasku.
Mbah Rokli langsung masuk ke dalam rumah, kemudian mengangkat satu persatu karung yang berisikan singkong. Bahkan, ini sudah karung ketiga yang ia keluarkan.
"Simbahku hanya butuh dua karung, Mbah. Dan berapa harganya?" kutanya. Sebab aku ndhak tahu berapa harga singkong sebanyak ini.
"Kalau untuk Juragan Nathan dan Ndoro Larasati, gratis, Juragan. Yang satu karung ini, khusus untuk Romelah... spesial, gratis juga."
"Lho, ya ndhak bisa seperti itu, toh, Mbah. Mbah Rokli bisa rugi, lho... ini jumlahnya banyak," duh... bagaimana orangtua ini. Bagaimana bisa singkong satu kebun diberikan kepadaku cuma-cuma.
"Ini masih ndhak ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang telah dilakukan orangtuamu untuk kampung ini, Juragan. Khususnya untuk keluargaku. Berkat rumah pintar yang dibangun Ndoro Larasati, kini anakku menjadi seorang ABRI. Dan Mukidi, cucu pertamaku, memiliki mimpi untuk menjadi seorang guru. Jadi, pemberianku ini ndhak ada apa-apanya."
"Sudahlah, Arjuna... terima saja. Kalau endhak, lama ini urusannya. Sudah jam berapa," kata Paklik Junet yang tampak terburu. Ini sebenarnya yang juragan atau paklik, tampak sibuk benar dia dari pada aku.
"Ya sudah, Mbah... aku permisi dulu. Terimakasih atas pemberiannya yang sangat banyak ini. Tak doakan, Mbah Romelah bergetar hatinya untuk mau dipinang olehmu," godaku. Mbah Rokli kembali tertawa.
"Amin," jawabnya semangat.
"Amiiin," ulangku.
BRAK!!!
Paklik Junet melompat kaget, spontan ia bersembunyi di balik punggungku. Kutoleh asal suara, sepertinya suara ribut itu dari rumah kecil yang berada di ujung jalan.
"Aku sudah capek, Muri! Aku sudah lelah! Jika kamu memang ndhak mau membayar hutang-hutangku ya sudah. Ceraikan saja aku!"
Dan, teriakan itu kembali terdengar, bersamaan dengan larian dua anak kecil dari rumah itu. Keduanya tampak bersembunyi, sambil terisak seolah-olah ketakutan. Ada apa? Jujur, aku penasaran.
"Ndhak usah kaget, itu hal biasa... tetangga di sini sudah terbiasa dengan pertengkaran suami istri itu," kata Mbah Rokli seolah menangkap rasa penasaranku. "Kasihan Arni... malang benar ia harus menikah dengan laki-laki seperti Muri."
"Muri ringan tangan apa kawin lagi, Mbah?" tanya Paklik Junet yang rupanya ikut penasaran juga.
Mbah Rokli menunjuk rumah mungil yang ada di ujung jalan itu, kemudian ia menghela napas panjang.
"Keduanya... Muri adalah contoh suami yang buruk. Semua uang hasil kebunnya diberikan semua kepada orangtuanya, sementara saat akan bertanam, ia selalu meminta uang Arni. Belum lagi untuk makan, dari mana seorang perempuan mampu mendapatkan uang selain menghutang. Tapi, setiap Muri tahu kalau Arni berhutang, ia akan marah besar dan memukul Arni. Ya... seperti itu, dan sudah terjadi dari lama."
Aku diam, ndhak menimpali perkataan Mbah Rokli. Apa iya ada laki-laki seperti itu? Jika iya, di mana hati mereka sampai tega melakukan hal keji kepada istrinya? Bukankah, dulu dia meminang istrinya atas dasar cinta? Tuhan... ini adalah hal yang sangat membingungkan.
****
Pagi ini suasana kebun cukup ramai. Para pemetik dan mandor sudah datang melakukan kewajiban. Mereka begitu tampak semangat untuk mencari uang di tengah hamparan perkebunan teh yang membentang.
"Jadi juragan itu enak. Punya banyak uang, bekerja tinggal suruh, semuanya beres," kuiringkan wajahku, rupanya Manis sudah duduk manis di sampingku. Dia adalah kawan baruku, dari kampung seberang yang kebetulan memaksa untuk bekerja denganku.
"Jadi pekerja itu enak. Tinggal modal otot, bekerja sepenuh tenaga kemudian mendapatkan upah. Mereka ndhak perlu pusing memikirkan bagaimana jika harga daun teh turun, bagaimana jika penghasilan ndhak cukup untuk memberi upah para pekerja. Dan, masih banyak lagi." sanggahku. Manis tampak tersenyum dengan manis.
"Bicara sama kamu ini sama seperti bicara sama burung emprit," katanya. "Ndhak bisa dikalahkan."
"Tentu, Juragan Arjuna!" sombongku.
Aku dan manis menoleh, tatkala melihat anak perempuan yang memakai seragam sekolah mendekat ke arah perkebunan. Ini bukan jalan menuju sekolah. Terlebih, ia tampak mencari-cari sesuatu.
"Ndhuk, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" kutanya. Tapi, anak itu tampak ragu-ragu jika yang kutanya adalah dia.
"Saya, Juragan?" tanyanya.
Sepertinya aku pernah melihat anak perempuan ini. Tapi aku lupa di mana.
"Iya, kamu, Ndhuk." jawabku.
"Aku sedang mencari Emak, Juragan. Aku ingin pamit ke sekolah dulu. Tadi, Emak berangkat pagi-pagi sekali sampai aku ndhak melihatnya."
Anak perempuan yang seragamnya tampak lusuh itu terlihat sedih. Aku sama sekali ndhak tahu kenapa wajah belia bisa murung seperti itu. Adakah suatu hal berat yang mengganggu pikirannya? Ataukah, dia mencari emaknya karena ndhak dibuatkan sarapan? Atau malah keluarganya serba kekurangan sampai dia ndhak mampu seperti kawan-kawannya? Tuhan... kasihan sekali, dia.
"Ini, tak kasih uang jajan. Bisa kamu simpan untuk beli seragam baru," kataku saat anak perempuan itu mendekat. Tapi, dia masih diam.
"Ayo, terima saja pemberian Juragan Arjuna. Kapan lagi kamu diberi uangnya dengan cuma-cuma."
Aku melotot ke arah Manis yang ucapannya sedikit keterlaluan. Tapi, aku ndhak mengatakan apa pun.
"Terimakasih, Juragan. Tapi maaf, aku ndhak bisa menerimanya. Kata Emak, pantang bagiku dan Kangmas menerima pemberian orang secara cuma-cuma tanpa melakukan pekerjaan apa pun."
Lagi, aku merasa tertampar dengan ucapan anak perempuan ini. Siapa gerangan emaknya, hebat benar dia dalam mendidik anaknya.
"Memangnya, siapa gerangan emakmu, Ndhuk?" tanyaku.
Anak perempuan itu menunjuk gerombolan perempuan yang sedang sibuk memetik daun teh, kemudian ia berteriak, "Emaaak! Itu, Juragan, emakku!" katanya bangga.
Kupandan arah pandang anak perempuan itu. Mataku melebar untuk beberapa saat tatkala seorang perempuan datang mendekat. Perempuan berpenampilan lusuh dan kumalnya, perempuan dengan memar-memar di seluruh tubuhnya.
"Arni, emakku, Juragan."