Aku diam sejenak sambil memandang tubuh Arni yang tanpa busana. Otakku tiba-tiba berhenti dengan sangat lancang. Bangsat! Rupanya aku terlena dengan tubuh polos perempuan binal ini.
"Kita harus pergi dari sini. Para pemuda kampung, sedang menuju ke sini untuk mengerjaimu," kubilang, sambil menarik paksa semua kewarasanku untuk berkumpul dan memukul-mukul nafsu liarku.
Arni tampak semakin terbelalak, matanya merah dan napasnya tersengal. Oh ya, aku lupa, aku masih membungkam mulutnya yang ndhak sengaja juga membungkam hidungnya. Pasti dia ndhak bisa bernapas.
"Maaf."
"Juragan, ini benar-benar lancang. Aku--"
Aku langsung menariknya pergi. Sebelumnya, kupakaikan jarik basahnya yang tadi ia tanggalkan saat mandi. Suara samar-samar pemuda kampung sudah kentara. Jika ndhak cepat nanti aku yang akan mereka tangkap. Malu benar jika aku tertangkap hanya karena ingin menolong perempuan ndhak penting seperti Arni.
Tunggu....
Aku langsung berhenti, kupandang Arni dengan dahi berkerut. Ini bukanlah hal yang benar.
"Ada apa, Juragan?" tanyanya.
Pandanganku kini teralih pada tangan yang sedari tadi kugenggam dengan erat. Cepat-cepat kulepas tangan itu kemudian kuelap tanganku agar ndhak kotor.
"Lancang benar kamu ini! Bagaimana bisa, kamu menyuruh tangan seorang juragan tersohor sepertiku yang sangat berharga ini memegang tangan kotormu!" marahku.
"Maaf, Juragan. Saya ini ndhak paham. Perasaan yang memaksa saya untuk segera beranjak dari kali itu Juragan, lho. Sampai saat ini saya juga ndhak tahu pasti, apa alasan Juragan melakukan itu. Apa yang Juragan ucapkan itu benar-benar membingungkan."
Tumben benar perempuan ini banyak bicara. Tak pikir, dia ini tipikal perempuan yang pendiam cenderung bisu.
"Para pemuda hidung belang kampung, memiliki rencana untuk memperkosamu ramai-ramai di kali itu. Paham?" kubilang.
Dia tampak kaget. Kemudian melangkah mundur dariku.
Kini, aku yang kaget dibuatnya.
"Jangan-jangan Juragan ini salah satu dari pemuda hidung belang itu, toh? Juragan sengaja membawa saya ke sini agar bisa Juragan perkosa!" histerisnya. Tuhan, kurasa dia telah teracun oleh hal-hal ndhak waras di radio atau semacamnya.
"Aku ingin memperkosamu?" kubilang sambil berkacak pinggang. "Cih! Sampai matahari terbit dari barat pun, aku ndhak sudi! Lancang benar kamu ini! Bagaimana bisa kamu menuduh Juragan yang terhormat sepertiku ini mau memperkosa perempuan rendahan sepertimu."
Kulirik saja dia setelah mengatakan itu, wajahnya tampak bersemu merah. Aku yakin, jika saat ini dia malu. Padahal, toh, tadi, otak suciku ini sempat terbesit dan terbuai akan keindahan tubuhnya. Tapi, itu hanya sesaat!
"Di mana perempuan bahenol itu? Katamu dia selalu mandi di sini sekarang? Ayo, cari!"
Suara samar-samar itu pun berhasil membuatku dan Arni tampak kebingungan. Kami ada pada kondisi yang ndhak menguntungkan.
"Jadi, bagaimana ini? Aku sama sekali ndhak tahu," kataku lagi. Sebab, aku benar-benar ndhak tahu. Aku hanya memikirkan bagaimana cara membawa Arni keluar dari sungai. Aku ndhak memikirkan bagaimana setelahnya.
"Kita harus pergi, Juragan." dia bilang.
"Orang gila di kampung ini juga tahu kalau kita harus pergi. Masalahnya, kita harus pergi ke mana? Aku ndhak mau kalau sampai mereka tahu aku sedang bersamamu dalam kondisi yang seperti ini. Bisa-bisa, mereka menuduhku telah berbuat macam-macam denganmu, mengerti?"
Dan, di sini malah aku yang kebingungan sendiri. Sementara Arni, tampak anteng-anteng saja di tempatnya. Sebenarnya, ini yang mau diperkosa aku apa dia, toh?
"Juragan, ikut aku!" serunya setelah melihat kepanikanku.
Ia menarik tanganku dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih menggenggam erat bagian atas jarik yang membalut tubuh polosnya. Sambil berlari-lari kecil, ia membimbingku masuk ke dalam hutan bambu. Masuk ke dalam semak kemudia menyibak semak yang tampak rimbun. Hebat! Ada terowongan kecil di sana dan aku baru tahu!
"Ini jalan pintas menuju rumahku, Juragan," jelasnya.
Jika tahu seperti ini, aku ndhak perlu sok-sokkan menolongnya. Dia sudah lebih dari cukup fasih mengenali dan mencari jalan-jalan tikus untuk bersembunyi. Ah, rupanya kebaikanku yang agung ini sia-sia.
Ndhak berapa lama, kami sudah berada di dekat belakang rumahnya. Arni terus menarikku sampai kedua kakiku masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, dia berdiri sambil melihat sisi kanan--kiri. Mungkin dia bingung, atau sedang memastikan suaminya ada di rumah apa endhak. Omong-omong, kenapa aku seperti simpanan istri orang?
"Maaf," dia bilang, kemudian ia melepaskan genggaman tangannya padaku.
Entah mengapa tanganku jadi terasa kosong. Kukibaskan tanganku, kemudian meliriknya yang masih tampak bingung.
"Setelah ini, Juragan bisa pulang ke rumah Juragan lewat pintu belakang. Dan terimakasih Juragan telah sudi menolong saya. Sampai harga diri saya ndhak dilecehkan oleh pemuda-pemuda kampung."
"Hahaha, aku terharu." kubilang, dia melotot.
"Juragan, jangan keras-keras nanti anakku bangun!"
"Hahaha!" sengajaku.
Dan benar saja, tirai sebuah kamar mungil yang terletak di samping kanan dekat pintu belakang tersibak, aku nyaris melompat. Buru-buru Arni menarikku masuk ke dalam sebuah kamar, dan aku ndhak tahu itu kamar siapa.
"Mak, Bapak sudah pulang?" tanya Ningrum dengan suara seraknya.
"Belum, eh... sudah. Kamu tidur lagi, ya, Ndhuk. Nanti Emak buatkan makan," jawab Arni tampak gelagapan.
Kuintip, Ningrum tampak mengucek matanya, kemudian ia menguap beberapa kali. Betapa manis anak perempuan itu. Sungguh, membuatku gemas karenanya.
"Baik, Mak," jawabnya, kembali masuk ke dalam kamar kemudian suasana kembali hening.
"Sebaiknya Juragan segera pergi," kata Arni kemudian.
Baru saja aku mau melangkah keluar dari kamar. Suara batuk seorang laki-laki berhasil membuatku nyaris melompat. Tuhan, genderuwo mana yang dengan lancang berani membuatku melompat seperti ini!
"Gusti, Kang Muri!" cicit Arni dengan wajah pucat pasi. Seakan-akan, ia akan digantung hidup-hidup detik ini. "Juragan, Juragan harus bersembunyi!"
"Tapi, aku--"
"Di sini.... atau di mana?" katanya yang sudah ndhak mempedulikan ucapanku.
Aku bisa menangkap dengan jelas gurat takut di mata bundarnya. Bisakah kurengkuh perempuan ini sebentar saja, agar keresahan di hatinya bisa hilang?
"Di sini?" tanyaku saat dia menuntunku masuk ke dalam... mungkin kamarnya. "Aku bisa pergi lewat jendela," kubilang, tapi sayang, kamar ini ndhak ada jendelanya.
Kamar macam apa ini? Bagaimana bisa ada kamar ndhak ada jendelanya. Dan yang lebih hebatnya lagi, makhluk spesies macam apa yang mampu hidup dalam kamar sepengap ini.
"Aku bisa bersembunyi di lemari, kan?" kataku pada akhirnya. Kulihat lagi, sepertinya lemari bukanlah pilihan tepat untukku bersembunyi. Bahkan lemarinya saja lebih besar aku.
"Arni, di mana kamu!"
"Aku di sini, Pak!" jawab Arni semakin gugup.
Dia langsung menyuruhku untuk bersembunyi di kolong tempat tidurnya. Selang beberapa detik setelah itu, laki-laki bernama Muri kampret itu pun masuk. Padahal, kata Paklik Junet, bukankah hari ini Muri ndhak pulang karena ada keperluan ke kota? Ah, sialan!
"Tumben benar, Pak, kamu sudah pulang? Biasanya malam. Ada apa? Apa urusan di kota telah selesai?"
Kulihat, sepasang kaki kecil itu berjalan pelan mendekati sepasang kaki... genderuwo yang menyebalkan. Kemudian keduanya tampak duduk di atas dipan.
Kampret benar ini! Dipan macam apa, yang baru diduduki dua orang nyaris ambruk. Membuat dadaku terhimpit olehnya. Tuhan, dosa apa aku ini sampai-sampai disembunyikan istri orang di bawah dipannya seperti ini. Malang benar nasibku.
"Ada urusan sedikit dengan Warli, makanya aku kembali segera," jawab Muri.
Dan, aku mendengarkan percakapan bodoh itu dengan bosan.
"Kenapa kamu basah? Dan hanya memakai kemben seperti ini?" tanya Muri kemudian.
"Habis mandi di sungai, Pak. Air yang ada di kiwan habis," jawab Arni.
Kaki mungil itu tampak berdiri kemudian menjauhi ranjang. Disusul dengan kain jariknya yang jatuh. Dapat kulihat dengan jelas, dari pantulan cermin yang ada di lemari mungil Arni, tubuh polos itu terpampang nyata. Aku, bisa mengamati lebih jelas dari di sungai tadi bagaimana lekuk tubuh Arni begitu indah. Dan jujur, entah mengapa, birahiku sebagai laki-laki membuncah.
"Sudah, ndhak usah pakai baju. Begitu, bagus... Sini, layani aku."
"Tapi, Pak--"
"Ah, lama!"
Tunggu, tunggu....
Apa maksud semua ini? Bagaimana Muri lancang mengangkangi istrinya di saat seperti ini? Di saat ada aku tepat di antara mereka! Tuhan, bagaimana bisa seorang juragan terhormat sepertiku menjadi saksi terpaksa bisu adegan ranjang pasangan suami--istri sialan ini. Karma apa yang telah Engkau berikan ini, Tuhan....
Selanjutnya, ndhak perlu aku jelaskan kepada kalian bagaimana desahan, erangan, dan teriakan Arni nyaris membuatku gila. Dan gilanya lagi, kegiatan menjijikkan itu berlangsung sangat lama. Sampai-sampai, bisa kudengar Arni terisak memohon untuk berhenti.
Masalah terbesarnya adalah, sampai kapan aku harus terjebak di bawah dipan sialan ini? Dipan ini sempit. Terlebih lagi, lantainya masih tanah. Tubuhku sudah mulai kedinginan, ditambah sedari tadi aku belum makan.
Satu jam....
Dua jam....
Tiga jam....
Dan entah sudah berapa jam aku berada di sini. Sampai suara lembut Arni membangunkanku.
"Juragan, Juragan...."
Kukerjap-keejapkan mataku. Badanku terasa begitu sakit dan meriang.
"Kang Muri sudah pergi, sementara anak-anak sedang ndhak ada di rumah. Juragan bisa pulang sekarang,"
Aku buru-buru keluar dari bawah dipan. Dan benar saja, aku langsung bersin-bersin ndhak berhenti. Badanku, rasanya panas semua.
"Juragan ndhak apa-apa?" tanya Arni.
Dasar, punya mata kok ndhak tahu kalau aku ini kenapa-napa.
"Memangnya, otakmu ndhak bisa mikir bagaimana bisa orang yang terperangkap di tempat sepengap itu dan hampir sehari--semalam bisa ndhak apa-apa? Dasar udel kebo!"
Aku segera pergi sambil terseok, mengabaikan teriakan Arni yang aku ndhak paham pun peduli dia sedang berteriak apa. Aku ingin segera pulang, ingin minum wedang jahe dan beristirahat sepanjang malam di kamarku yang nyaman. Dipan kesayanganku.
*****
Sudah larut, ini benar-benar sudah hampir larut. Aku mengendap-endap masuk ke dalam rumahku sendiri dengan perut kelaparan. Aku ingat, jika jendela kamarku masih terbuka tadi, aku akan lewat sana kemudian tidur dengan nyenyak.
Belum sempat aku mendekati jendela kamarku. Kudengar suara pintu tampak berderit. Siapa? Tumben benar jam seperti ini ada orang yang hendak keluar? Padahal biasanya, para abdi dalem memilih bercakap di dalam sambil minum wedang ronde dari pada harus di luar pada musim yang cukup dingin ini.
"Habis dari mana kamu?"
Aku nyaris saja melompat saat suara serak yang terdengar berat itu menyapaku. Mati aku. Tapi, tunggu....
"Romo?!" cicitku. Kulihat Romo tampak berkacak pinggang.
"Dari mana saja kamu? Sampai Romo dan Biungmu pulang kamu ndhak ada di rumah untuk menyambut kami? Apa kamu pergi pacaran sampai selarut ini, hm?" selidik Romo dengan alis yang saling bertaut. Romo ini, mungkin dulu cita-citanya jadi polisi. Kalau soal menyelidiki, dia nomor satu.
"Endhak lah, Romo. Aku ini habis dari mengunjungi kebun."
"Selarut ini? Tak pikir kamu habis mengunjungi istri orang," sindirnya, dan tepat sasaran. Aku gelagapan dibuatnya.
"Romo ndhak rindu dengan putra Romo ini?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Romo Nathan masih memandangku dengan tatapan aneh
"Rindu." dia jawab dengan sangat singkat.
"Ndhak dipeluk?" kutanya. Dia malah tertawa sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Baju kotor seperti itu minta dipeluk Romo?" dia berujar di tengah tawanya. "Nanti surjan Romo yang mahal ini akan kotor hanya karena memelukmu,"
Aku mencibir, dia malah nempeleng kepalaku. Dia pikir aku ini putranya yang masih kecil.
"Mandi, ganti baju, makan, lalu istirahat. Tubuhmu anget. Nanti biungmu kusuruh buatkan kamu wedang jahe."
Aku baru ingat jika biungku datang. Kuabaikan Romo kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Aku yakin, di mana ia sekarang saat ini. Duduk santai bersenda gurau dengan para abdi dalem sambil menikmati wedang ronde di ruang tengah.
"Biung!" teriakku. Menghampiri perempuan ayu yang sedang duduk dengan begitu anggun.
Biungku ndhak berubah, dia masih sama seperti terakhir kali yang kulihat dulu. Masih begitu menawan hati dan memesona.
Biung tampak berdiri, dengan mata yang berkaca-kaca ia hendak mendekat ke arahku. Belum sempat kami berpelukan, Romo sudah berdiri di antara kami sambil bersedekap. Ini orangtua, benar-benar menyebalkan!
"Jangan peluk-peluk istriku. Nanti tubuh berharganya akan kotor karena pakaian kotormu itu. Sana, mandi dulu!"
"Kang Mas, ndhak usah berlebihan seperti itu, toh? Dia anakku!" kata Biung yang ndhak terima.
Aku tahu bagaimana kelanjutan dari adegan ini.
"Lha, aku suamimu."
"Tapi--"
"Sudah, sudah!" potongku agar mereka ndhak berdebat lagi. "Aku capek, mau tidur!"
Mereka langsung diam, menghentikan berdebatan konyolnya. Aku sama sekali ndhak paham, bagaimana bisa dua orang yang selalu bertengkar bisa tinggal satu atap sampai selama ini. Sungguh luar biasa.