"Jadi, katakan kepadaku, Bulik. Kenapa sampai kamitua Minto yang membiayai semua biaya rumah sakit Simbah Manis? Bukankah kalian bukan kerabat? Aku sudah penasaran kemarin. Tapi, Bulik tampak takut-takut dan menghindar." selidikku. Sebab benar, perempuan tua ini beberapa hari terakhir seolah-olah menghindar. Bahkan, biasanya dia yang bertugas mengurus kamarku malah diganti dengan Bulik Amah.
Bulik Sari tampai gusar. Ia terus memilin ujung bajunya. Sementara pandangan matanya tertuju kemana-mana. Seolah-olah dia sedang mencari-cari alasan untuk bisa kembali menghindar.
"Katakanlah dengan jujur, Bulik. Ini aku, kawan dari keponakanmu," mohonku.
"Sebenarnya, kamitua Minto itu ada hati dengan Manis. Sudah beberapa kali ia hendak meminang Manis. Tapi, sudah beberapa kali juga Manis tolak. Dulu...," katanya ragu-ragu. "Sebenarnya, aku ndhak boleh bercerita perihal ini kepada siapa pun, toh, Juragan. Tapi--"
"Dulu? Maksudnya?" potongku. Kugenggam tangan Bulik Sari erat-erat, berharap ia mau bercerita lebih.
"Sekarang, tampaknya Manis telah menerima pinangan dari kamitua Minto. Tapi dengan syarat, setelah simbahnya sembuh."
Aku langsung diam, ndhak mengatakan apa-apa lagi. Kepalaku tiba-tiba terasa semakin berat. Bahkan, Biung yang menyapaku pun, aku ndhak jawab. Sampai-jampai, ia menahanku untuk pergi.
"Kamu kenapa, Jun?" Biung tanya. Aku masih diam. Dia merapa pipiku, kemudian mengusapnya. "Kamu kenapa? Kenapa kamu menangis, Jun? Ceritakan kepada Biung?" ulangnya.
Kupeluk erat-erat tubuh Biung. Mencoba mencari ketenangan di sana. Aku rindu tubuh ini yang kudekap erat-erat, sampai hatiku terasa menghangat.
"Kawanku, Biung. Kawanku...," kubilang. "Kenapa dia bisa menerima lamaran duda tua. Aku benar-benar ndhak rela."
Kini, Biung kembali merapa wajahku. Dengan kedua tangannya. Dia tersenyum simpul, dan begitu menenangkan.
"Maksudmu Manis? Kamu ndhak rela kenapa?" dia tanya. Aku mengangguk.
"Aku Kang Masnya. Bagaimana bisa seorang Kang Mas membiarkan adiknya menikahi seorang duda tua, Biung? Aku ndhak terima," kubilang.
"Lalu, kamu ingin Manis menikah dengan lelaki yang bagaimana?"
"Lelaki yang baik, yang bisa bertanggung jawab atas dirinya serta keluarganya."
Biung kembali tersenyum, kemudian ia menuntunku untuk masuk ke dalam kamar.
"Lelaki seperti siapa itu, Nak?" tanyanya. Aku diam sejenak sebab bingung dengan pertanyaan Biung.
"Siapa pun. Asal yang bisa membuat Manis bahagia."
"Lho, tahu dari mana Manis ndhak akan bahagia bila menikah dengan kamitua Minto? Kabarnya, laki-laki itu sangat mencintai Manis. Meski dia duda dan sudah berumur, lantas kenapa? Toh dulu Biung menikah dengan Romomu saat Romomu sudah ndhak muda lagi. Dan Biung bahagia, toh...,"
Aku kembali diam sebab ndhak tahu harus berkata apa lagi. Andai Biung melihat kejadian di rumah sakit waktu itu. Pastilah Biung ndhak akan berkata semudah ini. Minto, bukan mencintai Manis dengan tulus. Tapi laki-laki jelek itu hanya bernafsu dengan Manis. Aku yakin, jika ada perempuan yang lebih dari Manis nantinya, Minto pasti akan melakukan hal yang ia lakukan pada Manis sekarang.
"Sepertinya Biung harus mengenalkanmu dengan beberapa perempuan, Juna. Kamu masih ndhak paham dengan perasaanmu. Dan itu tampak begitu lucu."
Aku hanya mendengus tatkala Biung mengatakan hal itu. Sia-sia juga aku cerita kepadanya. Dan yang lebih sia-sia adalah... kenapa dengan mulut ini, mudah benar mengatakan semua isi hati kalau dengan Biung. Seperti aku ini anak perawan yang hendak kawin saja.
*****
Sudah hampir seminggu aku ndhak bertemu dengan Arni. Atau bisa dikatakan jika, aku mengabaikannya. Benar-benar mengabaikannya. Tapi, ini bukan karena mengabaikan karena aku sakit hati oleh penolakannya waktu itu. Melainkan karena fokusku sekarang untuk Manis dulu. Banyak hal yang mencoba kugali dari Paklik Sobirin, meski 3 hari ini dia sudah kembali ke Kemuning, karena Simbah Manis telah pulang beberapa waktu yang lalu.
Katanya, Minto itu benar-benar ada hati sama Manis. Bahkan ia rela setiap hari, sepulang dari bertugas di desa, langsung pergi untuk menemani Manis tercinta. Dan itu benar-benar membuatku hampir gila! Apa-apaan itu, dia sudah cukup tua. Kenapa lagaknya seperti pemuda yang sedang dimabuk cinta saja. Kampret!
"Kopinya, Juragan...," kata Mbah Marisah yang berhasil membuyarkan lamunanku.
Di depanku kini telah ada secankir kopi hitam, dan juga sepiring mendoan. Ah, kurasa hidupku sekarang pahitnya mengalahkan kopi hitam ini.
"Juragan ini mirip dengan Arni sekarang. Sering melamun," kata Mbah Marisah lagi.
"Namanya orang, Mbah. Ada saja yang dipikirkan. Jadi ya jangan disamakan, ndhak enak," jawabku. Mbah Marisah mengangguk.
"Arni banyak bercerita tentang kebaikan Juragan kepadaku, lho, Juragan...," katanya lagi. Aku mendongak mencoba memerhatikan ceritanya. "Dan sekarang kata Arni, Juragan tengah mendiaminya. Arni cukup sedih karena itu."
"Lho, siapa yang mendiaminya? Aku hanya sedang sibuk dengan urusanku sendiri, Mbah. Lagi pula, ndhak baik jika seorang laki-laki terlalu dekat dengan perempuan yanh sudah bersuami. Aku menghormati prinsipnya itu. Lagi pula, kenapa dia harus bersedih?" jawabku. Bagus benar Mbah Marisah ini, menanyaiku tatkala warungnya sepi.
Mbah Marisah memangku nampannya, kemudian ia duduk di kursi depanku. Wajah tuanya tampak begitu lelah, sebelum mengucapkan satu kata dia pun menghela napas panjang.
"Kata Arni, Juragan itu kawannya. Kawan yang baik. Berkat Juragan pula Arni sering lupa akan masalah-masalahnya dengan Muri. Dan Juragan tahu, setiap kali Arni bercerita perihal Juragan, wajahnya selalu berseri-seri. Bahkan aku sampai perpikir, kalau dia jatuh hati dengan Juragan."
Aku tertawa saja mendengar ucapan Mbah Marisah. Tampak benar-benar lucu. Aku ingat betul setiap kata yang Arni ucapkan waktu itu. "Simbah ini benar-benar lucu. Rasanya ndhak sopan benar menjodoh-jodohkan seorang perempuan yang telah memiliki suami denganku yang lajang ini, Mbah. Sudah-sudah, ndhak usah dibahas perihal konyol ini. Dan katakan kepada Arni, aku ndhak mendiaminya. Aku hanya menghormati keputusannya, Mbah."
Mbah Marisah tampak mengangguk-angguk lagi. "Baik, Juragan akan aku sampaikan. Dan maafkan aku karena terlalu ingin jika Arni bahagia. Sebab bagaimanapun, dia akan terus tersiksa jika dengan Muri."
Aku pun langsung berdiri, rasanya aku sudah ndhak minat lagi dengan kopi dan mendoan ini. "Mbah, bagaimanapun apa pun keputusan Arni adalah benar. Dia sudah dewasa, dia memilih Muri sebagai kawan hidup itu artinya dia mencintai Muri. Dan sekali lagi, Mbah... itu benar-benar ndhak ada hubungannya denganku. Jangan sampai masalah seperti ini menjadi rancu. Lebih-lebih membuat orang lain berpikir jika aku perebut istri orang. Sangat disayangkan sekali, Mbah."
"Maaf, Juragan. Maaf, sebab aku telah lancang. Sekali lagi maaf."
Aku langsung mengabaikan Mbah Marisah. Menyisakan dada yang semakin bergemuruh hebat. Aku ndhak pandai perihal hati perempuan, memang. Lalu, jika benar dia merasa kehilangan, kenapa Arni berkata seperti itu, kemarin? Apakah itu hanyalah alasan karena dia ingin mempertahankan rumah tangganya dengan Muri? Cih! Apa yang patut dipertahankan dari pernikahan yang seperti itu.
*****
Rumah Manis di sore hari tampak menyejukkan mata. Di pekarangan depannya dipenuhi oleh bunga-bunga yang kebetulan sekarang telah berkembang.
Kupeluk tubuhku yang mulai terasa dingin. Kulangkahkan kakiku selebar-lebar mungkin agar segera bisa bertemu dengan Manis. Bukan, agar bisa membesuk Simbah Manis.
Sudah lama rasanya aku ndhak bergurau lagi dengan Manis. Rasanya begitu rindu, rindu akan Manis yang dulu. Dia, satu-satunya kawan yang dapat melipur laraku. Dan dia satu-satunya kawan perempuan yang bisa dekat denganku. Bukan hanya denganku, tapi Biung juga. Mungkin karena pemikiran mereka sama. Hidup agar berguna, bagi sesamanya.
Ah, kenapa aku jadi membahas perihal Manis. Dia itu perempuan seperti laki-laki, yang ndhak pandai berdandan. Ucapannya selalu ceplas-ceplos dengan polah tingkah yang di luar nalar. Nalar sebagai seorang perempuan. Jadi, bagaimana bisa aku rela jika kawanku yang unik itu disunting oleh laki-laki tua seperti Minto? Sungguh, jika Manis bersedia, aku bisa mencarikannya jodoh yang lebih baik dari Minto kampret itu.
"Lho, Romo, Biung?!" kagetku. Rupanya, di dalam rumah Manis sudah ada Romo-Biung, dan rombongannya. Kenapa mereka berkunjung ndhak bilang-bilang? Mengganggu saja.
"Lho, perjaka ndhak jelas hatinya kesini juga, toh?" ejek Romo. Benar-benar orangtua satu ini. "Untuk apa? Menjenguk yang tua atau yang muda?" tanyanya lagi.
Aku berdehem beberapa kali, kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Manis. Meski tempatnya sempit, kupaksa saja duduk di sampampingnya, sampai Manis harus menyilangkan kaki. Dan rupanya, ada Minto juga di sini. Yang saat ini telah duduk manis di samping Romo.
"Menjenguk keduanya. Menjenguk Simbah, dan rindu dengan kawanku yang manis ini," jawabku. Sambil merangkul Manis yang terus mencoba melepaskan rangkulanku. Tapi, tetap kupaksa saja dia. Sementara mataku memicing ke arah Minto, yang kini tampak sungkan. Dan entah kenapa, hal itu membuatku senang bukan kepalang.
"Arjuna, jaga sikapmu. Ini ada orang banyak, lho. Jangan main rangkul perempuan yang bukan saudaramu sembarangan!" marah Biung. Kurasa, Biung ndhak enak hati dengan Minto. Sebab Biung tahu, jika Minto ada hati dengan Manis.
"Lho, kenapa, Biung? Kami sudah biasa. Rangkul, peluk, sudah makanan setiap hari. Iya, toh, Manis?"
Manis langsung menepis tanganku, kemudian dia pergi dari sana.
"Arjuna, jangan seperti anak kecil. Susul Manis dan minta maaflah!" hardik Biung. Padahal, aku merasa ndhak melakukan salah apa pun. Tapi kenapa semua marah kepadaku.
Aku pun mengikuti perintah Biung, menyusul Manis yang tengah terisak di depan rumah. Ia menundukkan kepalanya, sambil sesugukan dengan deraian air mata. Kenapa? Aku hanya ingin menjaganya, aku hanya ingin agar laki-laki itu ndhak mengawininya.
"Kenapa kamu seperti ini, Juna?" tanyanya. Aku diam, ndhak menjawab. "Seumur-umur aku kenal denganmu. Akhir-akhir ini, aku benar-benar seperti ndhak mengenalimu. Kamu seolah bukan Arjuna yang kukenal. Kamu begitu arogan dan kekanakan. Kenapa kamu ndhak suka dengan Pak Minto? Apa salahnya dia denganmu? Apa karena kamu tahu kalau Pak Minto telah mempersuntingku terus kamu marah? Apa hakmu?"
"Minto bukanlah laki-laki baik, Manis. Aku bisa mencarikanmu laki-laki yang lebih baik dari dia."
"Siapa?" tanya Manis lagi. Kini dia tampak tersenyum sinis. "Lelaki mana pun di dunia ini, di matamu, pasti ndhak akan pantas untukku, Juna. Sebab apa, bagimu... aku bukan kawan. Melainkan mainan yang ndhak boleh disentuh oleh orang lain. Tapi sejatinya kamu tahu, Juna. Aku juga punya kehidupan sendiri. Pun sama denganmu yang telah gila oleh Arni. Jadi aku mohon, jangan ganggu hidupku sama halnya aku ndhak mengusik hidupmu."
Jujur, ucapan Manis begitu mencekik ulu hatiku. Bahkan untuk sekadar bernapas pun, rasanya benar-benar sakit. Aku berubah? Aku ndhak seperti biasanya? Jujur, aku benar-benar ndhak menyadari itu.
"Aku... aku hanya ingin melindungimu. Dari orang-orang yang hendak menyakitimu. Itu saja," lirihku.
Kini Manis menepuk-nepuk pundakku. Kemudian dia memiringkan wajahnya memandang ke arahku. Sesekali, ia menghela napas panjang. Kemudian kembali menundukkan pandangannya lagi.
"Terimakasih. Tapi ndhak perlu. Lagi pula, Pak Minto sekarang adalah calon suamiku. Kami akan menikah akhir bulan ini."