Pagi ini, hujan cukup deras mengguyur Kemuning. Mematikan mata pencaharian sebagian orang yang telah berharap banyak saat petang. Kuembuskan napasku yang terasa hangat, tenggorokanku terasa tercekik sekarang. Dan kepalaku masih terasa pusing. Memang benar kata orang, jika harta yang paling berharga bukanlah uang. Selain keluarga, sehat juga.
Kupijat pelipisku mungkin bisa meredakan rasa sakit yang ada di kepala. Entah bagaimana, bayang-bayang kejadian kemarin terus melintas di otakku. Ini benar-benar gila. Bagaimana bisa aku terus mengingat interaksiku dengan Arni. Terlebih tubuh polosnya itu saat basah....
"Kamu ini sakit demam apa sakit rindu?" aku menoleh, rupanya Romo sudah duduk di sampingku. Kemudian, disusul oleh Biung.
"Romo ndhak ke kebun? Katanya mau ke kebun." kutanya. Romo menggeleng.
"Sedang malas. Pabrik-pabrik sialan itu telah mencekik para pemetik teh terutama kita. Apa kamu ndhak menyadarinya?"
"Masalah kualitas daun teh yang bisa masuk pabrik agar bisa diolah?" tebakku. Romo menjentikkan jarinya.
"Kalau tahu kenapa kamu diam saja?" tanyanya yang kuyakin, jika Romo sedang jengkel kepadaku.
"Aku marah, dan ndhak terima, tentu saja. Akan tetapi, aku juga paham, Romo. Bisnis tetaplah bisnis, mereka pun tentunya ingin memberikan yang terbaik kepada konsumennya. Terlebih, begitu banyak pesaing. Itu sebabnya pabrik memberikan standart-standart tertentu untuk kita. Dan kurasa, itu bagus."
"Bagus dengkulmu. Jika banyak daun teh yang ndhak diterima itu sama saja membuat kita bangkrut dan ndhak bisa membayar para pegawai kebun!" bantah Romo yang sudah emosi. Aku maklum mendengar perkataan itu. Sebab, akibatnya memang benar adanya.
"Bagusnya, kita pun juga harus melakukan yang terbaik, Romo. Bagaimana caranya meningkatkan kualitas daun-daun teh kita. Pun dengan para pemetik, yang ndhak akan sembarangan memetik daun teh hanya agar tenggoknya penuh. Toh buktinya, selama satu tahun ini, pendatan kebun meningkat dua kali lipat, Romo," jelasku. Romo tampak manggut-manggut.
"Bagus. Kamu menuruni darah Romo. Akan tetapi, bagaimana dengan urusan jodoh kamu belum ketemu-ketemu, Jun?"
"Duh Gusti Pangeran, Kang Mas. Jauh benar kamu membelokkan arah pembicaraan. Baru beberapa detik membahas perkebunan, eh sekarang membahas masalah perempuan. Apa ndhak ada bahasan yang lain selain itu?" kini, biungku yang berseru.
Aku tahu, bagi seorang Romo anak laki-laki seusiaku bagi mereka lebih dari matang untuk memulai berumah tangga. Akan tetapi, bagi seorang Biung, seberapa pun matang usia anak laki-lakinya, ia akan tetap di anggap sebagai anak kecil oleh biungnya. Benar, bukan?
"Lha wong bagaimana, usianya sudah matang, pekerjaannya sudah mapan. Mau menunggu apa lagi? Menunggu anak perempuan orang agar lekas besar kemudian dijadikan simpanan?" kata Romo yang berhasil membuat Biung melotot. Aku yakin, Romo sedang menyindir Biung.
"Mungkin saja Arjuna belum menemukan jodohnya. Dia, kan, di Kemuning saja. Ndhak pernah mau pergi ke mana-mana."
"Memangnya kamu yakin jika jodoh Arjuna ada di luar sana? Siapa tahu jodohnya di Kemuning. Hanya saja Arjuna belum berkenalan dengannya."
"Kang Mas ini, membantah terus apa pun yang aku katakan." kini, Biung ndhak bisa membantah lagi. Dan senyum kemenangan pun tercetak di kedua sudut bibir Romo.
Kuembuskan napasku melihat kelakuan mereka. Benar-benar mereka ini, membuat orang iri.
"Yen ning tawang ana lintang, yo, Dik.... Apa lanjutannya, Romo?" tanyaku, yang berhasil membuat orangtuaku langsung memandang ke arahku. Tapi, tiba-tiba Romo malah terbahak.
"Kamu mau apa bertanya tembang itu? Zaman sudah maju, kok ya ada pemuda modern sepertimu bernyanyi tembang jawa. Yang ada, nanti pacarmu itu ndhak paham dengan apa yang kamu katakan!"
Dan kini, sekarang giliranku menjadi sasaran ejekkannya. Tuhan, Romo ini benar-benar menyebalkan.
"Dulu, Biung pernah dinyanyikan tembang itu sama Romo Adrian," kini Biung kembali bersuara. Kulirik Romo Nathan, sebab aku begitu penasaran bagaimana reaksinya. Apakah dia akan cemburu, tatkala perempuan yang ia cinta menyebut laki-laki lain meski itu adalah kang masnya? "Kamu tahu, Juna... Romo Adrian adalah laki-laki yang paling romantis di muka bumi. Meski usia beliau ndhak muda, percayalah beliau dapat dengan mudah membuat ribuan perempuan jatuh cinta," jelas Biung.
"Jangan seperti Romo Adrian. Dia banci. Lembek jadi laki-laki. Ingat, Jun, cinta itu diutarakan, diperjuangkan, dan didapatkan. Tapi kamu juga harus lebih dari paham jika cinta wajib kamu lepaskan jika dia sudah jadi milik orang. Paham?"
"Paham, Romo," jawabku. Kulihat Romo mengangguk.
"Jangan pernah merusak, jika hubunganmu ndhak mau dirusak. Hukum karma itu nyata, dan pasti akan terjadi kapan saja."
"Iya, Romo."
"Pinter."
*****
"Kenapa kamu ndhak ke kebun teh, Juna?"
Sore ini Manis berkunjung, sebab ia khawatir, sudah lima hari aku ndhak ke kebun teh. Ini bukan karena aku sakit, sungguh. Entahlah, seolah-olah aku ingin memiliki alasan kuat untuk ndhak pergi ke sana saat ini. Rasanya, berat. Dan aku ndhak tahu kenapa.
"Aku sedang ndhak enak badan. Lagi pula ada Biung di rumah, dan perkebunan sudah diurus Romo." kujawab sekenanya. Manis tampak memegang keningku.
"Kulihat kamu baik-baik saja, sehat jasmani dan rohani. Apakah sakit hanya akal-akalanmu saja untuk bermalas-malasan dan menjadi bayi besar di rumah karena ada Ndoro Larasati?" tebaknya. Aku terkekeh mendengar ucapan Manis.
"Bukan, bukan...."
"Iya, pasti. Ya, toh, Ndoro?" ucapnya lagi seolah meminta persetujuan.
Rupanya, Biung sudah ada di sini. Ia memandangku dan manis sambil melipat kedua tangannya di dada. Kemudian, ia duduk di sebelah Manis.
"Ndhak tahu ini kawanmu. Jangankan ke kebun, keluar kamar saja ndhak mau. Seperti perawan yang sedang patah hati," jawab Biung. Manis tertawa.
"Duh kasihan benar nasib laki-laki ini. Jatuh hati saja belum kok ya sudah patah hati. Hahaha!"
Kini giliran mereka yang tertawa. Sepertinya menertawaiku adalah hobi baru mereka.
"Kamu tahu, Manis, apakah sekarang kawanmu ini sudah ada kekasih hati di sini?" tanya Biung setelah tawanya reda.
Manis dan Biung ini kawan baik. Sebab Manis adalah keponakannya Bulik Sari--abdi dalemnya yang selalu mengikutinya kemana-mana.
"Ndhak tahu juga, Ndoro. Juna ndhak terlihat berinteraksi dengan perempuan mana pun," jawab Manis sambil mengingat-ingat. "Kecuali beberapa waktu yang lalu."
"Beberapa waktu yang lalu kenapa, Manis?" tanya Biung penasaran. Dan aku juga.
Memangnya adakah kejadian yang manis tahu tentang aku dengan Arni? Sebab Manis adalah tipikal perempuan polos yang akan mengatakan apa pun yang ia lihat tanpa ada yang disaring.
"Beberapa waktu yang lalu, Juna sempat memarahi perempuan. Kemudian perempuan itu--"
Aku buru-buru menutup mulut perempuan menyebalkan ini. Kalau sampai Biung tahu aku memberi uang kepada Arni waktu itu, pastilah Biung akan menyelidiki siapa Arni. Dan jika Biung sudah tahu Arni, pasti aku akan dimarahi habis-habisan. Terlebih, jika Biung mengadukan perkara ini kepada Romo.
"Juna, kamu ini apa-apaan, toh? Jangan membungkam mulut anak orang! Nanti Manis ndhak bisa napas!" marah Biung, ia berusaha untuk melepaskan bungkamanku. Tapi, kudekap Manis kuat-kuat.
"Duh, Manis... kamu ini manis benar, toh. Kamu ndhak pengen tak ajak jalan-jalan kemudian tak belikan baju baru?" sogokku. Tapi, Manis masih tampak bingung. "Jangan beritahu Biung perkara aku memberikan uang kepada Arni. Kalau endhak, tak buat hidupmu menderita setiap hari, Manis."
Manis mengangguk. Aku tersenyum lebar kemudian melepaskan rengkuhanku. Kemudian kusuruh Biung untuk duduk manis kembali di tempatnya tadi.
"Ndoro...," kata Manis dengan wajah polosnya. "Aku dilarang Arjuna untuk mengatakan jika waktu itu dia memberi uang dalam jumlah banyak kepada Arni. Perempuan yang telah memiliki suami dan anak."
"Manis!" teriakku marah. Lancang benar perempuan satu ini. Kenapa dia mengatakan itu kepada Biung? Bukan kenapa-napa, aku hanya berniat menolong waktu itu, sungguh. Hanya saja, aku yakin jika niatku itu ndhak semua orang bisa memahaminya.
Kulihat mata Biung tampak melebar. Rona merah mulai menjalar di wajahnya yang sudah merona. Tuhan, tolong... jangan buat Biung marah karena ini.
"Arni? Biung juga telah mendengarnya dari Simbahmu Romelah. Jadi, bisa kamu ceritakan kepada Biung bagaimana itu bisa terjadi sebelum Romo dan Biung mencarikanmu perempuan untuk kamu nikahi agar kamu ndhak melakukan dosa seperti orangtuamu lakukan dulu, Juna?"
Kutundukkan wajahku dalam-dalam, entah kenapa nyaliku menciut tatkala Biung mengatakan hal itu. Bagaimana aku mulai menceritakannya. Jika jujur, akankah Biung percaya?
"Lebih baik aku pergi, Ndoro. Ini urusan pribadi kalian," kata Manis sambil berdiri. Kemudian ia mengelus rambutku sekilas, lalu berkacak pinggang. "Kutunggu kamu di kebun, aku ndhak peduli apa pun alasanmu. Kamu harus datang ke kebun hari ini. Titik!"
Dia langsung pergi, meninggalkanku dan Biung dalam suasana yang canggung lagi.
"Jadi, jelaskan apa yang dikatakan Manis kepada Biung."
"Sebelum aku bercerita, Biung harus percaya dulu jika aku ndhak ada maksud lain selain kasihan kepadanya," kataku hati-hati. Biung tampak mengangguk. "Arni itu istri dari Muri, anaknya Mbah Mislan salah satu orang yang terpandang di kampung ini. Akan tetapi, kehidupannya jauh dari kata terpandang di sini, Biung."
"Kenapa seperti itu?" tanya Biung yang tampaknya mulai penasaran.
"Mereka tinggal di gubug tua di ujung jalan, dekat dengan hutan bambu itu Biung. Dan Muri pun, bukanlah suami yang baik bagi Arni dan anak-anaknya. Selama ini, Arni ndhak diberi nafkah oleh suaminya, sehingga dia harus bekerja untuk mendapatkan uang. Dan yang lebih parahnya lagi, dia selalu disiksa suaminya, Biung," jelasku. Semoga Biung paham dengan ini. "Itulah sebabnya saat aku melihat anaknya yang mau berangkat ke sekolah memakai pakaian lusuh membuatku ndhak tega, dan memberikan uang kepadanya." kubilang. Biung mengangguk.
"Kamu bilang ndhak tega dengan anaknya, tapi menceritakan tentang biungnya. Kenapa Biung malah menangkap jika kamu memiliki rasa simpatik kepada biungnya, Juna?"
Aku langsung terdiam mendengar perkataan Biung. Apa benar aku seperti itu? Aku sungguh ndhak tahu. Pada waktu aku memberikan Arni uang, bahkan aku masih memandangnya sebagai sosok perempuan yang kumal dan menjijikkan.
"Kamu tahu bagaimana Romo Nathan dulu memperlakukan Biung sebelum kami menikah? Ah, bahkan setelah kami menikah pun dia tetap melakukan itu."
"Apa, Biung?" tanyaku yang mulai penasaran.
"Romomu itu, dia selalu saja memandang Biung sebagai perempuan yang rendah. Seorang simpanan yang menjijikkan yang bahkan mungkin ndhak pantas untuk hidup. Bahkan, dia tak sentuh saja merasa jijik. Kamu tahu apa alasan romomu melakukan itu, Juna?" aku menggeleng, kemudian Biung tampak tersenyum. Aku yakin sekarang ini ia tengah mengenang hal-hal manis bersama dengan Romo. "Karena, tanpa ia sadari. Rasa benci yang ia rasakan kepada Biung, perkataan-perkataan kasar yang ia lontarkan kepada Biung, ndhak lain karena dia begitu sangat mencintai Biung. Oleh sebab perasaannya ndhak bisa diungkapkan itulah ia melakukan hal yang sebaliknya."
"Untuk mengungkapkan rasa cintanya?" tebakku.
"Benar, Juna. Jadi kurasa jika benar apa yang kamu rasakan kepada Arni sama seperti apa yang Romo lakukan kepada Biung. Lebih baik, hindari perempuan itu, Nak."
Aku ndhak menjawab perkataan Biung. Sebab aku sendiri pun ndhak tahu apa yang ada di dalam benakku, apalagi hatiku.
"Mencintai itu seperti apa, Biung?" tanyaku pada akhirnya. Biung kembali tersenyum, kemudian ia menepuk-nepuk bahuku.
"Ndhak ada devinisi yang pasti tentang mencintai. Sebab yang merasakan hati, bukan nalar pun semacamnya. Coba pikirkan baik-baik, renungkan barang sejenak tentang apa yang dimau hatimu, Nak. Jika benar apa yang Biung katakan tadi, menjauh adalah hal yang baik dari pada kamu mencari penyakit."
Ucapan Biung memang benar. Mana mungkin seorang lelaki lajang mencintai perempuan yang sudah bersuami. Itu adalah hal yang memalukan. Lagi pula, aku sendiri pun belum yakin, apa benar yang kurasakan kepada Arni adalah cinta. Atau malah, hanya berahi seorang lelaki semata?
****
Paginya, aku sudah siap ke kebun bersama dengan Romo. Ndhak lupa, sama Paklik Junet dan Paklik Sobirin juga. Kami merasa jadi sok tampan sekarang, karena menjadi pusat perhatian. Lihatlah Paklik Junet, gayanya sok kecapekan sambil menyisir rambut klimisnya. Sementara Paklik Sobirin lebih memilih berdiam diri sambil melamun.
"Lho, Juragan Nathan kembali, toh?" Paklik Waras tampak bersuara. Ia yang tengah membawa sebongkok jerami pun, tergopoh-gopoh mendekat ke arah Romo.
"Kamu sudah tua, ya," ledek Romo. Dia memang paling bisa kalau mengejek orang. "Aku rindu, ayo kita berbincang di warung sana," lanjutnya. Setelah Romo berpamitan denganku, dia pun langsung mengajak Paklik Waras ke warung Mbah Marisah. Ndhak lupa, abdi dalemnya yang setia--Sobirin ikut juga.
"Paklik, mau ke mana?" tanyaku pada Paklik Junet yang mengekori langkah Romo. Ia menghentikan langkahnya, kemudian memiringkan wajahnya agar bisa menatapku.
"Aku tentu saja ikut romomu. Minum wedang sama makan ketan. Dari pada di sini, ndhak bisa lihat perawan semok." dia bilang.
Memang kalau urusan pekerjaan dia ini nol besar. Coba saja kalau pemetik tehnya semua simbah-simbah tua, pastilah Paklik Junet ndhak akan mau menemaniku sedari dulu.
Kuabaikan saja Paklik Junet kemudian melangkah mendekati beberapa mandor yang memeriksa hasil petikan para pekerja. Tampaknya, di cuaca yang lumayan mendung ini, mereka masih semangat untuk mencari nafkah.
"Bagaimana hasil hari ini?" kutanya pada Warsito. Dia tampak sumringah.
"Berkar hujan beberapa hari, Juragan, ulat-ulat di daun teh yang beberapa waktu lalu mengganggu kini hilang. Daunnya sudah bagus lagi."
Aku senang mendengar jawaban itu. Seendhaknya para pemetik ndhak akan dimarahi oleh mandor, pula bisa mendapatkan daun-daun teh yang segar dengan jumlah yang banyak. Memang musim petik kali ini, ada-ada saja halangannya.
"Kalau begitu, berilah kiranya mereka upah lebih untuk hari ini. Biar bisa buat beli jamu atau beras untuk masak nanti. Setelah selesai, kutunggu seperti biasa di rumah."
"Baik, Juragan."
Aku melangkah pergi, untuk menyusul Romo. Sepertinya, pekerjaanku hari ini berjalan dengan mudah dan cepat. Secangkir kopi, pastilah membuat perasaanku lebih ringan lagi.
"Maaf, Juragan...."
Langkahku terhenti tatkala mendengar suara lembut itu. Bahkan, mataku mengunci sosok yang kini sedang berdiri di depanku. Kami ini, seperti dua orang asing yang sedang berdiri di tengah hamparan kebun teh yang membentang. Atau bahkan seperti sepasang kekasih yang ingin melepas rindu sebab lama tak bertemu. Lantas, aku harus menganggapnya yang mana?
"Beberapa hari ini Juragan ndhak pergi ke kebun. Saya mendengar dari manis jika Juragan tengah sakit. Apakah Juragan sekarang baik-baik saja? Maksud saya, sudah sembuh?" tanyanya lagi dengan panjang lebar.
Kutundukkan kepalaku sesaat sambil tersenyum. Kemudian kumasukkan kedua tanganku ke saku celana. Kuliat binar sepasang mata bulat itu benar-benar penuh kekhawatiran. Dan bahkan, wajah cantiknya tampak begitu cemas.
"Aku sehat," kujawab. Dia tampak tenang. "Seperti yang kamu lihat, aku sehat." ulangku.
Kini, giliran dia yang menundukkan kepalanya untuk sesaat. Kemudian memandangku dengan mata nanarnya. Kenapa dia menangis?
"Syukurlah, Juragan. Saya sudah takut. Jika Juragan sakit karena ulah saya kemarin. Menyembunyikan Juragan di bawah dipan selama beberapa jam. Sungguh, perkara itu membuatku risau."
"Lantas jika iya, apakah aku akan mendapatkan upah karena itu?" tanyaku. Aku maju selangkah agar tubuh kami semakin dekat. Dapat kulihat dengan jelas rona merah di kedua pipi perempuan cantik itu.
"Upah? Apa?" dia tanya. Dan hanya dengan pertanyaan itu, jantungku tiba-tiba berdegup ndhak karuan.
"Aku minta--"
"Kamu yang namanya Arni?"
Ucapanku terhenti, saat tiba-tiba Romo datang dan menarik tubuhku agar menjauh dari Arni. Kemudian menunjuk Arni tepat di wajahnya. "Aku bertanya, apa kamu yang namanya Arni?!" tanyanya lagi dengan intonasi yang lebih tinggi.
"I... iya, Juragan." kini, Arni menjawab dengan nada ketakutan.
"Ndhak tahu diri benar kamu, perempuan sudah bersuami masih saja menggoda Juragan terhormat di kampung ini. Apa kamu ndhak diajari etika oleh orangtuamu?"