Venda menembakkan pelurunya yang belum habis bertubi-tubi ke arah mobil di belakangnya. Wajah itu mengarah berlawanan arah dengan mobil yang dikendarai sang suami.
Mata lentik itu memicing penuh konsentrasi menembak. Bukan hanya para manusia yang menjadi targetnya, dia menyasar salah satu ban mobilnya.
Dor!
Tembakan itu tepat mengenai si karet bundar hingga mobil itu kehilangan keseimbangan dan menepi di sebuah tebing. Venda menarik napas dalam-dalam dan membuangnya kasar.
"Rasakan! Beraninya mencari masalah dengan kami," ucapnya. Napasnya tiba-tiba tertahan, rasa nyeri dari pinggangnya terasa lagi. Dia melihat ke bawah. Darah membasahi kain yang melilit pinggangnya. Segera ia masuk kembali duduk di samping kemudi.
"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" Judy memandang sang istri sedikit cemas.
"Sedikit sakit," jawabnya dengan wajah memucat.
"Kita pergi ke klinik dokter George. Kamu bisa menahannya, 'kan? Sebentar lagi kita sampai," timpal Judy tanpa memperlambat laju mobilnya.
Mobil itu terus melesat hingga tiba di mansion dokter George, salah satu sahabat Merlin di kota Sweetbridge, yang masih berada dalam kawasan negara Greenville yang letaknya cukup jauh dari negara Legiland. Negara beriklim tropis di mana hanya ada dua musim di sana.
Judy memarkirkan kendaraannya di halaman mansion Dokter George. Dia segera keluar dari mobil dan memapah Venda keluar dari dalamnya. Venda jalan tertatih menahan sakit. Seorang penjaga menghampiri kedua orang itu.
"Apa dokter George ada?" tanya Judy kepada penjaga itu.
Penjaga mansion bernama Marchel hanya mengangguk. Dia sudah kenal dengan Judy dan Venda. Membantu mereka masuk ke dalam mansion dan bertemu dengan dokter George.
Seorang pria tua berjanggut putih tebal keluar dari ruang praktik menghampiri mereka. Dialah dokter George. Memakai snelly dokter dan tersenyum ke arah mereka.
"Judy, Venda, apa kabar?"
"Kurang baik, Dok," jawab Judy melirik luka Venda.
"Ada apa ini?" tanya George terkejut. Kedua matanya membulat mengarah pinggang yang berwarna merah karena darah itu.
"Dokter, istri saya terluka. Dia tertembak," jawab judy sangat khawatir. Timah panas telah menembus pinggang Venda.
"Ayo kita ke ruang praktik saya." Cepat-cepat pria tua menyuruh mereka masuk ke dalam ruang praktiknya.
***
Di hari yang sama ....
Tok-tok-tok!
Antony mengetuk pintu ruang kerja Merlin. Merlin baru saja menghubunginya untuk memberitahu sesuatu. Terdengar suara Merlin dari dalam.
"Masuk!"
Antony menekan handel pintu ruangan Merlin. Menundukkan sedikit tubuhnya memberikan hormat kepada pria tua itu. Segaris senyuman terpancar dari wajahnya.
"Duduk, Antony!" perintahnya.
Antony melangkah dan mendudukkan tubuhnya berhadapan dengan Merlin. Menatap wajah sang bos mafia itu dengan raut wajah dinginnya.
Pria tua itu menatap dalam wajah Antony. Mengembuskan napasnya yang berat. Sebuah kabar dari Judy baru saja ia dengar. Menantunya terluka oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, yang pastinya adalah salah satu dari organisasi mafia saingannya.
"Antony, berdasarkan apa yang terjadi semalam, saya sudah memutuskan untuk memindahkanmu ke divisi yang berbeda. Kamu tidak akan lagi bekerja menjadi mafia pengawal Redita. Setelah saya pikirkan masak-masak, keahlianmu juga sangat bagus untuk menyelidiki siapa yang harus bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi kepada Venda, menantu saya."
"Penembakan? Nona Venda?" Dahi Antony sontak mengernyit terkejut.
"Iya. Saya baru saja mendapatkan kabar dari Judy kalau mereka diserang di vila di tepi pantai oleh oknum mafia yang belum diketahui dari mana. Namun yang saya yakini adalah salah satu organisasi mafia yang tidak menyukai organisasi kita."
"Lalu Nona Redita?" Tiba-tiba Antony teringat akan sosok wanita muda itu padahal ia sudah tahu akan begini nasibnya. Kemarin memang hari terakhir Antony menjadi pengawal sang putri mafia.
"Martin akan menggantikanmu. Saya pusing dengan Redita, anak itu semakin dewasa semakin tidak ingin diatur. Padahal sebagai orang tua, kami hanya ingin memberikan yang terbaik. Bahkan saya belum percaya seratus persen kepada Radit dan dia malah sudah ingin menikahinya. Bukankah sama saja dengan membeli kucing dalam karung?" jelas Merlin menunjukkan keprihatinannya. Seorang ayah yang sangat menyayangi putrinya.
"Tuan bisa mempercayakan saya atau Aron untuk menyelidiki pria itu agara Tuan merasa lega dan yakin pilihan Nona Redita tidak salah," sahut Antony diplomatis.
Merlin bernapas panjang, hanya bisa menganggukkan kepalanya mengerti. Dia lalu berkata, "Panggilkan Martin ke sini. Saya juga ingin mengatakan hal yang sama seperti yang saya sampaikan tadi kepadamu."
"Baik, Tuan!" sahut Antony.
Pria itu segera membalik badannya meninggalkan ruangan Merlin. Melangkah keluar ke arah lapangan tembak. Sedari tadi dia melihat Martin berada di sana bersama Redita sedang latihan memanah.
Sementara itu Redita sedang menarik busur panah di lapangan tembak yang sama tempat para junior mafia melakukan latihan menembaknya semalam. Dia tidak ingin berlatih senapan api. Kali ini wanita itu hanya ingin berlatih memanah. Redita menoleh ke arah Martin.
"Martin, berdiri di sana! Taruh buah apel itu di atas kepalamu dan aku akan menyasarnya," kata Redita melirik ke arah buah apel yang ditata di atas keranjang buah.
Mendengar perkataan Redita membuat napas Martin tertahan sejenak. Tubuhnya bergetar tiba-tiba. Takut jika salah sasaran dia yang akan terluka. Baru kali ini ia menemani Redita berlatih memanah.
"Kok diam saja? Berdiri di sana!" perintah Redita lagi.
Martin menelan ludah mencoba menghilangkan rasa gugupnya. Dia melangkah pelan mengambil sebuah apel dalam genggaman. Dia lalu berjalan ke arah papan tembak dan berdiri di sana dengan buah apel yang ia taruh di atasnya. Matanya kemudian terpejam.
Redita memicingkan mata, mulai menarik busur panahnya. Belum sempat melepaskan busurnya, terdengar suara Antony yang menghentikan aksinya itu.
"Martin!" panggil Antony dengan suara lantang.
Martin membuka matanya. Melihat Redita yang tiba-tiba menoleh ke sumber suara. Tampak Antony berdiri di sana hendak berjalan menghampiri mereka. Untung saja Redita belum melepas busurnya. Ia benar-benar takut busur itu menembus perutnya atau yang terparah mengenai jantungnya dan dia akan mati seketika.
"Untunglah kau datang, Antony!" pekiknya dalam hati.
"Sedang apa kamu di sini, Antony?" tanya Redita heran. Tidak biasanya Antony menemuinya di mansion jika tidak ada perkara yang penting.
"Aku mencari Martin. Dia dipanggil ayahmu di ruang kerjanya," jawab Antony santai.
"Hei, dia sedang menemaniku berlatih," jawab Redita keberatan.
"Sayang sekali, perintah ayahmu adalah yang paling utama." Antony mengerling ke arah Martin yang berjalan menghampirinya.
"Ada apa, An?"
"Tuan Merlin memanggilmu ke ruang kerjanya. Ada yang ingin beliau sampaikan." Antony melirik Redita seakan-akan ia tahu apa yang sedang dipikirkan Martin. Ketakutan jika terkena busur panah yang tajam itu.
"Baik, aku akan menemui Tuan Merlin sekarang dan kau bisa menggantikanku menemani Nona Redita berlatih." Martin membalik tubuhnya segera pergi dari tempat itu dengan suara kekehan yang sangat senang. Kadang-kadang dia menjadi teman yang licik yang bisa mengorbankan temannya untuk kepentingannya sendiri.
Giliran Antony yang menelan ludahnya tiga kali. Redita melirik pria itu seraya tersenyum menyeringai. "Antony, bersiaplah menjadi sasaranku di sana," ucapnya enteng.