Desingan peluru terdengar bertalu-talu. Malam ini adalah jadwal latihan menembak para anggota mafia junior. Mereka berlatih di lapangan tembak seluas dua ratus meter di dalam lingkungan mansion Merlin.
Di bawah kepemimpinan Martin yang tegas, sekitar tiga puluh orang anggota memegang senjatanya masing-masing di depan papan sasaran. Memicingkan mata mereka, penuh konsentrasi menyasar sasaran paling tengah pada papan itu.
Merlin duduk santai di belakang peserta latihan. Sedangkan Martin berjalan memerhatikan seluruh mafia junior yang memegang revolvernya. Sesekali ia membetulkan mereka yang salah memegang senjata itu.
Merlin mengisap cerutunya dan mengembuskan asap tebal di depan wajahnya. Segera melirik arloji yang melingkar di tangan. Sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam tapi Redita belum juga menunjukkan batang hidungnya di mansion.
Pria berpakaian resmi itu sudah menghubungi Redita tapi wanita itu tidak menjawabnya. Baru kali ini Merlin diabaikan oleh putrinya sendiri. Membuat hati seorang ayah bak diregas sakit luar biasa mengingat ia putri satu-satunya yang hampir tidak pernah macam-macam hingga dewasa.
Martin menoleh kepada Merlin yang sedang memegang ponselnya dengan raut muka sedih. Pria tua itu menatap wallpaper berhiaskan wajah Redita berumur lima tahun sedang tertawa tanpa beban di dalam gendongan Merlin.
Martin mengernyit heran. Pria itu pun memberanikan diri bertanya kepada Merlin, "Tuan, apa yang sedang anda pikirkan?"
"Martin, aku merindukan Redita kecilku," sahutnya pelan.
"Hubungi Antony, Tuan. Dia pasti masih membuntuti Nona Muda," kata Martin lagi.
"Baiklah, aku akan menghubungi dia walaupun satu jam yang lalu aku sudah menghubunginya," sahut Antony menghela napasnya kemudian mengambil ponsel dari balik jas dan menghubungi Antony.
Belum sempat panggilan itu terjawab, tiba-tiba saja pintu gerbang mansion terbuka. Jonathan, salah satu mafia penjaga mansion Merlin membuka gerbang dengan remote control yang dipegangnya. Dua buah mobil masuk ke dalam halaman mansion.
Redita dan Radit keluar dari mobil sedan merah yang masuk pertama kali. Air muka mereka tampak bahagia dengan jemari yang saling menggamit begitu erat. Tidak lama Antony dan Aron keluar dari mobil sedan hitam yang terparkir di belakangnya. Mereka tampak sedikit lelah mengikuti pasangan itu pergi ke sana dan kemari.
"Nona sudah pulang, Tuan." Martin memberi tahu Merlin saat ia melihat CCTV di dekatnya. Melihat dua mobil yang masuk ke dalam halaman mansion.
Merlin hanya mengangguk kemudian bangkit dari duduknya menyadari anak perempuan satu-satunya telah kembali. Dia mengambil sebuah alat yang menghubungkan suaranya dengan megaphone yang terpasang di halaman mansion.
"Dilarang bermesraan di halaman mansion!" serunya.
Suara itu sontak terdengar ke segala penjuru. Membuat pasangan itu langsung melepaskan genggaman tangan mereka dengan wajah tersipu. Begitupun dengan para mafia junior yang sedang berlatih tembak. Mereka sontak menghentikan latihannya tatkala mendengar suara Merlin yang menggema lantang.
"Teruskan tembakannya!" tegas Martin kembali saat mereka menurunkan senjata.
"Siap, Pak!" Serentak mafia junior itu menjawab tegas.
Redita memejamkan mata gemas. Umurnya boleh matang tapi gerakannya terbatas jika menyangkut hubungan asmara. Apalagi jika sang ayah sudah ikut campur. Membuatnya malu setengah mati.
"Maafkan aku, Sayang," kata Redita malu menatap wajah Radit.
"Tidak apa," sahut Radit dengan senyum manisnya.
Mendengar suara sang suami yang menggema, ikut membuat Elena keluar dari mansion. Tangannya menekan handel pintu membuka pintu utama. Wanita itu mengenakan mantel merah yang membalutnya anggun. Menatap Redita dan Radit bergantian dengan sedikit pongah. Dia lalu mengibaskan kipas dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya terulur kepada Radit. Pria itu meraih tangan Elena dan mencium punggung tangannya yang mulus.
"Ke mana saja kalian hari ini? Andrew melapor padaku kalau Redita sudah tidak berada di kantor sejak pukul tiga sore," tutur Elena.
"Kami pergi ke danau Plitvices, Nyonya," jawab Radit jujur.
"Oh, tempat romantis itu ...."
"Ya, tidak ada yang tidak tahu danau itu jika bermukim di kota Little Heaven," sahut Radit dengan senyum menggodanya.
Elena melihat sosok gagah di hadapannya itu dari ujung kaki hingga kepala. Pria itu terlihat semakin tampan di mata ibu kandung Redita itu. Dia hampir terpesona oleh magnet ketampanan yang terpancar dari fisik Radit.
Sementara itu Antony dan Aron masih berdiri di dekat mereka. Memerhatikan tingkah Elena di depan anak perempuan dan kekasihnya yang berubah, tidak lagi menaruh curiga kepada Radit.
"Sepertinya Radit berhasil mengambil hati Nyonya Elena, An," bisik Aron di telinga Antony.
"Entahlah. Wajahnya memang tampan dan bisa menghipnotis semua wanita yang memandangnya tapi kita tetap harus hati-hati. Tuan Merlin selalu mengajarkan kita untuk selalu waspada kepada setiap orang yang kita temui, bukan?" sahut Antony balas berbisik.
"Ya, An. Apa kau mau tetap di sini saja melihat mereka?" tanya Aron lagi.
"Iya, sampai Nona Redita mengusirku. Kau bisa kembali ke ruang kerjamu Aron atau kau bisa membantu Martin mengajar para mafia junior di lapangan tembak malam ini," sahut Antony menoleh ke arah Aron.
Mata Antony membulat saat melihat Merlin berjalan menghampiri mereka ke halaman mansion yang luas. Sontak Antony menunduk memberi hormat. Aron ikut memberi hormatnya saat ia mengikuti pandangan Merlin yang mengarah ke belakangnya.
Merlin berjalan penuh wibawa ke halaman. Memandang Semua orang yang berada di sana satu per satu. Mereka semua terkesiap melihat sosok pria tua itu karena jarang sekali Merlin berada di luar mansion.
"Ayah ...," ucap Redita ketika mata lentiknya ikut mengerling melihat Merlin sudah berdiri di belakang Radit.
Sang ayah hanya terdiam begitu dingin menatap. Elena bergegas menghampiri suami tercinta dan menggamit mesra lengan kekar itu. Sedangkan Radit, terlihat santai setelah sebelumnya terkesiap selama lima detik. Tubuh atletisnya menunduk memberi salam.
"Selamat malam, Tuan Merlin Darmawan. Senang bertemu dengan anda lagi," katanya memberi salam.
"Malam, Radit. Terima kasih sudah mengantar putriku. Kamu bisa pulang sekarang," ucap Merlin dingin sambil mengisap cerutu yang masih berada di tangannya.
"Ayah!" protes Redita yang tidak suka Merlin langsung mengusir Radit begitu saja.
"Ada apa, Nak? Kalian sudah bersama hampir seharian ini. Meninggalkan pekerjaanmu di kantor dengan seenaknya dan mengabaikan panggilan ayahmu sejak tadi. Huh! Kini putriku tidak anggun dan profesional lagi. Semua akibat bergaul dengan pria ini." Mata Merlin melirik kepada Radit sejenak lalu menatap dingin kepada Redita.
Redita hanya bisa diam membungkam mulut mungilnya. Jika Merlin sudah berkata seperti itu, artinya ia memang sudah menahan marah kepadanya sejak tadi. Redita memang sengaja tidak menjawab panggilan sang ayah. Hari ini dia tidak ingin diganggu sama sekali oleh siapa pun karena sangat ingin berdua saja menikmati kebersamaan dengan Radit.
"Bagus, kamu mengetahui kesalahanmu, Nak," tambah Merlin.
"Sayang, bukankah itu terlalu berlebihan. Berikan waktu untuk mereka saling mengenal pribadi masing-masing. Bukankah kau sudah sepakat kemarin?" Elena melerai.
"Iya, tapi aku tidak suka diabaikan, El." Jawaban Merlin sontak menghujam langsung jantung Redita. Seketika ia pun merasa bersalah saat itu juga.
Radit yang mendengarkan pertengkaran antar anggota keluarga itu langsung merasa tidak enak. Dia pun menyela pembicaraan dan mencoba mendinginkan api kemarahan Merlin.
"Tuan Merlin, maafkan saya. Sebenarnya tadi saya yang tidak memperbolehkan Redita mengangkat telepon dari siapa pun karena saya hanya ingin berduaan saja dengannya tanpa ada yang mengganggu. Sungguh, Redita tidak bersalah. Saya begitu teramat mencintainya hingga berani melakukan hal yang tidak terpuji. Maafkan saya, Tuan," bela Radit dengan berbohong kepada Merlin.
Merlin menunjukkan setengah senyumnya. Berjalan mendekati Radit hingga mereka berdiri sangat dekat. Segera meraih kerah kemeja krem milik pria itu. Tanpa ragu mendaratkan sebuah pukulan di wajah tampan itu.
Bugh!