Danau Plitvices, danau yang indah, tenang, dan sedikit beriak. Pantulan matahari memberi warna kehijauan pada air danau itu. Angin semilir membuat suasana menjadi lebih dingin. Tempat itu dikelilingi oleh hutan pohon maple yang daunnya sudah mulai berguguran. Beberapa pasang kekasih tampak sedang bercengkerama memadu kasih dan keakraban di pinggiran danau itu.
Salah satu pasangan kekasih itu adalah Redita dan Radit. Mereka duduk di sebuah bangku panjang pinggir danau Plitvices. Memandang ke arah danau, dua pasang kekasih sedang menaiki kano mengelilingi danau yang luas tersebut. Redita mengeratkan mantel coklatnya saat angin semilir mulai terbiasa menerjang tubuhnya. Dia duduk bersandar di samping Radit.
Mereka mencuri-curi waktu bertemu saat masih berada di jam kantor. Rambut panjang Redita dibiarkan terurai hingga menyentuh mantel hitam milik Radit. Pria itu menangkupkan wajah Redita hingga menyentuh dan bersandar pada bahunya. Menyampirkan rambutnya di sela telinga Redita.
Radit menggamit telapak tangan Redita, merasakan punggung tangannya yang mulai mendingin. Saat itu juga pria tampan itu membimbingnya masuk ke dalam saku mantel hitam miliknya hingga tangan Redita menghangat di dalamnya. Redita sontak menoleh lembut wajah kekasihnya itu lalu tersenyum.
"Kamu tahu, Sayang. Aku sangat berharap waktu berhenti saat ini juga," ujar Redita tulus. Manik matanya berbinar memandang Radit—sang kekasih.
"Loh kenapa, Sayang?" tanya Radit heran.
"Aku ingin selalu berada di dekatmu. Hanya berdua tanpa anggota mafia ayah," sahut Redita dengan seulas senyuman.
Radit membalas lengkungan kedua sudut Redita itu dengan lengkungan senyum yang lebih lebar. Kepalanya lalu memutar dan melihat sekeliling. Dari kejauhan melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam terparkir tidak jauh dari mobilnya. Radit kemudian menoleh lagi kepada Redita. "Aku rasa Antony mengawasi kita saat ini."
"Selalu dan selalu. Aku sebenarnya heran, apa dia tidak ingin mengambil jatah libur? Walaupun ayahku mafia, tapi dia tidak akan menjadi seorang mafia untuk anak buahnya sendiri …," sahut Redita kemudian terdiam.
"Kenapa jadi diam?" tanya Radit menoleh ke bahunya. Wajah cantik itu masih bersandar di bahunya.
Redita menarik kepalanya lalu memandang wajah Radit. Terpancar sebuah rasa ragu di wajahnya. "Ehm … Sayang, apa kedua orang tuamu tidak keberatan kalau kamu menjalin hubungan denganku? Seorang anak dari bos mafia?" tanya Redita ragu.
"Orang tuaku sudah tidak ada."
"Maaf, aku sungguh tidak tahu. Aku jadi tidak enak padamu," tanggap wanita itu menundukkan pandangannya.
"Hei, hei, tidak usah tidak enak begitu. Mereka sudah lama meninggal," sahut Radit tersenyum kecil. Tangannya terulur mengacak-acak puncak kepala Redita dan segera meraih dagu wanita itu hingga pandangan mata mereka saling bertemu.
"Jadi, kamu hidup dengan siapa sekarang?"
"Sendiri, di mansion peninggalan kedua orang tuaku."
Senyum wanita itu pun terbit kembali menatap wajah tampan Radit dengan berseri-seri. Radit balas tersenyum. Dia lalu mendekatkan wajahnya hingga berjarak lima sentimeter dengan wajah Redita kemudian terhenti sejenak, terlihat ragu. Redita menangkap sinyal yang diberikan Radit. Wanita itu tahu kalau Radit akan menciumnya. Dia pun menutup kedua matanya.
Redita menghitung sampai lima di dalam hatinya. Bibir itu belum juga tersentuh oleh bibir merah muda alami Radit. TIdak lama, ia merasakan benda kenyal merah muda itu menempel di dahinya. Menyentuh lembut kulit putih Redita dalam hitungan tiga detik saja.
Redita membuka matanya. Wajahnya memerah tersipu malu. Dia sudah berharap akan mendapatkan ciuman pertama dari Radit tapi pria itu tidak melakukannya dan malah menyematkan sebuah ciuman di dahinya.
"Ehm, aku pikir kamu akan menciumku, Sayang. Tapi ternyata kamu hanya menyematkan bibirmu di dahiku," kata Redita terang-terangan. Sosoknya menjadi lebih cuek terhadap Radit setelah pria itu sedikit membuka jati dirinya.
"Apa kamu ingin aku melakukannya? Di sana ada Antony yang terus melihat ke arah kita." Radit menengok ke arah mobil Antony. Redita mengikuti pandangan Radit dan mendapati mobil sedan keluarga Merlin terparkir di sana.
Redita mengembuskan napas berat. Sekali lagi rasanya dia tidak akan pernah bisa lepas dari pantauan pengawalnya itu karena Antony tetap memantau dirinya dari jauh. Wajahnya kemudian menunduk kecewa.
Sebagai seorang lelaki normal, Radit pun tergoda untuk menyesap indahnya bibir Redita dengan lipstick merah menyala yang menggodanya. Wajah tampan itu pun menatap wajah Redita seraya tersenyum nakal.
"Kita pergi dari sini!" katanya.
"Ke mana?"
Tanpa menjawab, Radit meraih lengan Redita membawanya berjalan di pinggir danau yang luas itu. Mengitarinya sampai ujung danau hingga keberadaan mereka tidak akan terlihat oleh Antony. Radit lalu membawa Redita masuk ke dalam hutan pohon maple. Berjalan bergandengan tangan di sana. Situasinya sepi, tidak ada orang lain di sana.
Perjalanan mereka terhenti di sebuah pohon maple besar. Radit mengulurkan sebelah tangannya hingga menempel batang pohon besar itu. Menghimpit Redita berdiri dan terkunci. Wajah Redita memerah seketika. Menunduk malu tidak mau melihat sang kekasih.
"Aku di depanmu. Memandangmu dengan penuh kekaguman akan ciptaan Tuhan yang sempurna. Maukah kamu memandangku dengan cara yang sama, Sayang?" tanya Radit seraya memegang dagu Redita, meminta wanita itu menatap wajahnya. Menunggu jawaban wanitanya yang masih malu-malu memandang wajah pria itu dari dekat.
***
Antony bergegas keluar dari mobil saat ia tidak bisa menangkap sosok Redita dan Radit yang duduk di bangku panjang itu. Aron yang melihat sahabatnya keluar dengan tergesa-gesa pun ikut membuka pintu mobilnya setelah sebelumnya menaruh snack-nya di atas dashboard mobil.
"Sayang, aku akan segera kembali untuk memakanmu. Tunggulah aku dengan sabar," pesan Aron pada benda mati tersebut. Dia memang sudah gila. Hobinya mengemil segala jenis makanan ringan yang akan ia anggap sebagai kekasihnya jika ia sangat menyukai makanan itu.
Antony meninggalkan sahabatnya itu jauh di belakang. Langkah panjangnya begitu cepat hingga tidak sadar telah meninggalkan Aron yang memang sedikit lelet untuk urusan intai-mengintai secara langsung karena pria itu lebih hebat mengintai di dalam sebuah komputer. Tubuhnya yang sedikit gempal membuatnya kurang lincah bergerak.
"An, tunggu aku!" teriak Aron.
Antony tidak peduli. Terus berjalan masuk ke dalam area danau Plitvices. Bergegas mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada sosok Radit dan Redita di sana. Antony segera menghubungi Redita. Namun, dia tidak mengangkatnya.
"Haish! Pacaran sih pacaran … tapi jangan membuat panik seperti ini, Nona," keluhnya dalam hati.
"An, tunggu!" Suara Aron terdengar. Kali ini Antony menengok ke belakang. Tampak Aron yang berlari dengan terengah-engah.
"Lelet sekali langkahmu, Ron!" omelnya.
"Jika aku cekatan sepertimu, nanti tidak ada intel di keluarga Merlin," sahut Aron asal. Terkadang ia juga kesal disebut lelet oleh sejawatnya.
"Merajuk saja kau! Ayo cari Nona Redita," ucap Antony.
Aron hanya bisa mengangguk patuh. Mereka pun berkeliling ke sekitar danau lalu masuk ke dalam hutan maple. Mata mereka membelalak saat melihat sejoli itu sedang kasmaran dan berciuman di bawah pohon maple yang rindang.
"Nona Redita!" Tanpa aba-aba Antony memanggil nona mudanya dengan suara lantang.