"Apa yang kau katakan pada Arra sebenarnya Vio." Fian sama sekali tidak paham atas kemarahan Arra padanya, bahkan laki-laki itu masih terus bertanya-tanya apa saja yang Vio katakan pada Arra sampai perempuan itu sangat marah dan mengatakan kalimat kasar pada Fian untuk pertama kalinya.
Yang Fian tahu, Arra perempuan yang manis. Tidak pernah mengatakan kebenciannya pada seseorang seperti sebelumnya, tidak pernah semarah tadi dan mata tajam Arra yang menatap padsnya menjelaskan jika perempuan itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Apa? Aku tidak mengatakan apapun." Sama seperti sebelumnya Vio selalu menjawab dengan refleks yang baik jika perempuan itu memang tidak mengatakan apapun selain menasihati temannya juga. "Kenapa Arra marah padaku? Aku ingin meminta maaf atas namamu, namun sebelum aku melakukannya sepertinya kau dan Arra sudah berbicara."
"Apa yang kau katakan pada Arra sebelum aku datang, Vio?" Fian masih ingin tahu apa yang Vio katakan pada Arra sebelumnya karena dia cukup terkejut dengan apa yang dia dapatkan tadi.
"Aku tidak mengatakan apapun."
"Aku hanya menasihati Arra jika apa yang dia lakukan dengan Kak Kevin di jam istirahat bukanlah perbuatan yang benar, aku hanya---" Belum selesai dengan ucapannya Vio dibuat terkejut karena Fian melakukan gerakan menujuk wajahnya dengan jari telunjuknya pada Vio dengan mata menajam juga.
"Apa-apaan, dengan jarimu?" tanya Vio menurunkan jari telunjuk Fian yang menuding wajahnya dengan tiba-tiba membuat Vio kesal melihatnya. "Perlakuanmu sama dengan perlakuanmu pada Arra tadi."
"Jika kau temannya, jika kau sahabatnya kau harus mendengarkannya. Kita belum mendengar apa yang Arra katakan, bisa saja ciuman tadi terjadi karena kecelakaan, apapun bisa terjadi. Tuhan maha pemaaf, apakah kau juga tidak bisa memberi Arra kesempatan untuk menjelaskannya? Kejadian ini belum tentu benar, kalaupun benar kita bisa memaafkan Arra. Jangan langsung menuduh dan menudingnya seakan-akan Arra memang melakukan kesalahan yang besar." Mata Fian yang saat ini berusaha menjelaskan pada Vii dengan bahasa bayi yang sangat halus dan lembut agar tidak tersinggung memilih untuk mengulangnya. "Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, Vio."
"Niatku datang ke kelasnya ingin mengajaknya pulang bersama karena aku tidak sengaja berpihak padamu karena posisi mereka memeng sangat dekat dan berhadapan, tapi aku belum mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada Arra dan juga Kak Kevin. Kau egois jika seperti ini," ucapnya dengan lebih panjang apa yang dia katakan daripada yang dia ekspresikan.
"Apa kau tahu?" tanya Fian melihat sekeliling kelas dimana Vio dan Fian memilih untuk berbicara di dalam daripada di luar dna menjadi tontonan siswa yang belum pulang dari sekolah. "Kenapa? Apa aku egois lagi?" tanya Vio yang saat itu kesal karena niat baiknya pada Arra justru dituduh dengan kejahatan yang dangat fatal.
"Aku tidak akan pernah mau datang ke kelas ini jika kelas ini bukan kelas Arra," ucapnya sebagai penjelasan jika Fian tidak akan repot-repot datang ke kelas Arra jika mereka tidak berteman baik. Semua itu membuang waktu Fian sebenarnya.
Selain tata letak kelasnya yang cukup bebreda dua kelas dan harus memutar dan kembali ke kelasnya untuk menuruni tangga pergi ke parkiran Fian tidak akan pernah melakukannya jika iyu bukan karena Arra.
"Jadi maksudmu jika aku tidak satu kelas dengan Arra kau tidak akan datang ke kelasku?" tanya Vio membuat Fian terkekeh kecil, laki-laki itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban paling benar. "Tentu saja."
"Tidak ada yang bisa diharapkan dari itu, Vio. Kau tahu alasanku melakukannya, kenapa kau terus menutup matamu sendiri?" tanya Fian membuat Vio muak dengan apa yang dia lakukan selama ini. Topengnya terlalu tebal ternyata.
"Tidak mungkin juga jika kau menyukai Arra," celetuk Vio membuat Fian memutar bola matanya malas, mata tajammya kali ini mengintimidasi Vio. "Kita bertiga berteman, Vio."
"Kau, Arra, aku. Aku rasa jika aku menyukai Arra itu sudah sangat wajar, apapun bisa terjadi." Fian menegaskan jika apa yang dia katakan dan dia rasakan tidak ada yang salah sama sekali, baginya dia tidak salah, dan bagi oleh lain dia salah. Tapi itu sama sekali tidak membuat Fian menyesal, laki-laki itu tidak perduli sama sekali.
'Kenapa dia tidak pernah mewajarkan apa yang ku lakukan dan berikan padanya juga memilih arti yang sama jika aku menyukainya sama seperti dirinya menyukai Arra?'
"Dasar bodoh kau Vio," gumamnya membuat Fian melihat ke arah Vio seperti mendengar sesuatu. "Ku mengumpat?" tanya Fian memeriksa apakah pendengarannya ada yang salah. "Tidak."
"Aku hanya sedang memikirkan apakah Arra akan menyukaimu balik jika tahu sifat bar-bar dan kasarmu padaku yang jauh berbeda saat kau memperlakukan Arra dengan dangat manis dan aku jika di depan Arra saja."
"Sepertinya Arra akan sangat menyesal pernah memiliki teman dan sahabat sepertimu. Itu hanya firasatku saja," ucap Vio berjalan menjauh meninggalkan Fian di kelasnya dan berjalan menuju gerbang depan untuk pulang, hanya saja Fian terlihat mengekorinya.
Keduanya mulai berjalan menuju tempat yang sama, Fian dan Vio harus melewati kelas duabelas untuk sampai di parkiran tempat Fian menyimpan motornya dan juga Vio yang berjalan lurus ke gerbang tempatnya di jemput oleh supirnya.
Baru beberapa langkah keduanya memilih untuk tetap dia di satu tempat Vio dan Fian dibuat terdiam tidak berkutik dengan apa yang dia lihat.
Ada Arta dan juga Kevin yang membawa masing-masing buku paket milik kakak tingkat mereka. Tangan Kevin mengepal erat dan keras, tatapan mata yang ingin langsung menghunus mata kakak tingkatnya hampir tidak bisa Fian urus.
Bahkan saat keduanya sampai melewati Fian mulai menghentikan langkahnya, matanya melihat punggung Arra dan juga Kevin. Dimana perempuan itu benar-benar terlihat jelas jika sedang tidak baik-baik saja.
"Sepertinya kau sengaja membuat pertengkaranku dengan Arra rusak," ucap Fian pada Vio saat itu dia melihat dengan jelas jika Arra benar-benar menjauhi keduanya untuk bebricaar serius satu sama lain.
"Aku tidak merasa aku melakukannya," jawan Vio santai kembali membalas apa yang Fian katakan padanya untuk terus menyalahkannya setiap saat juga.
"Itu karena kau memang seperti itu," balas Fian kesal memilih berjalan lebih jauh meninggalkan Vio saja daripada harus banyak berdebat, memberi setidaknya sedikit kesempatan dan peluang untuk Fian tirak bertemu dengan Vio setiap saat juga.
Sampai di tempat parkir Fian pada akhirnya berjalan menuju montornya, tidak lama dari itu juga Fian mengendarai montornya tanpa suara setelah menggunakan helm keselamatan untuknya juga.
"Harus sampai kapan aku berdekatan dengan benalu seperti Vio hanya untuk dekat dengan Arra." Fian benar lelah melakukannya, tiga bulan lamanya sama sekali tidak memberinya apapun, bahkan Fian menjadi semaiin dekat, lalu menjauh dan selalu seperti itu sebenarnya.
Menyalakan montornya dan mulai mengendarinya Fian pada akhirnya keluar dari sekolah dengan motor miliknya.
Hanya saja ada saja halangan dimana laki-laki itu melakukan kesalahan untuk dirinya sendiri.
Si benalu Vio.
"Tunggu! Tunggu! Tunggu!" Perempuan itu menghentikan laju motor milik Fian tepat di tengah-tengah jalan gerbang yang sangat luas.
Sebenarnya Fian ingin menghindar dengan mengambil jalan di tengah, sayangnya Vio benar-benar tahu apa yang akam Fian lakukan untuknya.
"Apa aku boleh ikut?" tanya Vio dengan wajah sangat kelelahan karena cuaca yang mulai panas dan juga terlalu lama berdiri di gerbang menunggu supir untuk menjemputnya.
"Apa kau tidak bisa satu kali saja tidak menyusahkanku?" tanya Fian dengan sedikit dongkol setengah mati justru mengembalikkan pertanyaan untuk Vio. "Supirku tidak bisa menjemputku, Fian." Vio kembali memberi alasan yang sama dimana Fian mulai jengah dengan apa yang dia lakukan setiap Fian meminta Arra untuk pulang bersama dengannya.
"Apa kau sebenarnya punya supir pribadi? Setiap aku pulang sendiri atau akan pulang dengan Arra kau selalu menggangguku," kesalnya semakin menjadi-jadi pada Vio membuat perempuan itu hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Aku memiliki supir di rumah, hari ini supirku tidak bisa menjemputku karena harus mengantarkan makan siang untuk ayahku." Fian memutar bola matanya malas, pada akhirnya laki-laki itu membiarkan Vio untuk naik ke jok motornya dan membiarkan dirinya harus membuang bensin untuk mengantarkan Vio untuk yang kesekian kalinya juga.
"Haruskah aku menurunkanmu di lampu merah saja?" tanya Fian sedikit kesal bagaimana Vio selalu merepotkannya setiap saat. "Aku bisa saja menelfon ibumu karena--"
"Sialan," umpatnya kesal begitu Vio selalu menggunakan cara yang sama untik mengancamnya. Sebenarnya ini memang perlakuan bodoh milik Fian. Jika saja yang Fian ajak ke rumah Arra bukan Vio ancaman ini tidak akan pernah ada.
Ini semua memang gara-gara si benalu licik Vio.
"Kau senang kau bisa mengancamku?" tanya Fian pada Vio saat perempuan itu sudah duduk aman di jok montor milik Fian. "Tentu saja," jawabnya.
Baru saja Fian akan menjalankan montornya klakson montor milik kakak tingkatnya mengalihkan oerhatian sebagian orang karena suara keras dsn bisisngnya montor tersebut keluar dari halaman sekolah.
Dengan satu penumpang yang membuat Fian semakin geram dengan apa yang Vio lakukan padnaya lagi. "Apa ini rencanamu menjauhkanku dari Arra, Vio?"
Vio yang sama terkejutnya seperti Fian mendapat desakan dan tuduhan tidak menyenangkan dari Fian mulai lelah, perempuan itu hanya memilih untuk diam dan membiarkan Fian mengendarai motornya dan mengantarkannya pulang dengan selamat.
Benar saja, tidak ada pembicaraan apapun antara Fian dan Vio sampai Fian mengantarkan Vio ke rumahnya. Vio yang turun dari motor Fian dan bagaimana Fian langsung berjalan meninggalkan rumah Vio tanpa menunggu apa yang akan Vio katakan untuknya.
Vio menghela nafasnya berat. "Terimakasih Fian."
"Setidaknya aku bisa memonopolimu sekarang, aku tidak tahu apakah aku bisa bersamamu untuk waktu yang lama. Untuk sekarang, izinkan saja aku untuk egois." Vio tersenyum miris, dia membalikkan tubuhnya menuju rumahnya tidak ada supir di rumahnya, sebenarnya supir Vio selalu menunggu Vio di sekolahnya sejak berangkat ke sekolah.
Vio hanya terlalu pintar untuk melakukan manipulasi yang licik untuk membuat dirinya bahagia.
"Karena aku membutuhkan semua itu."