Niat ingin mempermainkan Arra dan menakut-nakuti perempuan itu berakhir kacau karena kejahilan Tyo yang tanpa sengaja dia lakukan karena merasakan halnya begitu menghangat melihat sikap Eun Ra yang begitu tulus dan lugu itu padanya.
Sayangnya laki-laki yang sama seperti sebelumnya datang lagi, kembali menegur Arra karena perempuan itu masih bersama dengannya, memarahinya sedikit dan menasihatinya. Sejujurnya sejak tadi pun Arra sama sekali tidak menemani Tyo, bahkan niat awal yang seharusnya pulang makan siang saja menjadi terlalu gila karena pria itu tidak ingin terjadi masalah besar diantara dirinya dengan kakak laki-lakinya dan juga ayahnya
Jika hanya ingin membanding-bandingkan prestasi Tyo dengan kakak laki-lakinya tentu saja Tyo tidak bisa dan tidak mau menerima semua masalah pribadinya setelah jam makan siang akan dimulai niat awal Tyo akan pulang, namun mendapat pesan dari Ary kakak laki-lakinya Tyo mengurungkan niatnya mendengar jika ayah dan ibunya juga akan pulang dan makan siang bersama.
Tyo bahkan benar-benar nekat dengan tidak pulang dan mandi memilih untuk membiarkan dirinya ada di kafe tersebut tanpa melakukan apapun.
Bahkan melihat mata yang terus melirik pada Arra yang dengan tidak malu juga ikut turun tangan melayani pelanggan yang beberapa kali datang.
Semua terjadi begitu natural, laki-laki itu datang, Tyo yang mendapatkan kehangatan hati dan ketulusan Arra memberi pengertian pada kakak tingkatnya, jika Tyo bukanlah pria yang jahat yang akan membuat luka pada sebagian kulit Arra.
Tapi jika boleh memuji, laki-laki itu benar-benar sangat berani hanya sekedar mengatakan jika dia mengkhawatirkan Arra.
Mengingat kembali bagaimana pria lebih dewasa dari kakak tingkatnya datang, marah, melihat ke arahnya dengan tatapan benci, dan melirik dengan kesal bagaimana Tyo hanya memegang tangan Arra tanpa bermaksud menyakiti membuat Tyo menyadari kesalahannya.
Melupakan bagaimana Giral berbicara pada Tyo mengenai bagaimana Arra diperlakukan dikeluarganya membuat Tyo menyadari kesalahannya.
Mungkin tarikan tangannya tidak kencang, dan tidka menyakiti permukaan kulitnya. Hanya saja siapapun akan merasa marah jika adik perempuannya terlihat seperti DILECEHKAN di depan matanya walaupun hanya memegang. Tyo menyadarinya, dia tahu bagaimana Arra terlihat ketakutan dan kesal karena ini adalah kali pertamanya dia ditarik mungkin cukup kasar baginya dan membuatnya terkejut dan takut juga.
"Apa masalahku sekarang," keluh Tyo menyadari jika dia membuat masalahnya semakin rumit bahkan saat dia datang dengan kebutuhannya dan dia pergi dengan membawa masalah yang serius untuknya pribadi.
"Aku akan meminta maaf melalui Kak Giral nanti," gumam Tyo saat dia tidak memiliki pilihan lain agar dirinya tidak lagi mendapat masalah baru dan memklarifikasi antara dirinya dengan keluarga Arra juga.
Tyo menghela nafasnya berat, pria itu memilih untuk tetap pada pendiriannya. Menolak seberapa mengerikannya kemarahan ayah dan kakak laki-lakinya Tyo pada akhirnya memilih bangkit dan berjalan menuju kasir. Saat baru saja akan bertanya mengenai total pembayaran karyawan yang berjaga di kasir justru berbicara memotongnya.
"Permisi, nona Arra bilang pembelian atas nama Tyo sudah dianggap lunas karena kalian memiliki ikatan dan kenalan yang baik dengan nona Arra. Sebelum nona Arra pulang dia sudah mengatakan itu pada saya, jadi kau tidak perlu membayarnya. Terimakasih sudah datang di kafe ini."
Pihak kasir bahkan mengatakan jika apa yang dia makan, apa yang Tyo pesan, dan apa saja yang Tyo lakukan di sana benar-benar tidak perlu membayarnya. "Untuk koreksi, jika kau datang saat tidak bersama nona Arra kau masih bisa membayar seperti biasanya, nona Arra mengatakan hanya untuk hari ini." Wanita itu memberi sedikit penjelasan agar Tyo tidak berpikir macam-macam mengenai caffe tersebut.
"Bisa kau terima saja uangnya?" Merasa tidak nyaman dengan perlakuan Arra karena pria itu sudah sedikit melukai tubuhnya pada akhirnya Tyo lebih memilih untuk tetap membayar makanan dan minumannya juga. "Maaf, tapi kami tidak bisa menerima pembayaran jika nona Arra sudah memintanya."
Tyo menghela nafasnya berat, pria itu benar-benar merasa semakin bersalah jika dia menerima traktiran dari Arra. Dari usianya yang masih remaja, dan bagaimana perempuan itu merengek padanya benar-benar membuat Tyo semakin tidak yakin dengan semua itu.
"Maaf menyalahi pekerjaanmu, tapi izinkan aku tetap membayarnya." Tyo pergi dengan memberikan uang limaratus ribu dan berjalan keluar dari kafe tersebut membuat kasir tadi benar-benar terkejut dengan uang yang dia dapatkan lebih dari dua kali lipat dari yang pria tersebut pesan. "Astaga, aku akan mendapat masalah sekarang."
Tyo bukannya tersinggung, hanya saja jika Tyo menerima semua itu dirinya akan semakin tersakiti mengingat apa yang baru saja dia lakukan pada Arra. Hal kecil memang, hanya saja pria itu sama sekali tidak bisa melakukan apa yang seharusnya dia dia lakukan.
"Shit." Ya, Tyo terus mengumpat dalam perjalanannya, pria itu bahkan tidak bisa melupakan apa yang dia lakukan karena membuatnya semakin tidak baik- baik saja.
"Dosa apa yang sebenarnya aku lakukan," kesal Tyo kembali mengingat hal yang sama yang lagi-lagi mengganggu pikiranya. Perjalanannya cukup cepat, saat Tyo hampir sampai rumahnya lagi-lagi pria itu mendapat sambungan telefon dari seseorang membuat Tyo menghela nafasnya berat.
"Darimana kau, Tyo?" Itu suara ibunya, setelah membiarkan ponsenya tidak mengganggunya Tyo pada akhirnya mengangkat telfon dari ibunya. "Aku sedang dalam perjalanan, ibu."
"Oh ya? Dan sejak tadi pagi kenapa kau masih belum pulang? Kau pergi jalan pagi?" Tidak ada jawaban, Tyo hanya mempercepat langkahnya dan melihat sedekat apa rumahnya karena sebentar lagi dia akan sampai. "Ibu, aku sebentar lagi akan sampai. Aku tutup dulu telfonnya." Tyo mematikan sambungan telefonnya dan melanjutkan langkahnya memilih tetap diam dengan mulutnya dan langkahnya yang semakin cepat.
Pria itu harus pulang, datang ke rumah, masuk ke kamar, dan mandi. Tyo tidak begitu perduli apakah Ary masih ada di rumahnya begitupun dengan kakak ipar perempuannya, yang Tyo inginkan hanya itu sebenarnya.
"Selamat malam tuan." Beberapa orang yang menyambut kedatangan Tyo hanya dianggap angin lalu bagi pria itu, selebihnya dan setelahnya Tyo hanya langsung berjalan masuk ke rumahnya dan ingin langsung pergi juga ke kamarnya, namun langkah kakinya terhenti.
Diberhentikan.
"Aku mengirim pesan tadi pagi, apa kau tidak membacanya?" Iya, itu suara kakak Tyo yang sedang duduk di sofa ruang keluarga dengan istrinya yang sedang duduk di sampingnya, mereka sedang menonton acara televisi.
"Aku membacanya," jawab Tyo dengan wajah malas melihat jika kakak laki-lakinya ada di rumah, maka ayahnya juga memiliki kemungkinan yang sama juga. Karena ini adalah weekend.
"Lalu, kenapa kau tidak pulang?" Tyo menghela nafasnya berat, pria itu mengangkat bahunya malas memperpanjang masalah dan memilih berjalan naik menuju kamarnya saja.
"TYO!" Seseorang mengintrupsi Tyo dengan suara keras karena dia dari sisi lain meminta perhatian pada anak laki,laki bungsunya. "Aish." Bahkan Tyo hanya bisa mengumpat kesal mengingat apa yang sedang terjadi diantara dirinya dengan ayahnya lagi.
"Aku lelah, apakah aku harus memperjelas juga?" Ya, itu suara Tyo yang melihat ayahnya berjalan ke arahnya dengan mata yang sedikit keluar karena marah. "Tidakkah sopan jika weekend yang seharusnya kau habiskan waktu bersama keluargamu justru kau buang waktumu untuk pergi ke suatu tempat dari pukul tiga pagi sampai pukul sembilan malam seperti ini, Tyo?"
Ah, ayahnya benar. Ini salahnya, hanya saja Tyo sedang dalam masalahnya sendiri. Pria itu memiliki masalahmya sendiri sejak tadi, dan seharusnya ayahnya tidak perlu menambahinya lagi.
"Ayah, aku juga butuh hiburan sendiri. Aku selalu sibuk dengan kuliahku, ayah dan ibu sibuk dengan pekerjaan kalian, dan Kak Ary juga sibuk dengan keluarganya."
"Apa aku salah menyibukkan diriku sendiri dengan kesenanganku?" Ayah Tyo terlihat tidak suka, pria itu memutar bola matanya malas melihat apa yang dia dapatkan setelah membesarkan bayi dan membiarkan pria itu dewasa dengan cukup berani.
"Bukan seperti ini caranya," ucap ayahnya yang tidak terima dengan cara anak bungsunya bersenang-senang, Tyo berjalan meninggalkan ayahnya menuju kamarnya sendiri untuk mandi atau setidaknya dia akan turun untuk makan malam bersama.
Jika bersama.
"Sayang, kecilkan suaramu. Kau terlalu keras pada putra bungsu kita," ucap wanita itu meminta pada suaminya untuk tidak meninggikan suaranya saat berbicara pada anak laki-lakinya, pria tadi terlihat tidak terima, dia mengurut kepapanya karena kesal.
"Aku sengaja meluangkan waktu berkerjaku untuk dirinya, dan anak itu selalu saja menganggap semua itu mudah. Aish, anak itu benar-benar." Kesal dengan skap Tyo pada akhirnya pria itu memilih berjalan pergi menuju kamarnya membiarkan istrinya mengurus sisanya.
Sudah jam makan malam sebenarnya, dan hanya saja semuanya sudah menunggu kepulangan Tyo untuk makan malam. Tidak bisa selalu meluangkan waktu, mereka semua sibuk. Dan tidak selalu mendapat libur juga setiap minggunya, biasanya Ary juga memaksakan diri untuk bertemu dengan Tyo, walaupun pria itu selalu tidur sepanjang hari saat hari weekend itu datang.
Ary datang, dengan istrinya kali ini. Keduanya mendengar pembicaraan ayah dengan ibunya baru saja, Ary hanya memilih tersenyum kecil melihatnya. "Apa sekarang waktunya memasak makan malam, ibu?" Ya, itu suara Ary memimpin pertanyaan dimana istrinya sebenarnya juga sudah menginginkan makan malam dan kesibukan lain selain menunggu kepulangan adik iparnya.
"Ya, tolong bantu ibu memasak di dapur. Biar ibu berbicara sebentar dengan Tyo," jawabnya membuat Ary terkekeh mendengarnya, pria itu berjalan lebih dulu ke dapur membiarkan istrinya mengeluarkan isi hatinya yang sejak tadi dia tahan.
"Ibu," panggilnya. "Ya? Kau butuh sesuatu?" Istri Ary terlihat menggelengkan kepalanya pelan. "Jika aku boleh meminta sesuatu, bisakah ibu berbicara dengan Tyo pelan-pelan? Melihat apa yang ku dapat, dia sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."
"Dia baru saja melakukan kesalahan besar untuk petama kalinya," sambungnya membuat ibu mertuanya menganggukkan kepapanya pelan dan mengelus puncak kepala menantunya lembut. "Terimakasih saranmu, sayang." Wanita itu mengangguk dan menyusul suaminya yang sudah ada di dapur.
Wanita tadi berjalan menuju kamar putra keduanya untuk berbicara empat mata, setidaknya hanya untuk membuat suasana hati anak bungsunya baik-baik saja.
Walaupun itu sulit.