Pantai Dreamland, Pecatu, Bali.
Dari tempat parkir mobil, Dave, Nico, Annisa dan Ella berjalan ke arah puncak tebing terjal kawasan desa Pecatu. Mereka harus menuruni anak tangga dari tebing tinggi untuk sampai di bibir pantai. Keberadaan Pantai Dreamland yang dikelilingi oleh tebing-tebing karang menjadikan suatu keunikan tersendiri yang disukai oleh para wisatawan dibandingkan dengan pantai yang lainnya.
Sesampainya di sana, mereka langsung disambut bentangan pasir putih bersih nan indah yang terhampar luas, lengkap dengan payung-payung pantai yang lebar dan berwarna putih berjajar rapi di tepi pantai.
Suasana di pantai di hari Minggu pagi yang cerah itu sudah ramai dipenuhi oleh banyak orang, terutama oleh kalangan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Langit terlihat putih berawan, matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Angin bertiup sepoi-sepoi sejuk menyapa siapapun yang datang ke kawasan pantai saat itu.
"Wah sudah penuh semua kursinya..." Ujar Annisa sambil celingak-celinguk mencari kursi berjemur plus payung pantai yang masih kosong.
"Jangan kuatir Nisa... Itu, di situ masih ada beberapa kursi yang belum ditempati. Ayo kita kesana..." Tunjuk Dave ke arah kursi-kursi kosong yang letaknya amat strategis di pinggir pantai dan berada di dekat batu-batu karang yang indah di sekitarnya.
Dave meraih tangan Annisa dengan lembut dan menggandengnya ke arah yang ia tunjuk sebelumnya. Annisa terlihat malu-malu saat Dave tiba-tiba menggandengnya, namun ia tidak menolak dan menuruti ajakan Dave. Nico dan Ella saling berpandangan dan tersenyum kecil, mereka kemudian mengikuti Dave dan Annisa dari belakang.
"Wah, bagus ya pemandangannya di sini. Kok tumben ya kursi-kursi di tempat strategis ini belum ada yang menempati. Biasanya sudah penuh duluan." Ujar Annisa agak sedikit keheranan.
"Kita beruntung pagi ini kelihatannya hehe..." Sahut Dave sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia kemudian memandang Nico dengan penuh arti. Sedangkan Nico mencoba menyembunyikan sesuatu di wajahnya. Ia kemudian memalingkan muka dan berpura-pura melihat sesuatu yang menarik perhatiannya ke arah lain.
"Ella, kita berenang ke tepi laut yuk..." Ajak Annisa kepada sahabatnya. "Dave dan Nico mau ikutan ?" Annisa memandang kepada kedua lelaki tersebut.
Dave menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, "Aku tidak bisa berenang Nisa. Kamu saja dengan Ella bersenang-senang di laut."
"Serius kamu tidak bisa berenang, Dave ?" Annisa membelalakkan matanya dengan pandangan tidak percaya ke arah Dave.
"Ya, begitulah." Sahut Dave dengan enggan sambil mengangkat bahunya dan melepaskannya kembali.
"Dave sebenarnya bisa berenang Nisa. Namun waktu kecil ia pernah terpeleset jatuh ke kolam renang dan nyaris tenggelam karena mendadak kaki kirinya kram karena terjatuh tersebut. Karena itu sampai sekarang Dave masih trauma akan hal itu." Kata Nico panjang lebar mencoba menjelaskan kepada Annisa.
"Oh, maaf mengenai hal itu Dave, aku tidak tahu." Annisa menyesali ucapannya.
"Don't worry, Annisa. Ayo sana berenang dengan Ella, nikmati keindahan laut pagi ini, sebelum matahari mulai naik dan keburu menyinari kita dengan panasnya. Biar aku dan Nico tunggu di sini menjaga tempat dan barang-barang. Nanti kalau kita semua berenang, siapa yang akan menjaga di sini ?" Ujar Dave sambil tersenyum kembali.
"Baiklah kalau begitu, Dave. Yuk Ella, kita kemon." Annisa kemudian segera menarik tangan Ella untuk mengajaknya berjalan ke tepi laut untuk berenang.
Ombak di laut saat itu lumayan tinggi dan besar sehingga membuat banyak para peselancar baik lokal maupun internasional senang bermain-main dengan ombak dan saling menunjukkan kebolehan mereka dalam hal berselancar menaklukan ombak.
Annisa dan Ella berenang-renang tak jauh dari para peselancar itu berada sambil menatap takjub keahlian mereka bermain-main di atas papan selancar, meliuk-liukkan tubuh mereka dengan luwes, seolah-olah mereka tak mengalami kesulitan apapun menari-nari di atas ombak yang tinggi dan besar tersebut.
"Awas, Nisa !" Teriak Ella kepada sahabatnya.
Telat bagi Annisa, sebelum ia menyadari apa yang terjadi, dari arah belakang tiba-tiba datang seorang peselancar dengan papannya menabrak Annisa dan papan selancar tersebut menimpa Annisa yang lalu dengan seketika terperangkap di bawahnya. Annisa gelagapan mencoba meraih permukaan air namun karena panik ia malah semakin menelan banyak air laut dan merasakan tubuhnya semakin berat untuk bergerak. Matanya terasa perih dan makin lama pandangannya makin buram. Ia pun semakin terseret ombak ke tengah laut.
Ella mencoba berenang ke arah Annisa namun saat itu ombak menyambar tubuhnya dengan ganas berkali-kali, hingga ia cukup kesulitan untuk berenang menuju ke tempat Annisa berada.
"Dave ! Nico ! Tolong Nisa !" Teriak Ella meminta bantuan dari pinggir laut.
Mendengar teriakan Ella, Dave langsung refleks berlari menuju tepi laut tanpa melepaskan kaos dan celana jeansnya dan berenang menuju ke tempat Annisa tenggelam.
"Dave, tunggu !" Panggil Nico. "Biar aku saja !" Teriak Nico panik melihat reaksi Dave. Ia pun berlari mengejar teman baiknya itu.
Dave tidak menggubris panggilan Nico. Ia tetap meneruskan berenang ke tengah laut untuk menolong Annisa. Ia berhasil mencapai tempat Annisa berada, walaupun sudah banyak air laut yang ditelannya karena ombak menyambar-nyambar dirinya sedemikian tinggi dan besarnya. Kaos dan celana jeans yang masih dikenakannya membuatnya semakin berat dan susah bagi Dave untuk bergerak leluasa saat itu, namun ia pantang menyerah. Ia meraih tubuh Annisa ke dalam pelukannya dan berenang membawanya kembali ke tepi pantai.
Setibanya di pantai ia menggendong Annisa yang saat itu sudah lemas karena kekurangan oksigen dan berjalan menuju kursi mereka semula. Nico memapah Ella yang saat itu juga sudah teramat letih, dan mereka mengikuti Dave dari belakang.
Dengan teramat perlahan Dave meletakkan tubuh Annisa di kursi berjemur. Ia pun lalu jatuh bersimpuh karena kelelahan. Dave mengusap rambut Annisa yang basah dan lengket oleh air laut dengan penuh kasih sayang. Ia tersenyum lega karena telah berhasil menyelamatkan gadis pujaan hatinya.
Annisa menatap Dave dengan tersenyum lemah. Ia terbatuk-batuk karena banyak menelan air laut sebelumnya. Tak terasa air mata mengalir di pipinya.
"Nisa, mengapa kamu menangis ? Kamu merasakan sakit di mana ? Ayo kita segera ke dokter !" Dave mendadak panik melihat Annisa menangis. Ia pun langsung seketika berdiri bersiap-siap mengajak Annisa pergi.
Nisa meraih lengan Dave dengan lembut dan menyuruhnya duduk kembali.
"Tidak perlu, Dave. Aku baik-baik saja. Jangan kuatir. Aku menangis karena terharu. Kamu rela berenang ke tengah laut untuk menyelamatkanku. Padahal kamu sendiri trauma untuk berenang, namun kamu tetap berenang untuk menolongku. Kamu sungguh baik terhadapku Dave. Aku tak tahu bagaimana harus membalas budi baikmu," ujar Annisa sambil terisak perlahan.
Dave tersipu-sipu malu. Lidahnya mendadak kelu dan tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya dapat memandang mata Annisa yang teduh dan Dave memberikan senyumannya yang terbaik untuk Annisa. Tangan kanannya meraih tangan Annisa dan menggenggamnya erat, seolah-olah tak ingin ia melepaskannya barang sedetik pun.
Annisa tiba-tiba melepaskan tangannya yang sedang berada dalam genggaman tangan Dave dan kemudian melipat kedua lengannya di depan dadanya. Ia berpura-pura marah atas kelakuan Dave tersebut dan bermaksud untuk menyembunyikan perasaan hati Annisa yang sebenarnya.
"Bukan berarti aku setuju dengan aksimu lompat berenang ke tengah laut untuk menolongku ya, Dave !" Ucap Annisa dengan ketus.
"Apa yang kamu lakukan tadi sangat berbahaya untuk keselamatan jiwamu ! Kamu kan bisa minta tolong Nico untuk berenang menolongku ! Kalau mendadak di tengah laut kamu menghadapi trauma kembali bagaimana ?" Cerocos Annisa sambil marah-marah.
"Ta... ta... tapi Nisa... A... a... aku..." Ujar Dave terbata-bata kaget karena amarah Annisa yang tak diduga olehnya sebelumnya.
"Aku telah mencoba mengatasi traumaku sejak dulu namun tidak pernah berhasil. Peristiwa masa kecilku dulu yang hampir tenggelam amat menghantui hidupku. Seumur hidupku aku tidak berani berenang lagi karena aku bisa merasakan dadaku sesak dan napasku menjadi berat seketika hanya dengan mengingatnya."
Wajah Dave memucat, dahinya mengerut dan tiba-tiba ia merasakan tubuhnya berkeringat dingin. Ia mengepalkan kedua telapak tangannya yang berkeringat, menguatkan dirinya untuk tetap tegar melawan ketakutan dalam dirinya.
Annisa mencoba bangkit dari posisi berbaring untuk menenangkan Dave, namun rasa gengsinya masih menguasai dirinya. Annisa pun mengurungkan niatnya dan membiarkan Dave untuk mencoba mengatasi masalahnya sendiri terlebih dahulu.
Suasana menjadi hening. Dave mengatur napasnya perlahan-lahan. Setelah ia dapat menguasai dirinya kembali, ia melanjutkan bicaranya.
"Entah mengapa aku tadi tiba-tiba berani melompat ke air dan berenang menyelamatkanmu. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah membayangkan dirimu berada dalam posisiku pada saat aku nyaris tenggelam dulu. Aku dapat merasakan ketakutanmu seperti yang pernah aku rasakan waktu itu."
Pikiran Dave menerawang jauh, teringat akan keputus-asaannya saat ia mencoba menggerakkan segenap badannya, seluruh tangan dan kakinya, dalam upaya mendorong tubuhnya ke atas, menggapai-gapai untuk mencapai ke permukaan air.
"Aku tak ingin kamu mengalami trauma seperti yang aku alami, Nisa. Aku ingin kamu mengetahui bahwa ada orang yang akan membantumu pada situasi sulit seperti itu, dan aku ingin orang itu adalah aku. Bukan orang lain." Dave berkata lirih kemudian menundukkan kepala.
"Aku tidak mau kamu menghadapi ketakutanmu sendiri berjuang di tengah laut, seperti aku merasakan ketakutanku sendiri nyaris tenggelam di kolam renang sewaktu kecil, tanpa ada seorang pun yang datang menolongku di sana. Dan aku harus berjuang seorang diri untuk mencapai tepi kolam renang untuk menyelamatkan jiwaku sendiri."
Hati Annisa melunak mendengar penuturan Dave, dengan menahan senyum ia menepuk pundak Dave.
"Ok Dave, aku bisa menerima alasanmu kali ini. Namun lain kali tolong dipikirkan masak-masak terlebih dahulu sebelum kamu mengambil keputusan seperti itu lagi ya. Aku tidak ingin kamu kembali berbuat nekat dan tanpa perhitungan seperti tadi." Ujar Nisa masih berpura-pura sedikit marah namun nada suaranya telah berubah menjadi lunak dan lebih memberikan semangat kepada Dave.
Nico dan Ella yang menyaksikan peristiwa romantis itu mendadak merasakan suasana yang agak canggung. Mereka pura-pura melihat ke arah lain seperti tidak menyadari apa yang tengah terjadi pada saat itu. Namun Nico dan Ella tidak bisa menahan senyuman mereka dan turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua sahabat mereka tersebut pada hari itu.
Setibanya Dave dan Nico di kamar hotel dan segera setelah Nico menutup pintu kamar hendak berbaring di tempat tidur karena kelelahan, tiba-tiba Dave mencengkeram kerah baju Nico dan mendorongnya ke tembok dengan kasar.
"Katakan padaku Nico, apa maksudmu menyuruh peselancar itu menabrak Annisa dari belakang dengan papan selancarnya, pada saat Nisa sedang berenang dan hampir saja membuat Nisa celaka ?" Tanya Dave dengan geram.
"Kalau kamu ingin membuatku berani menghadapi trauma masa kecilku, bukan seperti itu caranya !" Teriak Dave nyaris hendak meninju muka Nico.
Nico dengan sigap menangkap kepalan tinju tangan kanan Dave yang mengarah ke mukanya dan menahannya dengan sekuat tenaga.
"Tenang dulu, Dave. Ada apa ini ? Bukan aku yang menyuruh peselancar itu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan hal tersebut. Tidak mungkin aku berbuat sesuatu yang membahayakan jiwa kalian berdua," ucap Nico perlahan tapi tegas, mencoba menenangkan Dave yang sedang dilanda amarah meledak-ledak saat itu.
Dave perlahan mengendurkan kepalan tangannya dan mundur ke belakang. Ia lalu duduk di tepi tempat tidur dan mengusap-usap mukanya dengan kedua telapak tangannya dengan pikiran penuh kekalutan.
"Lalu siapa yang mengaturnya ? Mengapa ?" Tanya Dave dan ia berpikir keras tentang kejadian hari itu.
"Mengapa kamu berpikiran bahwa hal itu ada yang mengatur Dave ? Siapa tahu hal itu hanya ketidaksengajaan si peselancar itu saja. Hanya kecelakaan yang tidak direncanakan." Nico mencoba memberikan pandangannya.
"Tidak demikian Nico. Aku punya perasaan kuat bahwa kejadian hari ini bukan kebetulan semata. Jika memang benar peselancar tersebut tidak sengaja menabrak Nisa yang sedang berenang, pasti ia akan berenang menolong Nisa dan tidak meninggalkannya tenggelam di sana. Ia kan pasti lebih jago berenang dibandingkan aku. Atau setidaknya peselancar tersebut pasti akan datang meminta maaf kepada Nisa atas kelalaiannya tersebut," papar Dave kepada Nico mengenai teorinya.
"Namun seperti yang kamu ketahui, peselancar tersebut langsung kabur setelah papannya menabrak dan menenggelamkan Nisa. Seolah-olah ia tidak ingin diketahui identitasnya sedikit pun. Aku menduga ada yang mengaturnya, entah siapa dan entah untuk tujuan apa. Instingku mengatakan seperti itu. Dan aku ingin kamu mencari tahu tentang semuanya."
Dave pun segera menugaskan Nico untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa sesungguhnya yang berada di balik semua itu.