"Ternyata permainan tenis kamu boleh juga, Dave," puji Tuan Swastika kepada Dave sambil menepuk pundak Dave dengan hangat.
"Ah, permainan saya biasa saja jika dibandingkan dengan keahlian yang Tuan Swastika miliki," ujar Dave merendah.
"Bagaimana kalau setelah ini kita lanjutkan pembicaraan kita sembari menikmati secangkir kopi di kafe depan ?" Ajak Tuan Swastika dengan senyuman yang menghias di bibirnya. Ia terlihat sedikit letih namun tetap bugar di usianya yang cukup lanjut, setelah menyelesaikan permainan tenisnya melawan Dave sore itu.
"Tentu saja Tuan Swastika, dengan senang hati." Sahut Dave balik tersenyum menyambut ajakan Tuan Swastika.
"Oh ya Dave, panggil saya Pak Tjok saja. Panggilan Tuan Swastika terdengar amat formil di telinga saya, hahaha..." Tuan Swastika tertawa terbahak-bahak.
"Baik, Pak Tjok." Dave pun ikut tertawa santai bersama Tuan Swastika.
Kafe terlihat ramai didominasi oleh para anggota klub tenis yang beranggotakan orang-orang kaya, yang sebagian besar terdiri dari para pengusaha, pejabat-pejabat dan orang-orang penting lainnya.
Dave dan Tuan Swastika mengambil tempat duduk di sofa berwarna putih yang mewah nan nyaman, terlibat pembicaraan yang cukup serius, namun mereka tetap terlihat akrab satu sama lain.
Sementara Nico dan para ajudan Tuan Swastika duduk tak jauh dari situ. Mereka dengan waspada mengawasi para tuannya sedang bernegosiasi bisnis.
"Pada dasarnya saya setuju dengan perjanjian kerjasama bisnis antara keluarga Swastika dengan keluarga ayahmu, Tuan Moreno, Dave." Ungkap Tuan Swastika dengan ramah.
"Ayahmu sudah terkenal baik reputasinya di kalangan pebisnis hotel internasional. Siapapun pasti akan dengan senang hati menerima ajakan Tuan Moreno untuk bekerjasama membangun kerajaan bisnis jaringan perhotelan bersamanya," kata Tuan Swastika meneruskan.
"Ayah pasti akan gembira mendengar kabar baik ini, Pak Tjok," ujar Dave dengan wajah penuh suka cita. Ia sudah tidak sabar ingin menyampaikan berita positif ini kepada ayahnya.
"Oh ya Dave, boleh saya minta kamu untuk melakukan sesuatu demi kelancaran proses penandatangan kontrak kerjasama bisnis keluarga kita nanti ?"
"Tentu saja Pak Tjok, silakan." Dave menyimak dengan penuh perhatian.
"Kamu tahu tentunya bahwa saya telah menunjuk anak lelaki saya, Raka, sebagai pewaris tahta kepemimpinan bisnis keluarga Swastika ke depannya. Sama seperti ayah kamu telah menunjukmu untuk menggantikannya suatu saat nanti."
"Ya Pak Tjok, saya tahu," ujar Dave merespon Tuan Swastika dengan hati-hati dan menunggu kalimat selanjutnya dari beliau.
"Saya ingin kamu mengenal Raka lebih dekat. Karena bagaimanapun juga kalian akan banyak melakukan kerjasama bisnis antar keluarga kita di masa yang akan datang."
"Coba dekati dia, pahami kesukaannya dan hobinya. Dan kalau kamu berkenan, ikuti beberapa kegiatan favoritnya. Dengan demikian kamu akan lebih mudah mengambil hatinya." Pinta Tuan Swastika dengan penuh harap kepada Dave.
"Raka mungkin agak sedikit arogan dan sulit untuk berteman dengan banyak orang, mungkin karena kami terlalu memanjakannya pada saat ia kecil dulu. Namun pada dasarnya ia memiliki kepribadian yang baik dan jika kamu dapat menarik perhatiannya, ia akan dapat menjadi teman kamu yang setia dan bisa diandalkan." Tuan Swastika menerangkan panjang lebar tentang anaknya kepada Dave.
"Baik Pak Tjok, akan saya coba dengan seluruh upaya saya untuk dekat dengan Raka." Dave berjanji kepada Tuan Swastika.
Tuan Swastika tersenyum sumringah mendengar perkataan Dave tersebut. Ia bangkit berdiri dan mengajukan tangan kanannya hendak menjabat tangan Dave. Dave seketika ikut berdiri dan membalas jabatan tangan Tuan Swastika. Tuan Swastika menepuk-nepuk pundak kanan Dave dengan tangan kirinya dengan penuh keakraban. Kemudian ia memeluk Dave dengan hangat dan seolah-olah telah menganggap Dave seperti anaknya sendiri.
Suara motor-motor menderu-deru dengan kencang dan berdesing-desing mengitari putaran demi putaran lap sirkuit balap Pekutatan yang baru saja diresmikan oleh Bupati Jembrana pagi tadi.
Motor-motor bermesin besar sekelas 250 cc berpacu satu dengan yang lainnya mencoba untuk saling mendahului dan meraih tempat terdepan di kompetisi balap bergengsi yang memperebutkan piala Gubernur Bali tahun 2015.
Dave dan Nico dengan penuh semangat mengikuti jalannya pertandingan siang itu. Sinar matahari yang cukup terik dan menyengat tidak menyurutkan rasa keingintahuan mereka akan siapa yang akan keluar menjadi juara pada balap motor yang mereka tonton.
"Wah Raka benar-benar seorang pembalap yang hebat !" Dave mengungkapkan kekagumannya saat menyaksikan sosok Raka yang menaiki podium sebagai juara satu perlombaan balap motor yang baru saja mereka saksikan.
"Mari kita tunggu dia di belakang podium, Dave." Ajak Nico sambil beranjak ke arah kerumunan orang yang hendak menyaksikan juara balap motor pujaannya lebih dekat ke podium.
Dave dan Nico menghampiri Raka yang pada saat itu sibuk memberikan tanda tangannya kepada fans-fansnya dan juga meladeni foto bersama dengan mereka.
Dave mengulurkan tangan kepada Raka hendak memperkenalkan diri, namun belum sempat ia mengatakan sesuatu, Raka menegurnya.
"Sorry, kalau mau minta tanda tangan atau foto bareng saya, tolong antri ya ! Apa Anda tidak lihat antrian ini sudah panjang sampai ke belakang !"
Dave mendadak bungkam tak bisa berkata apa-apa. Ia menggerutu dan mengambil antrian ke tempat yang paling ujung. Nico nyaris menyemburkan tawanya melihat sahabatnya dipermalukan oleh Raka seperti itu.
Akhirnya tiba giliran Dave maju paling depan berhadapan dengan Raka langsung.
Raka dengan muka tidak sabar menatap Dave dan bertanya, "Mana yang harus saya tanda tangani ? Atau Anda mau berfoto bareng dengan saya ?"
Dave dengan muka kecut dan segan menjawab, "Saya Dave Moreno. Saya diminta oleh Pak Tjok, papa kamu, untuk menemui kamu di sini."
"Oh Dave Moreno... Bilang dong dari tadi..." Sahut Raka acuh tak acuh.
"Kalau begitu tolong tunggu saya di kafe di ujung sana." Raka menunjuk sebuah kafe yang terletak tak jauh dari podium.
"Saya masih harus melayani penggemar-penggemar saya." Raka lalu sibuk kembali dengan antrian para pengagumnya dan seketika melupakan Dave yang telah lama menunggunya.
"Apa yang ingin kamu bicarakan Dave ? Tolong kamu langsung utarakan saja. Waktuku amat terbatas saat ini." Ungkap Raka tanpa basa-basi saat ia duduk berhadapan dengan Dave di kursi empuk sofa Kafe Melasti yang suasananya cukup sejuk.
Dave menghela nafas sebentar, mencoba untuk mengatur kesabarannya dalam menghadapi Raka yang cukup menyulitkan posisinya saat itu.
"Aku sudah berbicara panjang lebar dengan Pak Tjok mengenai perjanjian kerjasama bisnis keluarga Moreno dan keluarga Swastika. Dan kedua belah pihak telah setuju untuk melakukan kerjasama tersebut."
"Lalu apa hubungannya denganku ?" Tanya Raka tak peduli sambil memainkan sedotan dalam gelas yang berisi jus jeruk pesanannya yang sudah setengah habis diminumnya.
Dave benar-benar diuji kesabarannya kali ini. Ia mencoba untuk menarik napas dalam-dalam.
"Papamu memintaku untuk mengenalmu lebih dekat, karena kamulah yang akan mewarisi kepemimpinan bisnis keluarga Swastika di masa yang akan datang."
"Sama seperti aku yang telah ditunjuk oleh ayahku untuk memimpin bisnis keluarga Moreno ke depannya." Dave menerangkan dengan panjang lebar.
"Oleh karena itu, aku berharap kita bisa berusaha saling mendekatkan diri agar kerjasama keluarga kita bisa terjalin dengan baik."
"Dari dulu aku selalu bekerja sendiri. One Man Show. Tidak pernah ada partner karena aku tidak mempercayai siapa pun selain diriku sendiri." Balas Raka sambil mengangkat dagunya sedikit ke atas.
Dave mengamati muka Raka dengan kesabaran yang hampir habis. Raut muka Dave sudah berubah sekarang. Ingin rasanya ia meninggalkan tempat itu dengan segera.
Nico yang semula duduk di sofa yang terletak di meja sebelah tiba-tiba ikut nimbrung bergabung dalam pembicaraan Dave dan Raka.
"Maksud Dave tentunya ia tidak ingin mengusik wewenangmu dalam mengatur hal-hal yang selama ini telah berjalan, Raka."
"Dave hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Dan kalau kamu tidak berkeberatan, mungkin kalian bisa melakukan aktivitas yang kalian sukai bersama-sama." Nico menjelaskan lebih lanjut.
"Aku tidak ingin terlibat dengan aktivitas yang Dave lakukan." Sahut Raka menimpali.
"Tapi kalau Dave mau mengikuti kegiatan favoritku, boleh-boleh saja. Kenapa tidak."
Raka mengelap mulutnya dengan serbet putih yang tergeletak rapi di atas meja dan kemudian melemparkannya kembali ke sana. Ia lalu berdiri.
"Sorry, saya masih banyak urusan. Permisi !"
Raka lalu meninggalkan Dave dan Nico dan berjalan ke luar kafe. Dave dan Nico hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka atas sikap Raka.