Hari sudah semakin gelap. Annisa mengintip keluar melalui jendela kafe yang dihiasi oleh gorden berwarna biru tosca berenda-renda putih. Angin bertiup kencang menggoyang ranting-ranting pepohonan di ujung jalan itu. Sebentar lagi akan turun hujan nampaknya.
Ia bergegas menghabiskan empanadas spesial buatan kafe tersebut yang terkenal dengan kelezatannya, rasanya hampir sama dengan pastel buatan negaranya. Yang membedakannya hanyalah bumbu rempah-rempah yang digunakan dan ada tambahan daging beserta keju di dalamnya.
Annisa lalu menenggak habis horchata dinginnya, minuman khas lokal yang berbahan dasar larutan beras dan rempah-rempah, dicampur dengan ekstrak vanila, kayu manis, dan gula.
Ia merasakan kesegaran seketika dalam tubuhnya setelah penat seharian berjalan-jalan dengan kelompok turnya mengelilingi Mexico City. Perutnya pun sudah kenyang, menandakan itulah saat baginya untuk kembali ke hotel.
Annisa meminta pelayan kafe untuk menghitung semua pesanan yang dihabiskannya petang itu, serta meminta bantuan mereka untuk memesankan sebuah taksi untuk mengantarkannya kembali ke hotel La Luna.
Puas sekali rasanya Annisa telah mencicipi hidangan spesial di Kafe Angel, walaupun awalnya secara tidak sengaja ia melihat papan promosi yang berdiri tegak tak jauh dari pintu kafe yang unik nan cozy itu. Rasa penasaran untuk mencicipi makanan dan minuman tradisional Mexico telah membawanya masuk ke kafe itu dan memisahkan diri dari rombongan turnya.
Ajakan Ella untuk segera kembali ke hotel pun tak digubrisnya, dengan sedikit cemas ia pun memberanikan diri untuk mampir sejenak ke kafe itu. Beruntung sang pemandu wisata kelompok turnya memberikan ijin kepada Annisa untuk tidak kembali ke hotel bersama rombongan untuk sore itu. Dengan jaminan bahwa Annisa akan kembali ke hotel sebelum jam sembilan malam waktu setempat dan melapor kepada si pemandu pada saat yang telah disepakati bersama.
Taksi yang telah dipesankan oleh pelayan Kafe Angel belum juga tiba. Annisa menunggu dengan tidak sabar di depan pintu kafe. Jaket panjang yang menutup badannya dengan rapat kurang mampu menghangatkan tubuhnya saat itu. Angin makin bertiup dengan kencang. Ia melilitkan syal di lehernya kembali dengan harapan bisa membantunya mendapatkan sedikit kehangatan di sana.
Annisa berharap taksi pesanannya datang sebelum langit mencurahkan air hujan dengan derasnya ke tubuhnya. Ia masih memiliki beberapa hari lagi berjalan-jalan di negara Mexico yang indah nan eksotis, dan ia tidak ingin jatuh sakit hanya karena kehujanan petang itu.
Tiba-tiba perhatiannya tertuju pada sekelompok orang di ujung jalan dekat telepon umum berwarna kuning menyala. Dua lelaki terlihat menggotong seorang pemuda berkulit putih menggunakan jaket kulit coklat bercelana jeans tak sadarkan diri. Sedangkan orang yang satunya berjaga-jaga di pinggir jalan mengawasi keadaan sekitar.
Tadinya Annisa berpikir sekelompok orang tersebut ingin menyelamatkan pemuda yang mungkin merupakan temannya, dan mau membawanya ke rumah sakit atau tempat lain, karena dilihatnya mereka mengangkat tubuh pemuda yang tak sadarkan diri tersebut dan hendak memasukkannya ke dalam mobil yang telah menunggu di tepi jalan.
Namun entah kenapa mereka menjadi panik setelah mengetahui bahwa Annisa memandangi mereka dengan rasa penuh keingintahuan dan orang-orang tersebut berbicara dengan bahasa setempat yang ia tidak mengerti artinya.
Situasi bertambah tegang ketika pemuda yang digotong itu mendadak mengerang kesakitan memegangi kepalanya yang terluka. Kedua orang tersebut menjadi amat panik dan meninggalkan begitu saja pemuda yang terluka itu tergeletak di pinggir jalan. Sekelompok orang itu mendadak kabur dengan menggunakan mobil yang telah menunggu mereka.
Secara refleks Annisa berlari menghampiri pemuda tersebut. Dengan perasaan penuh kemanusiaan, ia mencoba menyadarkan pemuda yang mengalami luka di bagian kepala itu, dan meletakkan tubuh lelaki itu ke dalam pangkuannya secara perlahan-lahan dan hati-hati. Ia tidak ingin menambah rasa sakit yang dirasakan oleh lelaki itu dengan gerakannya yang tiba-tiba.
Annisa tertegun ketika mengamati wajah pria muda tersebut. Ia serasa mengenalinya. Namun entah di mana. Lalu gambaran raut muka itu perlahan-lahan menjauh.
Annisa berusaha meraihnya. Menggapai-gapainya. Ia mengerahkan seluruh tangannya untuk menariknya kembali. Kembali ! Ujarnya lirih dalam hati. Namun usahanya sia-sia. Suasana mendadak gelap. Dan bayangan wajah itupun akhirnya pelan-pelan mengecil kemudian menghilang. Sirna.
Annisa terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal dan tubuhnya basah dengan keringat. Ternyata semua itu hanya mimpi.
Ia tersadar, saat ini ia sedang berada di kamar apartemennya di Denpasar. Ia lalu beranjak bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju wastafel untuk membasuh mukanya dengan air dingin.
Mimpi yang aneh, pikirnya.
Mengapa kejadian di Mexico City beberapa waktu yang lalu terekam di mimpiku ? Annisa bertanya-tanya dalam hati.
Pertanda apakah ini ? Annisa menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan dan memejamkan kedua matanya mencoba untuk berkonsentrasi penuh, namun tak ada hasil.
Akhirnya ia menyerah dan mencoba untuk tidur kembali namun pikiran tentang mimpinya itu terus mengganggunya.
Sungguh beruntung Annisa dan Dave mendapatkan meja di Warung Putu siang itu. Selang beberapa menit saja rumah makan tersebut telah dipenuhi oleh tamu-tamu yang hendak makan siang. Belum lagi di dekat pintu, di depan meja resepsionis, terlihat banyak orang mengantri dan rela untuk masuk ke dalam daftar tunggu untuk menyantap makanan spesial yang dihidangkan di sana.
Menu khusus yang disediakan pada hari itu adalah Nasi Ayam Kedewatan dengan padanan minumnya berupa Teh Manis Sereh. Dave yang gemar mencicipi makanan tradisional Bali ikut memesan paket makanan tersebut, bersama dengan Annisa juga tentunya.
"Jam berapa kamu harus datang ke kantor majalah untuk membicarakan tugas artikel tulisanmu selanjutnya, Nisa ?" Tanya Dave setelah menghabiskan makanannya.
"Segera setelah kita selesai makan siang, Dave." Jawab Annisa sambil mengelap mulutnya dengan serbet yang tergeletak manis di ujung meja. Ia lalu membetulkan rok selututnya yang berwarna pelangi yang dipadupadankan dengan kemeja garis-garis putih.
"Aku antar ya ?"
"Boleh," sahut Annisa sambil tersenyum.
"Oke tunggu sebentar ya Nisa, biar aku bayar pesanan kita dulu ke kasir." Dave mengeluarkan dompet dari dalam tas kulit coklat berselempang tali yang biasa dibawanya ke mana-mana. Ia lalu bergegas ke kasir untuk membayar makanan yang telah mereka makan.
Secara tak sengaja Annisa melihat sebuah dompet berwarna merah muda tergeletak di bawah kaki kursi tempat tas kulit coklat milik Dave berada.
Mungkin punya Dave yang tak sengaja terjatuh, pikir Annisa.
Ia lalu membungkukkan badan mengambil dompet tersebut yang ternyata dompet wanita. Tiba-tiba ia tercekat, mukanya pucat pasi, mulutnya melongo, kehabisan kata-kata. Dengan segera ia melihat isi di dalamnya.
Annisa menemukan foto close up dirinya sendiri, fotonya bersama ayah, ibu dan adik laki-lakinya sewaktu masih kecil, KTP, serta uang peso recehan masih utuh dan lengkap, sama seperti pada saat sebelum ia kehilangan dompetnya di Mexico beberapa waktu yang lain.
Pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa dompetku yang hilang di Mexico ada pada Dave sekarang ?
Dave berjalan kembali menuju ke meja. Ia mendapati Annisa sedang diam tertegun. Dave seketika merasakan ada sesuatu yang tidak beres saat itu.
"Ada apa Nisa ? Apakah kamu sakit ?" Dave bertanya dengan hati-hati.
Annisa mengeluarkan dompet merah muda dari bawah meja dan menunjukkannya kepada Dave.
"Mengapa dompetku yang hilang pada saat aku jalan-jalan ke Mexico ada padamu sekarang, Dave ? Siapa kamu sebenarnya ? Apa yang kamu inginkan dariku ?" Annisa mencecar Dave dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
Dave tercengang kaget. Ia tidak menyangka bahwa Annisa akan menemukan dompet itu sebelum ia berterus terang kepadanya tentang segala sesuatunya.
Sebelum ia sempat menjelaskan perihal semuanya kepada Annisa, Annisa keburu berlari meninggalkannya keluar rumah makan tersebut.
"Nisa, tunggu ! Dengar dulu penjelasanku !" Teriak Dave. Tamu-tamu yang berada di dalam Warung Putu menoleh ke arah Dave.
Dave masih harus membereskan kertas-kertas dokumen yang masih tergeletak di meja makan, sehingga pada saat Dave berlari mengejar Annisa keluar, Annisa telah menghilang entah kemana.
Dengan langkah gontai Dave berjalan kembali menuju hotelnya. Ia masih ada janji pertemuan bisnis yang harus dihadiri di daerah Canggu. Setelah menemui Raka di istal kudanya, baru ia berencana untuk mendatangi apartemen Annisa di Denpasar. Semoga saja nanti amarah Annisa sudah mereda, harap Dave dengan sangat.
Dave dan Nico sampai di istal kuda milik keluarga Swastika yang terletak di Canggu, tepat sebelum Raka menyelesaikan putarannya mengelilingi lap dengan menaiki kuda coklat mengkilat kesayangannya yang bersurai putih. Saat itu Raka mengenakan baju dan celana joki serba putih, topi hitam dan sepatu boots hitam. Di tangannya ia memegang cemeti putih yang sesekali diayunkannya ke badan kudanya.
Dave dan Nico tidak bermaksud mengganggu Raka saat itu dan memilih untuk menunggunya di pinggir lapangan. Namun tiba-tiba pengurus rumah keluarga Swastika tergopoh-gopoh menghampiri mereka, dan meminta agar mereka menunggu Raka di dalam ruangan luas seperti ruang pertemuan yang digunakan untuk pesta-pesta perjamuan besar yang letaknya di samping istal kuda tersebut.
"Silakan menunggu di dalam, Tuan Dave dan Tuan Nico. Sebentar lagi Tuan Raka akan segera menemui Anda." Kata pengurus rumah tersebut mempersilahkan mereka berdua untuk menunggu di ruangan yang sejuk tersebut.
Di dalam ruangan itu dipenuhi dengan piala-piala kemenangan yang diraih oleh Raka Swastika atas keberhasilannya dalam kompetisi pacuan kuda setiap tahunnya, berderet rapi diletakkan di atas meja kayu kuno berwarna coklat yang terlihat terawat dengan baik.
Nico berdecak kagum sambil berdiri dan mengamati satu persatu piala-piala tersebut.
"Tampaknya kamu berhadapan dengan lelaki sejati Dave," ujar Nico mengeluarkan pendapatnya.
"Kita lihat saja nanti bagaimana Raka sesungguhnya Nico," jawab Dave tak mau kalah.
"Mengapa Raka lama sekali ya ? Tadi bukannya kita lihat dia tadi sudah hampir selesai ?" Kata Dave dengan gusar.
Dave kemudian berjalan ke depan pintu dan membukanya sedikit. Terlihat Raka di ujung lapangan sedang bersama dengan seorang gadis cantik. Ia memeluk gadis tersebut dengan erat, mengelus rambutnya dengan lembut kemudian mencium dahinya sesaat sebelum gadis itu memasuki mobil yang terletak di tepi jalan di dekat lapangan pacuan kuda.
Dave menyipitkan matanya yang silau terkena matahari siang menjelang sore itu. Ia serasa mengenali gadis yang bersama dengan Raka. Gadis cantik yang mengenakan kemeja putih serasi dengan rok selutut berwarna pelangi yang dikenakannya.
"Hey, bukankah itu... Nisa ???" Dave menjerit tertahan seolah-olah tidak mempercayai apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Ada urusan apa dia dengan Raka ? Dan mengapa Raka memeluk dan menciumnya dengan mesra seperti itu ?" Darah Dave mendidih dan menggelegak di dalam tubuhnya. Rasa panas bergejolak mengguncang dadanya.
"Sabar Dave, Dave sabar..." Nico mencoba menenangkan hati sahabatnya. "Mungkin Raka punya penjelasan logis untuk itu," Nico menepuk-nepuk bahu Dave mencoba untuk menenangkan.
Dave menepis tangan Nico pada bahunya dengan kasar. Ia membuka pintu dan menghambur keluar setengah berlari menghampiri Raka yang sedang berjalan ke arah mereka berdua.
"Apa yang kamu lakukan tadi dengan Annisa ? Mengapa kamu begitu dekat dengannya ? Ada hubungan apa kamu dengan Nisa ?" Tanya Dave beruntun sambil setengah berteriak.
Dave mengepalkan kedua tinjunya bersiap-siap jika Raka menyerangnya duluan, kalau perlu ia rela berkelahi untuk membalas perlakuan Raka barusan kepada Annisa. Ia tidak rela jika Annisa diperlakukan seperti itu oleh lelaki arogan nan congkak keturunan keluarga Swastika itu.
"Apa pedulimu dengan Annisa ?" Raka menatap muka Dave dengan nanar dan memandanginya dari atas ke bawah dengan sikap meremehkan.
"Mengapa tadi kamu berani menyentuhnya seperti itu !" Kesabaran Dave hampir habis dalam menghadapi Raka.
"Dave, sabar ! Ingat perjanjian bisnis keluargamu ! Ingat ayahmu, Dave !" Bisik Nico dengan tegas di telinga Dave sambil menghalangi tubuh Dave dengan tangannya yang kekar, untuk berjaga-jaga jika mendadak Dave kehilangan akal dan maju menerjang Raka saat itu juga.
Dave berusaha setengah mati untuk menjaga sikapnya dan menekan dalam-dalam perasaannya yang berkecamuk saat itu. Pilihannya hanya ada dua, menuruti amarah yang menggelora saat itu atau bersabar dan mengalah demi kehormatan keluarga Moreno.
"Nisa tadi datang menemuiku dengan hati terluka dan menangis. Dan aku menghiburnya karena aku sungguh-sungguh mencintainya," ungkap Raka sambil tersenyum menyeringai sinis kepada Dave dan matanya berkilat nakal memandang wajah Dave yang saat itu menggemeretakkan giginya.
"Apa !" Sembur Dave dengan tiba-tiba.
"Berani-beraninya kamu dekati dia ! Dia milikku ! Jauhi dia !" Dave melontarkan seluruh kekecewaan hatinya atas peristiwa yang terjadi.
"Apa urusanmu dengan Annisa, huh ?" Raka mendengus dengan kasar.
"Kalau Nisa memang benar-benar mencintaimu, ia tentunya tak akan datang kepadaku dan lari darimu !" Ejek Raka dengan senyum lebar penuh kemenangan.
"Kamu...!" Dave tidak sanggup berkata-kata lagi.
Emosinya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Ingin rasanya ia menghajar habis-habisan pemuda yang telah menganggapnya rendah tersebut.
Nico segera melerai pertikaian tersebut dan mendorong tubuh Dave menjauh dari Raka sebelum perkelahian yang sesungguhnya terjadi.
"Maaf Raka, mungkin saat ini kurang tepat bagi kita untuk membicarakan perihal bisnis. Lain kali kami akan datang menemuimu kembali jika semua keadaan telah memungkinkan." Nico meminta maaf dengan sopan kepada Raka.
"Kamu atur saja Nico. Tapi lain kali tolong kamu ajari sahabatmu itu untuk menjaga kesopanan jika sedang bertandang ke rumah orang lain." Dengan ketus Raka menyahut dan kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Pagi-pagi sekali Dave sudah menyambangi apartemen Annisa. Sudah sejak subuh tadi ia menunggu di lobi apartemen di lantai dasar. Dave tidak bisa tidur semalam suntuk memikirkan kejadian kemarin.
Ia melirik arloji tangannya di tangan kiri, sudah menunjukkan pukul tujuh. Annisa biasanya sudah bangun, gumam Dave dalam hati.
Dave pun beranjak dari sofa tempat duduknya di lobi apartemen menuju lantai tiga kediaman Annisa. Ia melemparkan senyum sedikit terpaksa kepada resepsionis di meja depan yang mengenalinya dan menggangguk sopan kepadanya.
Sampai di depan kamar apartemen Annisa, Dave mengetuk pintu dengan perlahan tiga kali.
Tok... tok... tok...
Tidak ada suara. Dave pun mengulangi lagi mengetuk pintu. Namun tetap tak terdengar apapun dari dalam kamar.
Dave bergegas kembali ke lobi apartemen dan menanyakan tentang Annisa kepada pemuda yang sedang berada di meja resepsionis.
"Maaf Tuan, kebetulan saya baru giliran jaga pagi ini. Jadi saya kurang tahu apakah semalam Nona Annisa kembali ke apartemennya atau tidak," pemuda yang berada di meja penerima tamu pagi itu menjawab pertanyaan Dave dengan segera.
"Mungkin Bapak Satpam penjaga pintu di depan lebih tahu, karena ia mendapat giliran jaga dari semalam. Sebentar saya tanyakan ya, Tuan."
Ia menghampiri bapak-bapak tua yang bertugas sebagai satpam penjaga pintu depan lobi dan menanyakan sesuatu padanya. Lalu pemuda tersebut kembali lagi kepada Dave dan menjelaskan bahwa Annisa belum pulang ke apartemennya dari semalam.
Dengan gusar Dave mengucapkan terima kasih dan segera berlalu dari apartemen Annisa. Hatinya gundah gulana memikirkan keberadaan Annisa sekarang. Ia tak habis pikir mengapa Annisa menghindarinya dan malah mendatangi Raka serta bersikap mesra kepada Raka seperti kemarin.
Dave sungguh-sungguh tidak mengerti apa yang telah terjadi dan ia amat membutuhkan penjelasan dari Annisa saat ini. Ia memegangi dadanya yang mendadak teramat sakit, seolah-olah ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk di dalam bilik jantungnya. Hatinya terasa perih, serasa diiris-iris oleh sebilah sembilu. Ia tidak menyangka bahwa patah hati itu rasanya teramat pahit. Bagaikan meminum double espresso tanpa gula dalam keadaaan panas-panas, di teriknya siang yang penuh dahaga. Pekat dan terasa mencekat di tenggorokan.
Annisa mendadak menghentikan langkahnya ketika ia melihat sosok Dave keluar dari lobi apartemennya pagi itu. Ia memilih menghindar dan bersembunyi di balik pilar besar berwarna putih yang terletak di lorong koridor yang menghubungkan menara apartemennya dengan menara apartemen yang lain.
Dilihatnya Dave berjalan perlahan ke arah luar dengan pandangan mata kosong, menandakan pikirannya sedang melanglang buana ke tempat lain. Dave tidak melihat di depannya terdapat palang parkir yang baru saja menutup karena ada mobil yang keluar dari tempat parkir. Palang tersebut menghantam kepala Dave dengan cukup keras sehingga mampu membuyarkan lamunan Dave dengan seketika.
Dave mengerang kesakitan sambil memegangi bagian belakang kepalanya secara perlahan. Beruntung ia tidak terluka saat itu.
Annisa memperhatikan kejadian itu dari jauh. Secara tak sengaja ia menyadari sesuatu. Pemuda itu. Erangannya. Cara ia memegangi bagian belakang kepalanya yang terasa sakit. Ingatannya pun membawanya kembali ke Mexico pada saat ia menolong seorang lelaki muda korban pemukulan dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
Annisa mengeluarkan dompet merah muda miliknya dari dalam tasnya, yang terjatuh dari dalam tas kulit coklat milik Dave kemarin siang. Ia mengelus dompetnya dengan lembut, memandanginya sambil berpikir keras. Semuanya menjadi terasa masuk akal sekarang.
Pemuda itu adalah Dave. Lelaki malang yang kutolong di Mexico waktu itu adalah Dave.
Apa yang kamu lakukan di Indonesia Dave ? Gumam Annisa kepada dirinya sendiri.
Apa maksudmu yang sebenarnya ? Annisa bertanya-tanya dalam hati.
Sementara itu sepasang lelaki mengamati Annisa dari kejauhan. Keduanya saling berpandangan dan mengangguk sambil tertawa mencurigakan.
"Hola Bos, kami mendapati gadis itu sedang sendirian sekarang. Ia bersembunyi dari Dave. Mereka sedang bertengkar rupanya," lapor pria yang berambut klimis mengenakan kemeja kotak-kotak biru kepada bosnya melalui ponsel yang dipegangnya.
Ia lalu memberi tahu temannya yang berkepala botak mengenai instruksi dari bos mereka selanjutnya.
"Kata Si Bos, kalau kita tidak bisa membawa Dave ke markas kita, kita buat Dave yang mendatangi markas kita. Ayo kita culik gadis itu !"