Telepon genggam Dave bergetar dan berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi itu. Dengan mata setengah terpejam, Dave meraba-raba telepon genggam yang diletakkannya di meja kecil di samping tempat tidurnya.
Dave seketika melonjak bangun dari tidurnya. Telepon dari Tuan Edward, ayahnya. Waktu saat itu menunjukkan pukul delapan pagi.
"Selamat pagi, Yah. Bagaimana kabar Ayah pagi ini ?" Sapa Dave dengan suara yang masih mengantuk. Ia mencoba menahan untuk tidak menguap saat itu.
"Pagi Dave, Ayah baik-baik saja. Semoga kabar Kamu baik di sana. Oh ya Dave, bagaimana misimu mencari gadis itu, Nak ? Apakah sudah ketemu ?" Tanya Tuan Edward dengan rasa penuh keingintahuan.
"Sudah Yah. Akhirnya aku sudah menemukan di mana Annisa berada dan sudah bertemu langsung dengannya. Namun aku memerlukan sedikit waktu lagi untuk tetap tinggal di sini di Indonesia, Yah. Karena aku masih memikirkan cara yang tepat untuk berterima kasih kepada gadis itu. Aku kuatir kalau aku berterus terang dengannya mengenai maksudku datang jauh-jauh dari Mexico ke Indonesia, khusus untuk mencarinya dan berterima kasih kepadanya, Annisa malah menjadi takut kepadaku dan malah menjauhiku karena salah prasangka." Dave menerangkan maksudnya kepada Tuan Edward dengan penuh pengharapan.
"Baiklah Dave jika itu maumu. Ayah akan memberikanmu sedikit waktu lagi. By the way, selagi kamu di sana, Ayah memberikanmu tugas untuk melobi salah satu pemilik jaringan hotel terbesar di Bali, untuk mengadakan kerjasama di bidang bisnis dengan hotel kita. Apakah kamu sanggup mengemban tugas itu Dave ?" Tantang Tuan Edward kepada anaknya.
"Sanggup, Yah !" Sahut Dave mantap. "Sebagai penerus keluarga Moreno, Aku harus sanggup membawa bisnis keluarga kita ke arah masa depan yang lebih baik."
"Bagus !" Tuan Edward merasa gembira mendengar kesanggupan anaknya. "Kalau begitu Ayah akan minta semua data-data dan dokumen-dokumen penting mengenai hal itu untuk segera dikirimkan ke kamu melalui Nico."
Tok tok tok.
Dave membuka pintu kamar hotelnya, dilihatnya Nico membawa sebundel dokumen-dokumen penuh di kedua tangannya.
Nico melangkah masuk dan meletakkan semua dokumen tersebut di meja. Ia menarik kursi dan menghempaskan tubuhnya di sana.
"Tampaknya kita harus segera mulai mengerjakan tugas dari ayahmu, Dave." Ujar Nico sambil membaca dan meneliti satu persatu dokumen-dokumen yang menumpuk di meja.
"Aku akan mengatur jadual pertemuan dengan pemilik jaringan hotel tersebut. Beberapa informasi penting yang perlu kamu ketahui mengenai beliau adalah, Tuan Tjokorda Agung Swastika merupakan pemilik tunggal jaringan hotel Nirwana Bali yang terletak di seluruh pelosok pulau Bali ini. Ia juga memiliki armada bisnis transportasi darat, laut maupun udara, berpusat di Denpasar. Akan sangat membawa bisnis keluarga Moreno berkembang pesat ke depannya jika kamu berhasil melobi beliau dan mendapatkan kontrak kerjasama dengannya, Dave." Nico menjelaskan dengan panjang lebar.
"Bagaimana dengan keluarga beliau, Nico ? Aku perlu mengetahui tentang seluk beluk latar belakang keluarganya juga." Tanya Dave lebih lanjut.
"Tuan Swastika memiliki seorang anak perempuan cantik, lulusan master di bidang ekonomi dari perguruan tinggi terkemuka di Inggris dan seorang anak laki-laki, lulusan sarjana perhotelan dari sekolah pariwisata di Swiss, serta seorang istri yang cantik. Ia dan istrinya merupakan keturunan bangsawan Bali asli. Sungguh suatu padanan keluarga yang teramat sempurna." Sahut Nico berdecak kagum.
"Hobinya selain berenang adalah bermain tenis, Aku akan coba buat agar kamu bisa berada di tempat latihan tenis favoritnya pada waktu ia bermain di sana. Akan aku atur semuanya, dan kalau kita beruntung, kamu bisa bermain tenis juga bersama beliau pada saat itu, sehingga kamu punya banyak kesempatan emas untuk mengambil hatinya."
"Ide yang sungguh bagus, Nico. Tak percuma kamu diangkat sebagai tangan kanan keluarga Moreno." Dave tersenyum memuji sahabatnya.
Nico terdiam sejenak, mengerutkan keningnya.
"Hmm... Nampaknya kamu juga perlu mengadakan pendekatan dengan anak lelakinya. Menurut dokumen ini disebutkan bahwa Tuan Swastika telah mempersiapkan anak lelakinya untuk mewarisi tahta kepemimpinan bisnisnya di masa mendatang."
Nico lalu tertawa terbahak-bahak. Dave seketika mendelikkan matanya ke arah Nico.
"Hei, mengapa kamu tertawa seperti itu ?" Tanya Dave curiga atas kelakuan Nico.
"Raka, anak lelaki Tuan Swastika memiliki hobi balap motor sekelas 250 cc dan merupakan pembalap kaliber nasional saat ini. Aku tahu kamu tidak menyukai olahraga balapan motor. Jadi aku tidak bisa berharap banyak bahwa kamu bisa mengikuti hobi ekstremnya tersebut Dave. Tapi setidaknya kamu bisa memikirkan cara bagaimana kamu bisa menarik hati Raka melalui hobinya tersebut." Kata Nico menerangkan kepada Dave.
"Tidak masalah buatku, Nico. Aku menganggap ini sebagai tantangan. Jika perlu aku akan belajar banyak mengenai hal itu. Aku sadar bahwa aku tidak mungkin dapat menandinginya saat ini, namun aku berharap aku bisa menarik sedikit perhatiannya akan hobinya tersebut. Kita lihat saja nanti hasilnya bagaimana." Dave pun mengungkapkan rencana besarnya kepada Nico teman karibnya itu.
Saat itu menunjukkan pukul sebelas siang, matahari bersinar terik. Annisa berjalan ke arah balkon apartemennya, meluruskan pinggangnya yang pegal-pegal karena duduk selama berjam-jam sejak pagi hari tadi, guna menyelesaikan tugas artikel dari kantor penerbit majalah wanita tempatnya bekerja.
Ia memicingkan matanya karena silau terkena sinar matahari. Lalu merentangkan kedua tangannya ke atas, menarik napas dalam-dalam, menghembuskan napas, melakukan peregangan pada seluruh tubuhnya, berulang-ulang, sampai ia merasakan tubuhnya nyaman kembali.
Telepon genggamnya berbunyi nyaring dari dalam ruangan. Bergegas Annisa berlari masuk ke dalam kamar, mengangkat telepon genggamnya yang terus-menerus berdering. Dari Ibunya.
"Hallo Ma. Maaf aku belum sempat menelpon. Mama baik-baik saja kan ?" Tanya Annisa kepada ibunya.
"Mama baik-baik saja Annisa, justru Mama kuatir dengan kabarmu. Sudah hampir seminggu ini kamu tidak mengabari kami, Nak." Protes ibunya di ujung telepon.
"Aku baik-baik saja, Ma. Maaf aku belum sempat telpon Mama dan Papa. Akhir-akhir ini banyak artikel yang harus kuselesaikan dan amat menyita waktuku." Kata Annisa menerangkan.
"Jangan terlalu larut dengan pekerjaanmu, Annisa. Jaga kesehatan dan jangan tidur terlalu malam. Banyak-banyak istirahat juga." Ibunya memberikan nasihat kepada Annisa pagi itu.
"Mama tidak perlu kuatir tentang hal itu. Kan Mama tahu sendiri kalau masalah istirahat dan banyak tidur itu Annisa jagonya, hahaha..." Ujar Annisa mencoba melucu untuk menenangkan ibunya.
"Iya deh, Mama percaya sama kamu, Annisa. Oh ya Nak, weekend ini kamu pulang ke rumah ya. Kamu temani Mama di sini. Papamu seperti biasa sibuk dengan urusan kantornya, dan adikmu seperti biasa tenggelam dengan keasyikannya sendiri." Ibunya meminta agar Annisa mau memenuhi permintaannya.
"Baiklah Ma. Annisa akan coba selesaikan semua tugas artikel minggu ini. Semoga semua berjalan lancar sesuai dengan rencana. Jadi aku bisa lebih cepat pulang ke rumah dan menemani Mama weekend ini di rumah." Annisa mencoba menyanggupi permintaan ibunya.
"Bagus kalau begitu. Sampai ketemu weekend ini ya sayang. Love you."
"Love you too, Ma. Sampai ketemu pada akhir pekan ini di rumah." Annisa pun menutup teleponnya.
Annisa lalu duduk di kursi kerja empuk berwarna hitam kesayangannya, dan meraih laptopnya.
Setelah beberapa perbaikan ia lakukan pada artikel yang sedang ia kerjakan, Annisa segera mengirimkan tugas kantornya melalu e-mail.
Semoga tidak banyak perbaikan yang diminta kali ini. Pikir Annisa dengan penuh harap.
Annisa berjalan masuk ke Warung Putu, rumah makan tradisional Bali favoritnya. Di meja ujung dekat hiasan payung-payung Bali besar berwarna- warni, Ella melambaikan tangannya sambil tersenyum cerah.
Annisa pun menghampiri Ella, lalu menarik kursi dan duduk tepat berseberangan dengan sahabatnya tersebut.
"Bagaimana dengan tugas artikelmu, Annisa ? Apakah sudah selesai ?" Tanya Ella bertanya dengan penuh selidik kepada Annisa.
"Sudah selesai sebagian, Nona Manis. Sebagian lagi akan aku selesaikan segera. Aku harus menyelesaikannya sebelum hari Jumat ini karena Mama memintaku untuk menemaninya di rumah pada akhir pekan ini." Kata Annisa menjelaskan.
"Sebelum kamu bertanya lebih lanjut, kita pesan makanan dulu ya. Aku lapar sekali nih." Pinta Annisa kepada Ella.
"Oke deh Nisa, ayo kita pesan makanan dulu."
Annisa pun memesan nasi campur Bali kesukaannya dan Ella memesan nasi ayam betutu yang merupakan menu pilihan Warung Putu pada hari itu.
Kedua gadis cantik tersebut terlihat asyik berbicara dan bercanda satu sama lain ketika dua orang pria yang mereka kenal memasuki rumah makan yang sama.
Dave membuka kaca mata hitamnya kemudian melihat Annisa dan Ella dengan pandangan tidak percaya.
"Hai, Nona-Nona cantik. Kebetulan sekali kita bertemu dengan kalian di sini." Sapa Dave kepada kedua sahabat tersebut.
"Hai Dave, Nico. Senang bertemu dengan kalian kembali. Ayo gabung dengan kami. Kami juga baru pesan makanan." Annisa menyapa balik kedua lelaki tersebut.
Ella dan Nico hanya tersenyum satu sama lain, kemudian mereka berempat bergabung dalam satu meja dan menikmati santapan makan siang mereka dengan penuh lahap.
"Oh ya Annisa, weekend ini kamu sudah ada rencana belum ?" Tanya Dave tiba-tiba.
Annisa yang sedang mengunyah makannya kemudian berhenti sejenak, mengambil minum. Setelah meminum es teh manis kesukaannya, ia pun menjawab pertanyaan Dave.
"Umm... Akhir pekan ini aku sudah ada rencana untuk pulang ke rumahku di Ubud untuk menemani Mama. Tampaknya beliau kangen kepadaku. Maklum akhir-akhir ini aku lumayan sibuk, jadi mama minta agar aku menyempatkan diri untuk menemaninya weekend ini." Jawab Annisa kepada Dave.
"Oh begitu ya." Sahut Dave dengan raut muka agak sedikit kecewa.
"Aku dan Nico rencananya ingin mengajak kalian jalan-jalan ke pedesaan akhir minggu ini. Selama kami di sini, kami baru melihat-lihat pemandangan pantai. Sedangkan kami belum pernah sama sekali berkunjung ke area pedesaan. Menurut orang-orang dan info pariwisata yang aku dengar, pemandangan alam di pedesaan di daerah Bali masih sangat asri dan indah, belum tersentuh dengan hal-hal yang berbau polusi perkotaan." Dave meneruskan perkataannya.
"Wah maaf Dave, kalau akhir minggu ini aku tidak bisa. Aku sudah janji kepada Mama. Mungkin lain kali ya." Nisa tersenyum manis menolak ajakan Dave.
"Tidak apa-apa Nisa. No problem. Lain kali juga boleh." Dave mencoba menyembunyikan kekecewaannya, dahinya berkerut berpikir keras akan langkah yang sebaiknya ia ambil untuk selanjutnya.