Chereads / WHEN MAFIA LOVES ANGEL [Bahasa Indonesia] - 1 / Chapter 6 - Beautiful Ubud [6]

Chapter 6 - Beautiful Ubud [6]

"Sudah siap dengan rencana kita selanjutnya, Bos Kecil ?" Tanya Nico kepada Dave sambil mematikan mesin mobilnya.

"Sangat siap ! Ayo kita bergegas ke sana !" Sahut Dave mengenakan kaca mata hitam bermerek terkenal kesayangannya dan membuka pintu mobil.

Dave menaiki tangga yang berundak-undak dan membuka pintu gapura rumah tradisional Bali tersebut dengan perlahan. Di kanan kiri gapura masing-masing terletak patung penjaga mengenakan kain loreng hitam putih bersenjatakan gada di tangan kanannya. Sayup-sayup didengarnya suara gamelan Bali mengalun merdu, mengiringi tarian sekelompok anak-anak perempuan kecil berumuran sekitar enam sampai dengan sepuluh tahun, yang dengan luwes dan gemulai menarikan tarian Bali di pelataran depan rumah yang cukup luas.

Nico mengikutinya dari belakang dan terkagum-kagum dengan pemandangan yang dilihatnya. Anak-anak kecil tersebut terlihat amat menikmati tariannya, dan seolah-olah ia pun terbius dengan alunan tari dan gamelan yang sedang berkumandang saat itu.

Dave membuka kacamata hitamnya dan menghampiri seorang gadis yang sedang duduk di pinggir mengamati anak-anak kecil tersebut menari.

"Permisi Nona... Saya Dave dan ini teman saya Nico, kebetulan melewati desa ini untuk berkunjung dan menikmati pemandangan alam. Namun di tengah perjalanan, tiba-tiba mobil yang kami sewa karburatornya bocor dan kehabisan air." Dave menyapa gadis tersebut dengan sopan dan mencoba untuk menyampaikan niatnya dengan baik.

Ia pun berpura-pura mengelap keringat di dahinya dan menyeka lehernya seperti orang kehausan.

"Kalau boleh, kami bermaksud ingin meminta air untuk mobil kami supaya kami bisa melanjutkan perjalanan. Dan jika Nona tidak keberatan, kami juga memerlukan sedikit air untuk menghilangkan dahaga kami."

"Oh boleh saja. Saya Ayu, kebetulan saya bukan penghuni rumah ini, saya tinggal di sebelah. Namun saya rasa yang punya rumah ini tidak berkeberatan untuk menolong Anda. Sebentar ya saya panggilkan."

Lalu Ayu bergegas masuk ke dalam untuk memanggil sang pemilik rumah.

Tak lama kemudian Ayu dan seorang gadis cantik si pemilik rumah keluar sambil membawakan Dave dan Nico dua gelas es sirup berwarna kuning segar di atas nampan.

Gadis cantik itu terperangah tidak percaya.

"Dave... ? Nico... ? Apa yang kalian lakukan di sini ?" Tanya Annisa tidak mempercayai pandangannya saat itu.

"Nisa... ? Kamu kok ada di sini ?" sahut Dave balik bertanya.

"Ini rumahku, Dave. Aku kan sudah bilang kemarin bahwa weekend ini aku menemani Mama di rumahku di Ubud."

"Oh jadi ini rumahmu ya, Nisa. Sungguh asri dan sejuk. Kamu beruntung memiliki rumah yang jauh dari perkotaan, jauh dari hiruk pikuk dan bisingnya jalanan kota." Ujar Dave mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Itu anak-anak sedang menari apa, Nisa ?" tanya Dave lebih lanjut.

"Itu namanya Tari Panyembrama, Dave. Dahulu kala sering dipentaskan dalam upacara agama Hindu di pura sebagai tari pelengkap persembahan. Namun pada masa kini biasa ditarikan di depan khalayak ramai." Annisa tersenyum lebar dan terlihat bersemangat saat menjelaskan.

"Tari Panyembrama bermakna penyambutan, di mana hal itu terangkum pada gerakan-gerakan tari yang melukiskan keramahan serta penghormatan kepada yang menontonnya. Serpih-serpih kembang yang ditaburkan ke hadapan para tamu adalah sebagai tanda ungkapan selamat datang."

"Wow... ! Sungguh sebuah tarian yang indah, Nisa !" Dave berdecak kagum mendengar penjelasan Annisa mengenai asal-usul tarian itu.

"Ayu ini adalah tetanggaku, ia pengajar tari yang rela dan berbaik hati meluangkan waktunya seminggu dua kali untuk mengajar tarian tradisional Bali kepada anak-anak di desa kami." Annisa memperkenalkan Ayu kepada Dave dan Nico.

Ayu tersenyum dan kemudian melanjutkan perkataan Annisa. "Dulu Nisalah yang mengajarkan tari kepada anak-anak di sini, namun semenjak Annisa sibuk dengan pekerjaannya, saya kemudian yang menggantikan posisi Nisa mengajar tari di sini."

Ayu lalu menambahkan, "Kami memiliki prinsip dasar bahwa setiap anak-anak keturunan Bali sudah seharusnya belajar menari tarian tradisional Bali sejak kecil, supaya kami bisa terus melestarikan kebudayaan Bali yang kami cintai ini." Ayu tersenyum dengan bangga.

Dave melayangkan pandangannya kepada Annisa yang matanya terlihat berbinar-binar pada saat itu mendengar Ayu menjelaskan. Bertambah satu kekaguman Dave kepada Annisa, gadis yang tidak hanya cantik di luarnya saja, namun memiliki kepribadian yang menarik, dengan tekadnya yang kuat untuk melestarikan kebudayaan daerah asalnya.

"Aku permisi dulu Nisa, hendak mengisi air pada karburator mobil dulu. Supaya nanti mobilnya bisa digunakan untuk perjalanan pulang." Kata Nico tiba-tiba menyela pembicaraan mereka.

Nico memberikan isyarat pandangan mata kepada Dave. Hanya mereka berdua yang tahu maksudnya.

Ayu pun meminta diri untuk kembali melanjutkan melatih anak-anak tersebut menari. Tiba-tiba suasana sepi sejenak. Hanya Dave dan Annisa yang tersisa di sana.

Annisa mencoba memecah keheningan. "Umm Dave, kamu bilang kamu ingin melihat suasana pedesaan di Bali ? Aku tahu sebuah tempat yang aku pikir kamu akan senang berada di sana. Pemandangannya cukup indah menurutku."

"Boleh... Yuk, bagaimana kalau kita ke sana sekarang." Pinta Dave.

"Aku pikir aku masih punya banyak waktu sebelum Nico selesai memperbaiki mobil sewaan yang bermasalah itu."

"Wah alangkah indahnya pemandangan di sini." Dave memuji dengan kekaguman yang tidak dibuat-buat.

Dave dan Annisa berjalan beriringan di jalan setapak, di kanan kiri mereka terdapat pematang sawah dengan bulir-bulir padi yang sudah merunduk menguning, sebentar lagi siap dipanen.

"Hati-hati Dave, jalanannya licin. Jangan sampai kamu terpeleset jatuh." Annisa mengingatkan.

Sampailah mereka ke bale-bale yang terbuat dari kayu beratapkan sirap berwarna kuning kecoklatan, terletak di tengah-tengah sawah yang padinya masih berwarna hijau, berbeda dengan sawah yang mereka lewati sebelumnya.

Agak jauh di depan terlihat seorang petani sedang membajak sawah dengan kerbaunya.

"Pak Made ! Titiang numpang duduk di bale-bale sebentar nah..." Teriak Annisa kepada petani tersebut.

Petani yang dipanggil Annisa tadi menoleh dari kejauhan, dan kemudian tersenyum melihat Annisa. "Silakan Gek... Pakai saja !"

Mereka berdua pun duduk di bale-bale itu menikmati pemandangan sekitar ditemani angin sejuk sepoi-sepoi. Tiba-tiba mata Dave menangkap sesuatu yang menarik hatinya.

"Nisa... Itu sawah-sawah sengaja dibuat bertingkat-tingkat gunanya untuk apa ?" tanya Dave ingin tahu.

"Oh itu pola terasering Dave, kami menyebutnya dengan nama Subak. Kami menggunakan pola sawah bertingkat seperti itu untuk mengatur irigasi sawah. Merupakan salah satu karya kebanggaan daerah Bali." Annisa menerangkan.

Dave mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Annisa. Ia lalu memuaskan matanya dengan melihat ke seluruh penjuru sejauh mata memandang. Dari kejauhan bukit-bukit dan penampakan pegunungan menambah keindahan alam yang dirasakan Dave pada saat itu.

Annisa mencuri-curi pandang menatap wajah Dave yang raut mukanya menampakkan kekaguman yang tiada henti-hentinya.

Dasar orang kota. Pikir Annisa sambil mengulum senyumnya.

Tiba-tiba Dave menoleh ke arahnya dan menangkap basah Annisa sedang memandanginya. Seketika suasana menjadi kikuk.

"Ehm Dave... Aku rasa kita perlu balik ke rumahku sekarang. Sudah sore. Lagipula Nico pasti sudah menunggu kita di rumah." Ajak Annisa mencoba mengalihkan perhatian Dave sambil menahan rasa malunya.

Dave tersenyum. Diam-diam hatinya berdebar kegirangan karena tahu Annisa telah memandanginya secara diam-diam dan ia dapat melihat rona wajah Annisa tersipu malu karena ketahuan.

Mereka pun bergegas balik ke rumah Annisa sebelum petang menjelang.

Dari kejauhan dua orang lelaki tak dikenal mengikuti Annisa dan Dave sejak mereka pergi dari rumah siang tadi. Dua pria tersebut mengenakan pakaian serba hitam dan teramat berhati-hati akan keberadaaan mereka di sana.

"Sementara ini kita hanya bisa mengawasi mereka. Tak banyak yang bisa kita lakukan saat ini." Kata lelaki yang lebih tinggi berbadan tegap dan berambut cepak.

"Ya, betul. Daerah ini merupakan daerah kekuasaan gadis itu. Sangat riskan bagi kita untuk menjalankan rencana yang bos minta kita lakukan di sini. Lebih baik kita lapor bos sekarang untuk minta petunjuk lebih lanjut." Sahut pria satunya yang berkepala botak dan berbadan lebih pendek sedikit dibandingkan temannya.

Kedua orang lelaki misterius itu pun berlalu meninggalkan Dave dan Annisa, menjauhi mereka dan berjalan berlawanan arah menuju kaki bukit.

Sesampainya Annisa dan Dave di pelataran rumah, mereka melihat Nico dan ibu Annisa tengah bercakap-cakap.

"Nah, ini dia dua sejoli yang ditunggu-tunggu telah tiba." Nico meledek teman karibnya itu sambil cengar-cengir.

"Oh, ini yang namanya Dave." Ibu Annisa berkata dengan ramah.

"Iya saya Dave, Nyonya." Sahut Dave memperkenalkan diri dan mengulurkan tangannya.

Ibu Annisa pun menyambut uluran tangan Dave. "Jangan panggil saya Nyonya. Panggil saja saya Ibu. Bu Sukma. Saya orang desa. Tidak pantas dipanggil Nyonya." Pinta ibu Annisa kepada Dave sambil tersenyum.

"Baik, Bu." Kata Dave meralat ucapannya.

"Kalau boleh, saya dan Nico pamit pulang dulu, Bu Sukma. Hari sudah mulai malam. Saya takut nanti kesasar kalau sudah malam begini. Maklum kami berdua belum begitu mengenal jalan-jalan di sekitar Ubud Gianyar ini."

"Mmm Dave... Mengenai hal itu..." Nico menyela pembicaraan Dave dan melirik ke Bu Sukma.

"Sepertinya kita harus menginap di sini malam ini dan baru bisa melanjutkan perjalanan kita besok pagi karena ban mobil kita bocor terkena paku selama perjalanan kemari." Nico memberitahu Dave dengan hati gundah.

"Apa ? Mengapa bisa begitu ?" Tanya Dave dengan tidak enak hati dan memandang ke arah Nico dan Bu Sukma secara bergantian.

"Sudahlah Nak, tidak apa-apa. Biar besok pagi saja diurusnya mengenai ban mobil kalian yang bocor itu. Malam ini biar kalian menginap di sini saja. Kebetulan kami memiliki kamar tidur kosong di pendopo depan, gunanya memang untuk menerima tamu yang datang menginap jika diperlukan." Bu Sukma menawarkan solusi kepada Dave dan Nico.

"Mari kita makan malam terlebih dahulu sebelum kalian beristirahat malam ini. Tentunya kalian sudah lapar bukan setelah seharian berjalan-jalan mengelilingi desa ini."

"Ayo Nisa, kita siapkan makan malam untuk tamu kita ini." Ajak Bu Sukma kepada anak gadisnya.

"Baik Ma..." Annisa pun bergegas menyusul ibunya ke dalam rumah untuk menyiapkan hidangan makan malam untuk para tamunya.

Dave menutup pintu kamar tidur tamu yang terletak di pendopo.

"Apa yang terjadi, Nico ? Mengapa melenceng dari rencana kita semula ?" Dave berbisik setengah marah kepada Nico.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi Dave. Ketika aku kembali ke mobil itu hendak mengisi air di karburator yang bocor, lalu aku baru menyadari bahwa ban mobilnya bocor juga terkena paku." Nico berbisik juga membela diri.

"Tapi tadi bannya belum bocor, kan ? Mengapa tiba-tiba bocor kena paku ?" Dave masih menggerutu tidak percaya dengan apa yang terjadi.

"Sudah kukatakan kepadamu Dave, aku tidak tahu !" Bantah Nico setengah berteriak.

"Oke maafkan aku, Nico. Kurasa kita segera beristirahat sekarang. Kita harus bangun pagi-pagi untuk mengganti ban mobil yang bocor itu." Dave pun akhirnya mengalah.

Burung-burung berkicau dengan riang menemani Dave dan Nico yang sejak sedari pagi berusaha memperbaiki mobil sewaan dengan karburatornya yang bocor. Serta mengganti ban mobil belakang sebelah kanan yang bocor karena paku. Hawa di pagi hari itu masih sejuk, matahari baru menyembul sedikit di balik awan. Langit saat itu putih bersih seperti kapas.

Walaupun begitu, keringat mengucur deras dari tubuh Dave dan Nico. Mereka mengelap dahinya sesekali menghindari tetesan keringat jatuh lebih banyak lagi. Tanpa Dave dan Nico sadari, ada dua pasang mata mengawasi gerak-gerik mereka dari balik pepohonan yang terletak di seberang jalan.

Setelah selesai memperbaiki mobil, kedua sahabat itu kembali ke rumah Annisa. Setibanya di sana mereka telah disambut dengan sarapan yang cukup lezat dan menggiurkan.

Di meja makan telah terhidang sepiring besar nasi kuning yang masih panas mengepul, diikuti dengan piring-piring lainnya yang berisi lauk-pauk pelengkapnya. Ada ayam goreng berwarna kuning kecoklatan menggugah selera, dadar telur yang dipotong-potong rapi yang tercium harum, perkedel kentang yang terjejer rapi dan terlihat empuk nan gurih. Tak lupa sambal merah menyala dan kerupuk yang tampak renyah, tersedia pula untuk menambah kenikmatan sarapan di pagi hari itu.

"Ayo mari kita santap makanannya selagi hangat ! Ini semua Annisa yang masak lho..." Ajak Bu Sukma kepada Dave dan Nico untuk mulai menyantap makanan yang telah dihidangkan.

Annisa tersipu-sipu malu mendengar perkataan ibunya. Ia menundukkan kepalanya sambil mengunyah makanannya.

Sesekali Dave mencuri-curi pandang ke arah Annisa, menikmati pemandangan pipi yang merah merona karena tersipu-sipu, sekaligus mengagumi kepintaran memasak sang gadis cantik pujaannya. Bertambah satu lagi kekaguman Dave terhadap Annisa.

Usai sarapan, Dave dan Nico pun pamit kepada Bu Sukma dan Annisa, karena mereka harus segera kembali ke Denpasar.